Rabu, 26 Agustus 2015

“Ranjau-Ranjau” Pelestarian Film Nasional

“Ranjau-Ranjau”  Pelestarian Film Nasional*
Oleh: Untung Dwiharjo, S. Sos

Film hadir sebagai bagian dari kebudayaan massa, yang muncul seiring dengan perkembangan masyarakat perkotaan dan industri. Sebagai bagian dari budaya massa yang populer, film adalah suatu kitsch, suatu seni yang dikemas  untuk dijajakan sebagai komoditi dagang. Film dikemas dalam untuk dikonsumsi massa yang beribu, bahkan berjuta jumlahnya.
Dibandingkan dengan kebudayaan tinggi yang telah mapan, film yang merupakan produk komersial akan lebih menekankan kemampuan komunikasi produk-produk dan aktifitasnya daripada penghargaan kritis khalayak ramai. Dengan perkataan lain, film sebagai suatu budaya pop akan lebih menekankan estetika–resepsi daripada estetika-kreasi.
Disamping itu, sebagai sebuah kesenian populer, film juga akan sangat rentan terhadap waktu. Kalau kebudayaan tinggi, ia akan selalu berprestasi mengabdi ke masa depan, sementara itu untuk budaya pop, niscaya ia akan gampang berpuas diri dengan keadaaanya masa kini. Dalam prakteknya, jika harus memilih antara memenangkan penonton yang banyak dalam waktu yang singkat atau penonton  yang sedikit dalam waktu yang panjang, niscaya film akan lebih memilih kemungkinan pertama, yaitu menjadi kebudayaan yang sesaat, tapi global (Priyambodo & Suyanto, 1996). Dalam hal ini, tidak salah jika film dikatakan telah menjadi semacam komoditi ekonomis, dimana hukum-hukum pasar lebih memegang kendali dibandingkan kreatifitas dan idealisme seniman.
Selama ini, bukan merupakan rahasia lagi jika sebagian besar tujuan pembuatan film nasional adalah demi mengejar keuntungan semata. Sangat sedikit para produser dan sutradara yang berminat membuat sebuah film yang bermutu dan sanggup menjadi masterpiece, meski hanya kecil sekalipun.
Para pembuat film yang memang berniat untuk mengorek keuntungan sebanyak-banyaknya, bukan berpikir bagaimana memilih pemain dengan mutu dan peran yang tinggi atau berpikir bagaimana menyuguhkan adegan-adegan dasyat kepada penonton meski sebenarnya itu berlebihan. Adegan  yang biasa ditampilkan dalam film-film nasional adalah adegan seks yang menggiurkan; adegan kekejaman yang dapat membuat penonton sakit jantung; adegan tari dan nyayian yang membuat penonton lupa daratan. Pendeknya, segala sesuatu yang meski jarang ditemukan dalam realitas sehari-hari, tetapi sanggup membuat penonton terpaku dan betah duduk sampai selesai. 
Makanya  dalam perfilman nasional pernah muncul judul  film yang  relatif aneh  seperti film Malam Satu Suro, Nyi Roro Kidul, Sundel Bolong  serta film yang sempat bikin  heboh Dendam Ratu Pantai Selatan yang di dalamnya banyak menyajikan adegan adegan seks dan horor.
Dari berbagai analisis para ahli, seperti Sigfried Kracauer atau Peter Roffman dan Jim Purdy (Priyambodo & Suyanto,1996), umumnya mereka menyatakan bahwa tidak mungkin seseorang produser mau memproduksi film yang populer, jika  film jenis film ini tidak diinginkan atau digemari masyarakat sebagai konsumennya. Jadi menurut para ahli tersebut, jika  dimasyarakat banyak beredar film–filn nasional  yang bermutu rendah  seperti selama ini ada, hal itu  berarti masyarakat sendiri memang  menghendaki film seperti itu.
Penilaian itu setidaknya terkonfirmasi pada sebuah peneltian kecil yang dilakukan oleh  Daru Priyambodo & Bagong Suyanto (1996), dengan mengambil sampel 100 responden  di Surabaya setidaknya menemukan bahwa mayoritas responden  (56 %) menyatakan bahwa film nasional  cenderung  kurang realistik dan  sebanyak  66 % menyatakan film nasional terlalu mementingkan  keuntungan ekonomisnya  dari pada  mutu seni filmnya.
Walaupun  penelitian ini tidak bisa digeneralisasi untuk semua film tapi setidaknya  ini membuktikan  sebagian  sinyalemen bahwa film nasional selama ini banyak berkisar pada “ Sekwilda” (sekitar wilayah dada) yang bermutu rendah  serta  hanya kepentingan  bisnis semata. Tapi ternyata  film  Gita Cinta  dari SMA  atau film Kejarlah Daku Kau Kutangkap, misalnya terbukti  dapat laris manis  dipasaran tanpa harus mengumbar wilayah aurat. Serta film sinetron seperti Losmen atau Benang Emas dan semacamnya juga terbukti  mampu menyedot banyak penggemar tanpa secuilpun  menampilkan adegan yang seronok.
Kini dengan  perkembangan zaman yang demikian cepat  maka  menjadi keharusan  perfilman  nasional  untuk mengubah  orinetasi  guna  tetap eksis dan   tidak tergerus oleh perkembangan  teknologi dan film luar negeri yang lebih maju. Langkah pertama agar pelestarian  terhadap film nasional  tetap terjaga adalah mengetahui  perubahan konsumen film nasional.

Penonton Makin Kritis
Film nasional dimasa lalu dan mungkin juga sampai sekarang lebih menonjolkan ramuan aspek adegan seks-kekerasan serta kemewahan. Padahal apek ini sekarang  banyak menurun untuk menggaet  penonton domestik. Hal ini tidak lepas dari semakin kritisnya selera penonton. Hal itu terekam dalam Penelitian Bagong Suyanto dan Daru Prioyambodo (1996) yang menyimpulkan bahwa dalam diri responden sebagai bagian dari massa perkotaan secara luas tampaknya telah muncul semacam sikap kritis  dan sikap apresiatif pada film nasional sebagai suatu seni. Mereka tidak puas hanya disuguhi adegan-adegan porno, adegan kekerasan yang berlebihan, adegan kemewahan yang tidak pada tempatnya, dan semacamnya.
Akan tetapi mereka telah menuntut untuk memperoleh sajian-sajian yang lebih bermutu. Massa perkotaan yang semakin tinggi mobilitas sosialnya dan semakin pandai, sepertinya menuntut film nasional menjadi lebih cerdas dan kaya akan ramu-ramuan artistik seni. dalam menilai tokoh-tokoh film. Responden sudah tidak lagi terbengong-bengong  dengan wajah cantik-seksi atau wajah tampan sang bintang film. Aktor  penuh karakter Deddy Mizwar mendapat tempat utama di mata mereka sedangkan dari wanitanya juga artis senior Cristina Hakim serta Widyawati. Bukti lain tentang semakin kritisnya masa perkotaan akan mutu film nasional dapat juga dilihat juga dari penilaian responden terhadap film-film yang masuk nominasi Piala Citra selama tahun 1989-1989 rata-rata menyatakan layak ditonton. Bahkan terdapat empat film yang menurut responden sangat layak ditonton, yaitu Tjoet Nyak Dien (82,9 % menyatakan baik), Arini (74,2 % menyatakan baik), Naga Bonar (66,7 % menyatakan baik) serta Kodrat  (47,1 %  menyatakan baik). Walaupun penelitian itu  sekupnya terbatas dan dilakukan beberapa tahun silam, tapi paling tidak menunjukan  kenyataan akan pergeseran selera masyarakat  akan film nasional. Sehingga film yang dulu pernah ramai akan penonton dan digandrungi  kawula muda  dengan  tema-tema agak berbau seks seperti Gadis Metropolis, Ranjang Pemikat, Ranjang yang Ternoda, Akibat Hamil Muda, Kenikmatan Tabu, Selir Cinta, Cinta  dan Nafsu, atau  Setetes Noda Mani, telah bergeser  ke film bertema  lebih manusiawi dan spiritual seperti Naga Bonar  Jadi Dua, Kiamat Sudah Dekat,  Pasir Berbisik serta Daun Diatas Bantal dan lain sebagainya. Itu semuanya memang menunjukan tren yang menggembirakan. Perkembangan film sekarang juga menunjukan geliat  kearah yang positif yang mampu mendongkrak  pelestarian film nasional kita tercinta ini.

 Sineas Muda: Aktor Pelestarian Film Nasional.
 Geliat kebangkitan filn nasional  menemukan momentum kegairahanya ketika film Ada Apa Dengan Cinta (AADC) meledak di pasaran. Mata insan perfilman  yang selama itu  serasa tertidur pulas ternyata bisa disadarkan berkat  film itu. Film tersebut seakan mematahkan mitos bahwa film yang berkualitas apalagi yang memenangi penghargaan piala citra kurang dapat diterima oleh penonton yang awam.  Sebagaimana  dialami film Daun diatas Bantal atau Pasir Berbisik yang membuat  penonton sedikit memeras otak untuk memahami  jalan ceritanya  Tapi Film  AADC mendorong  film nasional menjadi  rumah sendiri  serta turut  menjadi inspirator  pelestarian filma nasional. Kebangkitan film nasional sekarang ini paling didongkrak oleh kemuculan  sineas muda yang visioner dan idealis.  
Munculnya sineas-sineas muda  dipentas perfilman nasional  sekarang ini seolah menjadi darah segar bagi regenerasi sutradara yang lebih dulu  merajai perfilman nasional. Nama sutradara  senior seperti Usmar Ismail, Wim Umboh, Djajakusuma, Nya Abas Akub, Teguh Karya, Asrul Sani serta Syuman Jaya dan sebagainya. Mereka yang pernah mengukir tinta emas di eranya sekarang seolah ada yang meneruskan oleh kemunculan sutradara muda yang dimotori oleh  sutrada Garin Nugroho dengan  filmnya yang beberapa kali  menyabet penghargaan nasional mapun internasional  Seperti filmnya Cinta dalam Sepotong Roti, yang meraih film terbaik FFI 1991 dan Sutradara baru terbaik Asia-Pasifik Film Festifal di Korea Selatan tahun 1992 dan penghargaan lainnya. Disusul dengan  nama Riri Reza yang banyak mengahasilkan film fenomenal  seperti Kuldesak (1998), Petualangan Sherina (2000), Eliana, Eliana (2002),  serta Gie (2005). Bahkan dia pernah menjadi produser dalam film AADC yang digandrungi anak muda itu. Kemudian disusul sutradara muda Hanung Bramantyo yang menghasilkan film  antaranya, Lentera Merah (2006), Jomblo (2006), Sayekti Dan Hanafi (Tv) (2005), Catatan Akhir Sekolah (2005), Brownies (2004), When ... (Film Pendek) (2003), Gelas-Gelas Berdenting (2001) Dan Topeng Kekasih (2000). Selain itu dirinya juga mengarahkan film Tingkling Glass, yang kemudian berhasil meraih Juara III Bronze 11th Cairo International Film Festival (CIFF) Category TV Program di Mesir (www.kapanlagi.com). Kini Hanung meluncurkan film bertemakan religius  dengan judul Ayat-Ayat  Cinta (AAC), serta sineas Nia Dinata serta Mira Lesmana dan sebagainya. Semua  sutradara muda itu memberikan warna  tersendiri bagi  pelestarian film nasional  saat ni.  

Enam ”Ranjau”  Pelestarian Film Nasional
Film nasional dalam menjadikan dirinya tetap lestari di bumi pertiwi ini tentunya tidak mudah. Banyak halang rintang yang  siap menghadang di dalam perjalanannya. Berikut ini  beberapa ”ranjau” yang menurut hemat kami siap menghalangi  eksistensi pelestarian  film nasional:

Pertama, Merosotnya jumlah bioskop di Tanah Air    
Tidak dipungkiri keberadaan film  Indonesia  dimata  penontonya tak lepas dari peran bioskop. Di Indonesia  sejak dibukanya  “gedung” bioskop di daerah Tanah Abang pada awal Abab XX, yang kemudian  disusul sejumlah tempat mendirikan bioskop (Ryadi Gunawan, Prisma  No. 5 tahun XIX 1990). Sehingga pada era tahun 80-90an  gedung bioskop menjadi primadona hiburan masyarakat terutama dalam melihat film dalam negeri. Karena  banyak berdiri bioskop dari mulai kelas atas sampai kelas bawah. Sebagaimana diungkapkan Dr. Salim Said dalam bukunya Profil Dunia Film Indonesia (1991) mengatakan bahwa sebagai akibat dari bertambahnya gedung bioskop dan munculnya banyak sinepleks, jumlah penonton film Indonesia juga meningkat. Dari data yang ada pada PT. Peredaran film Indonesia (PT. PERFIN) terlihat jika antara tahun 1975-1979 rata-rata film nasional di Jakarta ditonton oleh 70 ribu orang, angka itu mencapai 140 ribu orang pada tahun 1986-1989.
Dari sumber yang sama juga diketahui bahwa film Indonesia merajai bioskop menengah ke bawah. Dengan kata lain, film-film impor hanya menjadi konsumsi masyarakat kelas atas di kota besar saja. Tapi sekarang dengan perkembangan jaman yang sangat cepat seperti sekarang ini jumlah bioskop yang memutar film Indonesia semakin lama semakin susut jumlahnya. Terutama yang masih bertahan adalah bioskop yang berada dikota besar seperti kelompok 21, sedangkan bioskop yang dipinggiran kota harus gulung tikar karena sepinya penonton.   

Kedua,  Serbuan Film Manca Negara
Pada era globalisasi sekarang ini dimana batas-batas antar negara menjadi kabur, maka imbasnya lalu lintas perdagangan antar negara menjadi sebuah keharusan. Industri perfilman nasional juga mengalami serbuan film dari manca negera (Film Eropa, Asia, Amerika). Hal itu terlepas dari ketaklukkan kita pada kekuatan komersial pemegang hegemoni budaya dunia. Masyarakat dikondisikan menjadi tertarik dan takjub pada produk komoditi budaya komersial Barat, yang pada kenyataannya tidak selalu lebih baik dari pada produk domestik (Subiakto, 1996).
Hal ini juga dapat kita lihat dari pemutaran film di bioskop  dimana rasio antara film nasional dengan film barat  1:3. Dimana satu film nasional  disitu di putar  tiga film  luar. Ini menunjukan  kian eksisnya  serbuan film  manca negera terhadap perfilman nasional. Meminjam bahasa Henry Subiakto, Pakar Komunikasi Unair membanjirnya  film impor  tidak hanya masalah karena kualitas film nasional yang “jalan di tempat” , melainkan orang menonton film impor juga karena dorongan ingin menjadi warga kelas satu, yang tidak ketinggalan dalam hal selera, hiburan, gaya hidup dan informasi. Kesemuanya itu dibentuk oleh kekuatan informasi, terutama media massa, termasuk film nasional itu sendiri. Dengan nada yang hampir sama, adanya image menonton film nasional yang masih rendah. Film  nasional (Indonesia) selalu dianggap sebagai hiburan bagi anggota masyarakat bawah yang kurang terdidik. Hal ini telah terbukti ketika Krisna Sen, seorang  ilmuwan Australia ketika melakukan penelitian  lapangan di Jakarta pada tahun 1980-an, dia malah dianggap norak dan kampungan ketika harus menonton film Indonesia oleh sebagian mahasiswanya (Prisma  No. 5 tahun XIX 1990).  
       
Ketiga, menyempitnya segmen  penonton
Saat ini  film(nasional) mengalami pnciutan segmen penonton. Kalau dulu film di tonton semua kalangan baik orang tua sampai anak-anak. Sekarang justru  anak muda yang banyak memadati gedung bioskop untuk menonton film. Itupun banyak yang datang hari libur (weekend). Hal itu akibat dari maraknya kebudayaan pop yang menjangkiti kawula muda. Dimana mereka (anak muda) kebingungan menghabiskan waktu luangnya. Tidak sulit untuk mengetahui mengapa  khalayak utama film kini adalah generasi muda.  Karena pergi ke bioskop bersama-sama itu sendiri merupakan kegiatan sosial yang mudah dan murah.  Kaum muda yang tidak mempunyai kelompok  bermain  (peer group) atau pilihan bersosialisasi yang menarik, menggunakan kunjungan ke bioskop sebagai wahana utama untuk bergaul. 
Hal ini menunjukan bahwa dewasa ini film kian tergantung pada generasi muda sebagai pasarnya. Minat mereka ke bioskop relatif paling besar sehingga kebanyakan film dibuat untuk dikonsumsi mereka. Sehingga anak muda sekarang banyak menghabiskan waktunya salah satunya dengan melihat film. Itupun  sebagian besar melihat  film impor (luar negeri). Kecuali film yang bertemakan percintaat seperti AADC yang meledak karena banyak anak muda yang menonton film tersebut. Sebaliknya orang tua sekarang semakin malas untuk melihat film apalagi film nasional karena banyak hiburan lain  bisa mereka lakukan. Orang tua sekarang bisa melihat hiburan film misalnya lewat TV  yang menyediakan film  hiburan  yang kebanyakan film luar  atau impor. Menurut penelitian Opinion Research Corporation (Rivers dkk, 2004) menunjukan bahwa  mayoritas penonton bioskop saat ini berusia di bawah 30 tahun, dan hampir  sepertiganya berusia di bawah 15 tahun. Orang dewasa berusia 50 tahun ke atas hampir tidak pernah ke bioskop lagi, apalagi yang sudah menikah. Walaupun data ini ditemukan di masyarakat Amerika, tapi nampaknya kenyataan serupa juga menerpa masyarakat Indonesia, tentunya dengan persentase yang berbeda. 

Keempat, mahalnya biaya pembuatan film
Banyak insan perfilman nasional dalam membuat film terbentur pada masalah biaya yang mahal. Sehinggga karena terbentur oleh masalah biaya, maka sebagian produser film nasional terpaksa membuat film yang murah tapi ironisnya harus mengesampingkan idealisme dengan mengekploitasi seks dan sadisme. Jumlahnya ditengarai oleh banyak kalangan mencapai 60 %  film nasional  yang termasuk kategori  “film kacangan”  yaitu  film yang dibuat dengan kualitas rendah.
Menurut catatan Budiati Adiyoga, produser film,  film nasional digambarkan seperti kerucut. Puncak kerucut diisi oleh film berkualitas diisi oleh jumlah film berkualitas baik yang biayanya mahal, seperti film Tjut Nyak Din, dan film kolosal Saur Sepuh dan Pemberontakan G 30 S. Sedangkan  film-film dengan biaya sedang  yang banyak diantaranya memiliki kualitas baik dan berhasil masuk nominasi FFI serta meraih Piala Citra, berada di tengah kerucut. Kenyataan ini diperkuat dengan data biaya produksi film nasional. Data  sekitar tahun 1980, misalnya menunjukan bahwa pendapatan rata-rata film nasional Rp 90 juta perfilm, padahal biaya produksi untuk film yang kualitasnya baik waktu itu mencapai minimal Rp. 120. juta sampai Rp.150 juta. Akibatnya, untuk mencapai batas kelayakan, dibuatlah film yang dikenal dengan film kacangan yang berbiaya Rp. 80 juta atau maksimum Rp. 90 juta. Contoh kongkret lainya betapa mahal membuat film yang berkualitas tergambar dalam biaya pembuatan film Tjut Nyak Dhien yang sekitar Rp. 1,5 Miliar, serta Saur Sepuh I yang mencapai Rp. 800 juta. (Prisma  No. 5 tahun XIX 1990).
Walaupun data diatas sekitar tahun 1990-an tetapi dengan meningkatnya nilai dolar terhadap rupiah  sebagai imbas dari krisis  ekonomi 1997 lalu, hampir dapat dipastikan untuk membuat film yang berkualitas  meningkat berkali-kali lipat dan sangat mahal. Sebagai gambaran kekinian adalah pembuatan film Ayat- Ayat Cinta (AAC) yang di sutradarai Hanung Bramantyo menghabiskan dana  Rp. 15 Miliar (Jawa Pos, 27/2/08). Imbasnya produksi film nasional pun jadi tidak banyak, dan yang boleh dikatakan berkualitas dapat dihitung dengan jari. Dan resiko untuk membuat film yang berkualitas dan mahal mungkin seperti digambarkan oleh  Eros Djarot  ketika membuat film Tjut Nyak Dhien. “Saya membutuhkan waktu dua tahun untuk membuat film Tjut Nyak Dhien, dengan mempertaruhkan semuanya, uang, rumah, bahkan keluarga. Setelah film ini, saya tidak mendapatkan penghasilan  selama tiga tahun, siapa yang mau begitu?”.     

Kelima, Revolusi Teknologi Audio Visual
Tidak dipungkiri  zaman sekarang kita memasuki dunia globalisasi. Di mana  salah satu  akibat globaliasi adalah adanya revolusi Teknologi, Telekomuniksi dan Transportasi atau disingkat 3T. Salah satu yang mendera  dunia perfilman  adalah  perkembangan teknologi dunia perfilman. Kalau dulu orang untuk melihat film dengan harus  melihat ke gedung bioskop. Kemudian juga disusul dengan  adanya layar tancap yang terkenal dengan  layat “misbar” ( singkatan gerimis bubar). Setelah itu muncul teknologi kaset film, lalu berkembang lagi menjadi VCD  dan DVD sehingga film bisa dilihat di rumah  tanpa harus pergi keluar.  Pada Akhir-akhir ini  seiring  perkembangan teknologi internet, film dapat diunduh (download) dari situs-situs di internet sehingga orang secara bebas bisa memilih film apa yang mau ditonton. Imbasnya adalah animo masyarakat umum untuk melihat film nasional  menjadi tergerus bahkan hilang. Karena  adanya revolusi teknologi itu  orang bisa melihat  film  manca negera yang lebih berkualitas  daripada film nasional, disamping itu agaknya  internet memberikan lebih banyak pilihan  bagi pemirsa untuk melihat film luar negeri dari pada film sendiri. Sebagaimana di katakan oleh John Naisbitt dan Patricia Aburdene, dalam Megatrends 2000 (Rakhmad.1996) menunjukan bahwa hiburan tidak terkecuali film sekarang telah menjadi bisnis internasional sehingga  gaya hidup masyarakat  menjadi berubah. Dari yang dulunya menyukai film nasional menjadi antipati. Memang efek dari globalisasi adalah mematikan budaya lokal, apakah film nasional juga  mengalami itu, agaknya menurut hemat kami kalau tidak segera di cari jalan keluarnya  akan menuju ke  arah tersebut.         

Keenam, Fungsi LSF yang Kurang Profesional 
Selama ini harus diakui bahwa Lembaga Sensor Film (LSF) diberi wewenang untuk mengatur sebuah film nasional untuk beredar di nusantara. Menurut Rahmah Ida (dalam Cahyana & Suyanto, 1996) Lembaga Sensor film yang ada di Indonesia mempunyai wewenang memberikan kata putus laik-tidaknya sebuah film ditayangkan atau di putar. Sebagai satu-satunya Lembaga Sensor film, dalam melakukan sensor terhadap sebuah film, LSF  (dahulu BSF) selalu mengacu  pada aturan  kriteria sensor yang telah ditetapkan sesuai dengan pasal 33 ayat 2 UU Nomer 8 tahun 1992, tentang perfilman. Kriteria sensor yang dikenakan pada sebuah film menurut pasal tersebut antara lain: (1) diluluskan sepenuhnya, (2) dipotong bagian gambar tertentu, (3) ditiadakan suara tertentu, dan (4) ditolak seluruh film. Kriteria atau aturan sensor ini berlaku baik untuk film layar lebar maupun film-film di televisi. Melihat  kewenangan demikian besar maka menurut hemat saya sudah sepatutnya kekuasaan LSF dikurangi. Hal itu agar   menunjang kreatifitas para insan  perfilman nasional baik itu sutradara, produser maupun  artis filmnya. Tentu saja keberadaan LSF perlu dipertahankan sebagai rambu-rambu  buat insan perfilman nasional membuat film. Saya sependapat dengan S Sinansari Ecip, Anggota KPI Pusat dalam salah satu artikelnya mengatakan bahwa tidak semua informasi dapat diteruskan oleh media massa, bahkan tidak semua informasi publik dapat diteruskan ke khalayak media massa.  Informasi yang bisa diteruskan harus memenuhi syarat. Informasi tersebut pertama-tama haruslah informasi publik, bukan informasi pribadi.Adegan suami istri di dalam kamar dan lain-lain itu informasi pribadi, tidak untuk umum (Republika, 5/2/08).  Hal itu penting jangan sampai tragedi lolosnya film yang menghebohkan masyarakat seperti Pembalasan Ratu Pantai Selatan yang membuat ketegangan di masyarakat terjadi lagi. Tapi jangan  sampai fungsi LSF  sama seperti ordonansi film yang dibuat 1940  yang fungsi untuk memberangus film yang hampir sama dengan UU  Subersif sehingga mematikan  kreatifitas insan film nasional.     

Pendongkrak Pelestarian Film Nasional
Dalam upaya untuk mewujudkan kelestarian film nasional di negeri sendiri, ada beberapa  faktor yang dapat mendongkrak pelestarian film nasional tersebut. Faktor-faktor pendongkrak tersebut meliputi:

1.Peningkatan Kualitas Film Nasional
Untuk meningkatkan gairah pelestarian film nasional yang pertama kali untuk di garap  adalah peningkatan kualitas film nasional. Terutama dengan membenahi cerita dan skenario film yang akan diproduksi. Karena cerita film Indoensia  sebagian besar (untuk tidak menyebutkan semuanya)  disusun dari ramuan- unsure seks, kemewahan, kekerasan , kesedihan yang berlebihan-sering kali lebih menonjol secara tersendiri. Karena ramuan itu dapat dari film impor maka “wajah Indonesia” memang jarang sekali ditemukan disana.  Hal tersebut menyebabkan para aktor dan aktris tidak bisa dirasakan sebagai tokoh Indonesia dan kaku serta kurang meyakinkan. Memang ciri tersebut tidak lepas dari  sejarah panjang film Indonesia, dimana pembuatan film pertama kali dilakukan 1926 yang dipelopori oleh dua orang luar negeri Heuveldorp dan Kruger  yang berhasil membuat film pertama Loetoeng Kasaroeng. Kemudian karena kekurangan modal akhirnmya mereka berkolaborasi  dengan orang China sehingga film itu muncul sebagai usaha dagang. Cerita film Inodnesia tidak lepas dari aspek komersial (Said, 1991). Menegaskan tentang amburadulnya standard cerita film Indoensia ini, perkataan H. Asrul Sani bisa menjadi bahan renungan.“Cerita-cerita kita kita pada umumnya sekarang bukan lagi datang dari pengarang-pengarang sebenarnya, tapi datang dari finansir yang mengajukan ramuan dari unsur-unsur menurut perhitungannya akan membuat film itu laku. Jadi orang tidak  bertolak dari sebuah cerita yang menarik, tapi kehadiran dari sekian persen unsur seks, sekian persen unsur kekejaman, “kata Asrul Sani sebagaimana dikutip Salim  Said dalam bukunya Profil Dunia Film Indonesia. Sehingga tidak heran  jika film  Indoensia pernah heboh dengan film Pembalasan Ratu Pantai Selatan karena adegan seksnya yang vulgar. Oleh karena itu perbaikan cerita mutlak diperlukan untuk mendongkrak kulitas film nasional dimata masyarakat luas.. Hal tersebut bisa dilakukan dengan menggali cerita-cerita asli Indonesia dengan setting yang juga mencerminkan suasana Indoensia. Sehingga seyognya cerita film seperti Naga Bonar, Untuk Sang Merah Putih (M. Said, 1950), Darah dan Doa (Usmar Ismail, 1950),  dan Enam Jam di Jogya (Usmar Ismail, 1950)  dengan seting perjuangan  revolusi Indonesia dapat ditiru oleh insan perfilman kita, daripada mengadopsi nilai-nilai dari luar yang belum tentu baik.  

2. Membuat Jaringan antara  Produser Film dengan Stasiun  TV
Pada sekarang ini jenis-jenis media-buku, koran, radio,film dan televisi kini tidak lagi berdiri sendiri. Sebagai contoh, seorang produser film mengunakan sejumlah kaset untuk rekamannya untuk contoh. Televisi kini menyediakan jasa teleteks yang berfungsi seperti koran.Perusahaan televisi kini sering bekerja sama dalam produksi film untuk memperkaya program siarannya (Rivers. 2004). Hal itu terlihat seperti ANTV untuk menayangkan acara hiburan dengan skala  luas dan standar budaya modern bekerja sama dengan MTV Asia sebagai salah satu jaringan MTV dunia. Begitu pula SCTV menjalin kerja sama dengan Televisi kabel ESPN (Entertaiment & Sport Program Net work) untuk menyiarkan SCTV Sport. Kemudian Indosiar untuk menayangkan acara film layar lebar bekerja sama dengan HBO (Home Box Office). Secara umum, televisi swasta di berbagai negara, termasuk juga Indonesia memliki jaringan kerja sama dengan mass media seperti CNN, HBO, ESPN, DC, TNT, CFI, MTV, STAR-TV, Fox-TV, CBS, NBC, ABC, dan sebagainya (Bungin, 2001). Sebaiknya insan film nasional bisa meniru yang dilakukan Wald Disney dengan membangun jaringan televisi dunia untuk menayangkan produk hiburan anak-anak dengan berbagai jenis film animasi. Hal itu bisa dilakukan misalnya produser film menyalin kerja sam dengan beberapa  stasiun TV swasta di Indonesia seperti RCTI,  SCTV, TPI, Lativi, TPI, Indosiar, Metro TV, Trans-7 dan  TV lokal di Indonesia agar filmnya bisa ikut ditayangkan. Tentu saja perjanjian kedua belah pihak harus saling menguntungkan. Kerjasama  antara produser film nasional dengan TV swasta mutlak diperlukan karena selama ini TV swasta juga “plat merah” banyak menayangkan film  impor atau luar negeri. Jarang  mereka menampilkan film nasional. Kalaupun ada seperti tayangan film Kiamat Sudah  Dekat  dan Naga Bonar jadi Dua di TV swasta nasional, tapi hal itu kurang  diikuti dengan film nasional yang lain sehingga intensitas penayangan film nasional di TV nasional kurang terjaga.
Dengan kerjasama antara produser film nasional dengan  jaringan TV ditanah air bisa menjembatani kerinduan pemirsa akan kehadiran film nasional, Karena seiring  banyaknya bioskop yang gulung tikar maka penayangan film nasioanal di televisi menjadi sarana lain yang sangat ampuh untuk menyedot  penonton  untuk melihat film nasional.    

3. Memperbanyak Iklan Film Nasional  di Media massa
 Sekarang ini  tidak banyak  media yang mengupas secara  detail tentang sebuah film. Padahal hal itu penting untuk  memperkenalkan tentang  kelebihan dan kekurangan sebuah film. Sehingga nantinya timbul hasrat masyarakat untuk melihat film tersebut. Dimasa lalu ada acara semacam resensi film nasional di stasiun TV nasional. Tapi sekarang  acara tersebut ditiadakan. Kalapun ada hanya mengulas tentang film luar negeri. Memang ada di sebuah  situs  yang menyajikan resensi film nasional. Tapi seberapa banyak masyarakat mengetahui akan hal tersebut?. Padahal itu mutlak dilakukan karena  belanja Iklan film sangat jauh dibanding  yang lain. Simaklah angka-angka berikut sebagai gambaran tentang belanja iklan: Media Bioskop  pada tahun 1990 total iklannya berjumlah Rp 8 Miliar (1,3 %), 1991 berjumlah Rp 9 Miliar (1,1 %),  1992   mencapai Rp. 10 Miliar (1,0 %), sedangkan pada tahun 1993 Rp. 10 Miliar  atau hanya 0,8 % dari kue Iklan di Indonesia (Mulyana & Ibrahim, 1997). Terlihat bahwa belanja iklan Bioskop untuk  memperkenalkan filmnya menunjukan tren semakin menurun. Bandingkan umpamanya dengan  belanja Iklan media  Televisi pada tahun 1990 hanya Rp. 61 Miliar (8 %),  tahun 1991 naik menjadi Rp 212 Miliar (25, 4 %), selanjutnya pada 1992 naik lagi menjadi Rp 390 Miliar (38 %) dan pada tahun 1993 mencapai 521 Miliar (43,4 %).
Sungguh  kenyataan yang memprihatinkan untuk dunia film nasional. Oleh karena itu untuk memperkenalkan keberadaaan film  nasional diperlukan langkah-langkah untuk memperluas iklan Film nasional di masyarakat. Pertama, Mengikutkan film nasional pada ajang festifal  film baik tingkat nasional mapun internasional. Sehingga prestasi seperti film langitku Rumahku”, yang menang di festifal Film Berlin (Jerman), Melbourne (Australia), Nantes (Perancis), dan Kairo (Mesir), Juga Tjoet Nyak Dien di Cannes (Perancis), merupakan prestasi sekaligus iklan secara gratis bagi film nasional  dan bukti bahwa kualitas film nasional tidak kalah dengan film luar. Imbasnya masyarakat akan penasaran untuk melihat film tersebut. Kedua. Membuka space resensi film di berbagai media (koran, dan televisi maupun internet). Misalnya dengan  diadakanya  rubrik resensi film  sebagaimana resensi buku pada hari Minggu di koran. Ketiga,  mengadakan acara peluncuran (launching) untuk film nasional yang selesai dibuat. Kini acara launcing film nasional sudah sangat lazim untuk memperkenalkan film yang baru. Seperti launching film Kiamat Sudah Dekat dan ternyata mendongkrak pemirsa film tersebut.     

4. Dukungan  Pemerintah
Satu pihak yang tidak dapat dipisahkan dari upaya pelestarian film nasional adalah pemerintah. Karena di masa lalu pemerintah dalam hal ini melalui BSF (kini LSF) dapat mementukan hitam putih sebuah film nasional. Oleh karena itu dalam upaya pelestarian film nasional diperlukan peran aktif dan dukungan dari pemerintah. Hal itu dapat diwujudkan dengan berbagai bentuk. Pertama, mendorong LSF agar berfungsi profesional bukan corong pemerintah untuk membredel film yang tidak sesuai dengan keinginan pemerintah. Hal  itu sebagaimana dikatakan  Menpora Adhyaksa Dault, bahwa peran dan fungsi LSF harus profesional dan orang-orang yang mengisinya haruslah orang-orang yang profesional, bijak dan bertanggungjawab (Kompas, 14/1/08). Sehingga film nasional memperoleh perlindungan dari LSF yang profesional. Kedua, memberikan bantuan dana. Hal ini mutlak diperlukan karena untuk mengirimkan sebuah film nasional dikancah Internasional pun butuh dana sehingga bantuan dana pemerintah  akan sangat membantu. Hal ini bisa meniru seperti pengirim atlit olahraga untuk berlaga di ajang  internasional yang dibantu pemerintah. Ketiga, membuat regulasi (peraturan) yang mendukung berkembangnya film nasional.   

Sebagai penutup, film nasional  yang lahir pada tahun 1926 ini, kedepan  seiring dengan kemajuan zaman, tentunya  harus banyak berbenah agar tidak tergerus oleh serbuan film asing akibat gobalisasi ini. Sebab banyaknya ”ranjau” yang siap menghambat pelestarian film nasional di negeri tercinta ini, sebagaimana kami ungkapkan di atas. Oleh karena itu, dibutuhkan dukungan semua pihak agar  pelestarian film nasional  dapat terwujud sehingga  film nasional dapat eksis di negeri sendiri. Selamat ulang (30 Maret 2008)  Film  nasional semoga selalu jaya di rumah sendiri dan di dunia Internasional.    


***


Daftar Pustaka

Burhan Bungin. Erotika Media Massa. Surakarta. Muhammadiyah University Press. UMS. 2001
Bagong Suyanto. Masalah Monopoli dan Prospek Film Nasional. Dalam Yan-Yan Cahyana & Bagong Suyanto. Kajian Komunikasi dan Seluk-Beluknya. Surabaya. AUP. 1996
Bagong Suyanto. Menggugat Erotisme Film Nasional. Dalam Yan-Yan Cahyana & Bagong Suyanto. Kajian Komunikasi dan Seluk-Beluknya. Surabaya. AUP. 1996
Dedy Mulyana & Idi Subandy Ibrahim. Bercinta dengan Televisi. Bandung. Remaja Rosdakarya. 1997.   
Daru Priyambodo & Bagong Suyanto. Film Nasional dan Penonton yang Makin Kritis. Yan-Yan Cahyana & Bagong Suyanto. Kajian Komunikasi dan Seluk-Beluknya. Surabaya. AUP. 1996
Henry Subiakto. Posisi Film Nasional di Era Globalisasi. Dalam Yan-Yan Cahyana &
Bagong Suyanto. Kajian Komunikasi dan Seluk-Beluknya. Surabaya. AUP. 1996
Jalaluddin Rakhmat. Islam Aktual. Bandung. Penerbit Mizan. 1996
Krisna Sen. Persoalan-Persoalan Sosial dalam Film Indonesia. Dalam  Prisma  No. 5 tahun XIX 1990.
Ryadi Gunawan. Sejarah Perfilman Indonesia. Dalam  Prisma  No. 5 tahun XIX 1990.
Asrul Sani. Perkembangan Film Indoensia dan Kualitas Penonton. Dalam  Prisma  No. 5 tahun XIX 1990.
Prisma  No. 5 tahun XIX 1990.
S. Sinansari Ecip. Bagaimana Tanpa Sensor Film?. dimuat dalam Harian Republika  5 Februari 2008.
Riri Reza. Film Sebagai Cerminan dan Kontrol Sosial. Dimuat dalam Majalah Al Falah. Edisi 226.Januari 2007 
Salim Said. Profil Dunia Film Indonesia. Jakarta; PT. Pustakakarya Grafikatama. 1991
Salim Said, Pantulan Layar Putih. Jakarta. Pustaka Sinar Harapan. 1991
Wiliam L. Rivers, et.al. Media Massa & Masyarakat Modern. Jakarta; Prenada Media. 2004

Yan-Yan Cahyana & Bagong Suyanto. Kajian Komunikasi dan Seluk-Beluknya. Surabaya. AUP. 1996

*Diajukan sebagai Essai dalam Lomba Penulisan Essai Pelestarian Film NasionalOleh Perpustakaan Nasional RI Bekerja Sama Dengan Sinematek Indonesia 2008

Tidak ada komentar: