“Ranjau-Ranjau” Pelestarian
Film Nasional*
Oleh: Untung Dwiharjo, S. Sos
Film hadir sebagai bagian dari kebudayaan massa,
yang muncul seiring dengan perkembangan masyarakat perkotaan dan industri. Sebagai
bagian dari budaya massa yang populer, film adalah suatu kitsch, suatu
seni yang dikemas untuk dijajakan
sebagai komoditi dagang. Film dikemas dalam untuk dikonsumsi massa yang beribu,
bahkan berjuta jumlahnya.
Dibandingkan dengan kebudayaan tinggi yang telah
mapan, film yang merupakan produk komersial akan lebih menekankan kemampuan
komunikasi produk-produk dan aktifitasnya daripada penghargaan kritis khalayak
ramai. Dengan perkataan lain, film sebagai suatu budaya pop akan lebih
menekankan estetika–resepsi daripada estetika-kreasi.
Disamping itu, sebagai sebuah kesenian populer,
film juga akan sangat rentan terhadap waktu. Kalau kebudayaan tinggi, ia akan
selalu berprestasi mengabdi ke masa depan, sementara itu untuk budaya pop,
niscaya ia akan gampang berpuas diri dengan keadaaanya masa kini. Dalam
prakteknya, jika harus memilih antara memenangkan penonton yang banyak dalam
waktu yang singkat atau penonton yang
sedikit dalam waktu yang panjang, niscaya film akan lebih memilih kemungkinan
pertama, yaitu menjadi kebudayaan yang sesaat, tapi global (Priyambodo &
Suyanto, 1996). Dalam hal ini, tidak salah jika film dikatakan telah menjadi
semacam komoditi ekonomis, dimana hukum-hukum pasar lebih memegang kendali
dibandingkan kreatifitas dan idealisme seniman.
Selama ini, bukan merupakan rahasia lagi jika
sebagian besar tujuan pembuatan film nasional adalah demi mengejar keuntungan
semata. Sangat sedikit para produser dan sutradara yang berminat membuat sebuah
film yang bermutu dan sanggup menjadi masterpiece, meski hanya kecil
sekalipun.
Para pembuat film yang memang berniat untuk
mengorek keuntungan sebanyak-banyaknya, bukan berpikir bagaimana memilih pemain
dengan mutu dan peran yang tinggi atau berpikir bagaimana menyuguhkan
adegan-adegan dasyat kepada penonton meski sebenarnya itu berlebihan.
Adegan yang biasa ditampilkan dalam
film-film nasional adalah adegan seks yang menggiurkan; adegan kekejaman yang
dapat membuat penonton sakit jantung; adegan tari dan nyayian yang membuat
penonton lupa daratan. Pendeknya, segala sesuatu yang meski jarang ditemukan
dalam realitas sehari-hari, tetapi sanggup membuat penonton terpaku dan betah
duduk sampai selesai.
Makanya
dalam perfilman nasional pernah muncul judul film yang
relatif aneh seperti film Malam
Satu Suro, Nyi Roro Kidul, Sundel Bolong
serta film yang sempat bikin heboh
Dendam Ratu Pantai Selatan yang di dalamnya banyak menyajikan adegan
adegan seks dan horor.
Dari berbagai analisis para ahli, seperti Sigfried
Kracauer atau Peter Roffman dan Jim Purdy (Priyambodo & Suyanto,1996),
umumnya mereka menyatakan bahwa tidak mungkin seseorang produser mau
memproduksi film yang populer, jika film
jenis film ini tidak diinginkan atau digemari masyarakat sebagai konsumennya.
Jadi menurut para ahli tersebut, jika dimasyarakat
banyak beredar film–filn nasional yang
bermutu rendah seperti selama ini ada,
hal itu berarti masyarakat sendiri
memang menghendaki film seperti itu.
Penilaian itu setidaknya terkonfirmasi pada sebuah
peneltian kecil yang dilakukan oleh Daru
Priyambodo & Bagong Suyanto (1996), dengan mengambil sampel 100
responden di Surabaya setidaknya
menemukan bahwa mayoritas responden (56
%) menyatakan bahwa film nasional
cenderung kurang realistik
dan sebanyak 66 % menyatakan film nasional terlalu
mementingkan keuntungan ekonomisnya dari pada
mutu seni filmnya.
Walaupun
penelitian ini tidak bisa digeneralisasi untuk semua film tapi setidaknya ini membuktikan sebagian
sinyalemen bahwa film nasional selama ini banyak berkisar pada “ Sekwilda”
(sekitar wilayah dada) yang bermutu rendah
serta hanya kepentingan bisnis semata. Tapi ternyata film Gita
Cinta dari SMA atau film Kejarlah Daku Kau Kutangkap,
misalnya terbukti dapat laris manis dipasaran tanpa harus mengumbar wilayah aurat.
Serta film sinetron seperti Losmen atau Benang Emas dan semacamnya
juga terbukti mampu menyedot banyak
penggemar tanpa secuilpun menampilkan
adegan yang seronok.
Kini dengan
perkembangan zaman yang demikian cepat
maka menjadi keharusan perfilman
nasional untuk mengubah orinetasi
guna tetap eksis dan tidak tergerus oleh perkembangan teknologi dan film luar negeri yang lebih maju.
Langkah pertama agar pelestarian
terhadap film nasional tetap
terjaga adalah mengetahui perubahan
konsumen film nasional.
Penonton Makin Kritis
Film nasional dimasa lalu dan mungkin juga sampai
sekarang lebih menonjolkan ramuan aspek adegan seks-kekerasan serta kemewahan.
Padahal apek ini sekarang banyak menurun
untuk menggaet penonton domestik. Hal
ini tidak lepas dari semakin kritisnya selera penonton. Hal itu terekam dalam Penelitian
Bagong Suyanto dan Daru Prioyambodo (1996) yang menyimpulkan bahwa dalam diri
responden sebagai bagian dari massa perkotaan secara luas tampaknya telah
muncul semacam sikap kritis dan sikap
apresiatif pada film nasional sebagai suatu seni. Mereka tidak puas hanya
disuguhi adegan-adegan porno, adegan kekerasan yang berlebihan, adegan
kemewahan yang tidak pada tempatnya, dan semacamnya.
Akan tetapi mereka telah menuntut untuk memperoleh
sajian-sajian yang lebih bermutu. Massa perkotaan yang semakin tinggi mobilitas
sosialnya dan semakin pandai, sepertinya menuntut film nasional menjadi lebih
cerdas dan kaya akan ramu-ramuan artistik seni. dalam menilai tokoh-tokoh film.
Responden sudah tidak lagi terbengong-bengong
dengan wajah cantik-seksi atau wajah tampan sang bintang film.
Aktor penuh karakter Deddy Mizwar
mendapat tempat utama di mata mereka sedangkan dari wanitanya juga artis senior
Cristina Hakim serta Widyawati. Bukti lain tentang semakin kritisnya masa
perkotaan akan mutu film nasional dapat juga dilihat juga dari penilaian
responden terhadap film-film yang masuk nominasi Piala Citra selama tahun
1989-1989 rata-rata menyatakan layak ditonton. Bahkan terdapat empat film yang
menurut responden sangat layak ditonton, yaitu Tjoet Nyak Dien (82,9 % menyatakan
baik), Arini (74,2 % menyatakan baik), Naga Bonar (66,7 %
menyatakan baik) serta Kodrat (47,1
% menyatakan baik). Walaupun penelitian
itu sekupnya terbatas dan dilakukan
beberapa tahun silam, tapi paling tidak menunjukan kenyataan akan pergeseran selera masyarakat akan film nasional. Sehingga film yang dulu
pernah ramai akan penonton dan digandrungi
kawula muda dengan tema-tema agak berbau seks seperti Gadis
Metropolis, Ranjang Pemikat, Ranjang yang Ternoda, Akibat Hamil Muda,
Kenikmatan Tabu, Selir Cinta, Cinta dan
Nafsu, atau Setetes Noda Mani, telah
bergeser ke film bertema lebih manusiawi dan spiritual seperti Naga
Bonar Jadi Dua, Kiamat Sudah Dekat, Pasir Berbisik serta Daun Diatas
Bantal dan lain sebagainya. Itu semuanya memang menunjukan tren yang menggembirakan.
Perkembangan film sekarang juga menunjukan geliat kearah yang positif yang mampu
mendongkrak pelestarian film nasional
kita tercinta ini.
Sineas Muda: Aktor Pelestarian Film Nasional.
Geliat kebangkitan
filn nasional menemukan momentum
kegairahanya ketika film Ada Apa Dengan Cinta (AADC) meledak di pasaran.
Mata insan perfilman yang selama
itu serasa tertidur pulas ternyata bisa
disadarkan berkat film itu. Film tersebut
seakan mematahkan mitos bahwa film yang berkualitas apalagi yang memenangi
penghargaan piala citra kurang dapat diterima oleh penonton yang awam. Sebagaimana
dialami film Daun diatas Bantal atau Pasir Berbisik yang
membuat penonton sedikit memeras otak
untuk memahami jalan ceritanya Tapi Film
AADC mendorong film nasional
menjadi rumah sendiri serta turut
menjadi inspirator pelestarian
filma nasional. Kebangkitan film nasional sekarang ini paling didongkrak oleh kemuculan sineas muda yang visioner dan idealis.
Munculnya sineas-sineas muda dipentas perfilman nasional sekarang ini seolah menjadi darah segar bagi regenerasi
sutradara yang lebih dulu merajai
perfilman nasional. Nama sutradara
senior seperti Usmar Ismail, Wim Umboh, Djajakusuma, Nya Abas Akub,
Teguh Karya, Asrul Sani serta Syuman Jaya dan sebagainya. Mereka yang pernah mengukir
tinta emas di eranya sekarang seolah ada yang meneruskan oleh kemunculan sutradara
muda yang dimotori oleh sutrada Garin
Nugroho dengan filmnya yang beberapa
kali menyabet penghargaan nasional mapun
internasional Seperti filmnya Cinta
dalam Sepotong Roti, yang meraih film terbaik FFI 1991 dan Sutradara baru
terbaik Asia-Pasifik Film Festifal di Korea Selatan tahun 1992 dan penghargaan
lainnya. Disusul dengan nama Riri Reza
yang banyak mengahasilkan film fenomenal
seperti Kuldesak (1998), Petualangan Sherina (2000), Eliana,
Eliana (2002), serta Gie (2005).
Bahkan dia pernah menjadi produser dalam film AADC yang digandrungi anak muda
itu. Kemudian disusul sutradara muda Hanung Bramantyo yang menghasilkan film antaranya, Lentera Merah (2006), Jomblo (2006), Sayekti Dan Hanafi (Tv)
(2005), Catatan Akhir Sekolah (2005), Brownies (2004), When ... (Film Pendek)
(2003), Gelas-Gelas Berdenting (2001) Dan Topeng Kekasih (2000). Selain
itu dirinya juga mengarahkan film Tingkling Glass, yang kemudian
berhasil meraih Juara III Bronze 11th Cairo International Film Festival (CIFF)
Category TV Program di Mesir (www.kapanlagi.com). Kini Hanung meluncurkan film bertemakan
religius dengan judul Ayat-Ayat Cinta (AAC), serta sineas Nia Dinata
serta Mira Lesmana dan sebagainya. Semua
sutradara muda itu memberikan warna tersendiri bagi pelestarian film nasional saat ni.
Enam ”Ranjau” Pelestarian Film Nasional
Film nasional dalam menjadikan dirinya tetap
lestari di bumi pertiwi ini tentunya tidak mudah. Banyak halang rintang
yang siap menghadang di dalam
perjalanannya. Berikut ini beberapa
”ranjau” yang menurut hemat kami siap menghalangi eksistensi pelestarian film nasional:
Pertama, Merosotnya jumlah bioskop di
Tanah Air
Tidak dipungkiri keberadaan film Indonesia
dimata penontonya tak lepas dari peran
bioskop. Di Indonesia sejak
dibukanya “gedung” bioskop di daerah
Tanah Abang pada awal Abab XX, yang kemudian
disusul sejumlah tempat mendirikan bioskop (Ryadi Gunawan, Prisma No. 5 tahun XIX 1990). Sehingga pada era
tahun 80-90an gedung bioskop menjadi
primadona hiburan masyarakat terutama dalam melihat film dalam negeri. Karena
banyak berdiri bioskop dari mulai kelas atas sampai kelas bawah. Sebagaimana
diungkapkan Dr. Salim Said dalam bukunya Profil Dunia Film Indonesia (1991)
mengatakan bahwa sebagai akibat dari bertambahnya gedung bioskop dan munculnya
banyak sinepleks, jumlah penonton film Indonesia juga meningkat. Dari data yang ada pada PT. Peredaran film
Indonesia (PT. PERFIN) terlihat jika antara tahun 1975-1979 rata-rata film
nasional di Jakarta ditonton oleh 70 ribu orang, angka itu mencapai 140 ribu
orang pada tahun 1986-1989.
Dari sumber yang sama juga diketahui bahwa film
Indonesia merajai bioskop menengah ke bawah. Dengan kata lain, film-film impor hanya menjadi
konsumsi masyarakat kelas atas di kota besar saja. Tapi sekarang dengan perkembangan
jaman yang sangat cepat seperti sekarang ini jumlah bioskop yang memutar film
Indonesia semakin lama semakin susut jumlahnya. Terutama yang masih bertahan
adalah bioskop yang berada dikota besar seperti kelompok 21, sedangkan bioskop
yang dipinggiran kota harus gulung tikar karena sepinya penonton.
Kedua, Serbuan Film Manca Negara
Pada era globalisasi sekarang ini dimana batas-batas
antar negara menjadi kabur, maka imbasnya lalu lintas perdagangan antar negara
menjadi sebuah keharusan. Industri
perfilman nasional juga mengalami serbuan film dari manca negera (Film Eropa,
Asia, Amerika). Hal itu terlepas dari ketaklukkan kita pada kekuatan komersial
pemegang hegemoni budaya dunia. Masyarakat dikondisikan menjadi tertarik dan
takjub pada produk komoditi budaya komersial Barat, yang pada kenyataannya
tidak selalu lebih baik dari pada produk domestik (Subiakto, 1996).
Hal ini juga dapat kita lihat dari pemutaran film
di bioskop dimana rasio antara film
nasional dengan film barat 1:3. Dimana
satu film nasional disitu di putar tiga film
luar. Ini menunjukan kian eksisnya
serbuan film manca negera
terhadap perfilman nasional. Meminjam bahasa Henry Subiakto, Pakar Komunikasi
Unair membanjirnya film impor tidak hanya masalah karena kualitas film
nasional yang “jalan di tempat” , melainkan orang menonton film impor juga
karena dorongan ingin menjadi warga kelas satu, yang tidak ketinggalan dalam
hal selera, hiburan, gaya hidup dan informasi. Kesemuanya itu dibentuk oleh
kekuatan informasi, terutama media massa, termasuk film nasional itu sendiri. Dengan
nada yang hampir sama, adanya image menonton film nasional yang masih
rendah. Film nasional (Indonesia) selalu
dianggap sebagai hiburan bagi anggota masyarakat bawah yang kurang terdidik.
Hal ini telah terbukti ketika Krisna Sen, seorang ilmuwan Australia ketika melakukan penelitian lapangan di Jakarta pada tahun 1980-an, dia
malah dianggap norak dan kampungan ketika harus menonton film Indonesia oleh
sebagian mahasiswanya (Prisma No. 5
tahun XIX 1990).
Ketiga, menyempitnya segmen penonton
Saat ini
film(nasional) mengalami pnciutan segmen penonton. Kalau dulu film di
tonton semua kalangan baik orang tua sampai anak-anak. Sekarang justru anak muda yang banyak memadati gedung bioskop
untuk menonton film. Itupun banyak yang datang hari libur (weekend). Hal
itu akibat dari maraknya kebudayaan pop yang menjangkiti kawula muda. Dimana
mereka (anak muda) kebingungan menghabiskan waktu luangnya. Tidak sulit untuk
mengetahui mengapa khalayak utama film
kini adalah generasi muda. Karena pergi
ke bioskop bersama-sama itu sendiri merupakan kegiatan sosial yang mudah dan
murah. Kaum muda yang tidak mempunyai
kelompok bermain (peer group) atau pilihan
bersosialisasi yang menarik, menggunakan kunjungan ke bioskop sebagai wahana
utama untuk bergaul.
Hal ini menunjukan bahwa dewasa ini film kian
tergantung pada generasi muda sebagai pasarnya. Minat mereka ke bioskop relatif
paling besar sehingga kebanyakan film dibuat untuk dikonsumsi mereka. Sehingga
anak muda sekarang banyak menghabiskan waktunya salah satunya dengan melihat
film. Itupun sebagian besar melihat film impor (luar negeri). Kecuali film yang
bertemakan percintaat seperti AADC yang meledak karena banyak anak muda yang
menonton film tersebut. Sebaliknya orang tua sekarang semakin malas untuk
melihat film apalagi film nasional karena banyak hiburan lain bisa mereka lakukan. Orang tua sekarang bisa
melihat hiburan film misalnya lewat TV
yang menyediakan film
hiburan yang kebanyakan film luar atau impor. Menurut penelitian Opinion
Research Corporation (Rivers dkk, 2004) menunjukan bahwa mayoritas penonton bioskop saat ini berusia
di bawah 30 tahun, dan hampir
sepertiganya berusia di bawah 15 tahun. Orang dewasa berusia 50 tahun ke
atas hampir tidak pernah ke bioskop lagi, apalagi yang sudah menikah. Walaupun
data ini ditemukan di masyarakat Amerika, tapi nampaknya kenyataan serupa juga
menerpa masyarakat Indonesia, tentunya dengan persentase yang berbeda.
Keempat, mahalnya biaya pembuatan film
Banyak insan perfilman nasional dalam membuat film
terbentur pada masalah biaya yang mahal. Sehinggga karena terbentur oleh
masalah biaya, maka sebagian produser film nasional terpaksa membuat film yang
murah tapi ironisnya harus mengesampingkan idealisme dengan mengekploitasi seks
dan sadisme. Jumlahnya ditengarai oleh banyak kalangan mencapai 60 % film nasional
yang termasuk kategori “film
kacangan” yaitu film yang dibuat dengan kualitas rendah.
Menurut catatan Budiati Adiyoga, produser
film, film nasional digambarkan seperti
kerucut. Puncak kerucut diisi oleh film berkualitas diisi oleh jumlah film
berkualitas baik yang biayanya mahal, seperti film Tjut Nyak Din, dan
film kolosal Saur Sepuh dan Pemberontakan G 30 S. Sedangkan film-film dengan biaya sedang yang banyak diantaranya memiliki kualitas baik
dan berhasil masuk nominasi FFI serta meraih Piala Citra, berada di tengah
kerucut. Kenyataan ini diperkuat dengan data biaya produksi film nasional.
Data sekitar tahun 1980, misalnya
menunjukan bahwa pendapatan rata-rata film nasional Rp 90 juta perfilm, padahal
biaya produksi untuk film yang kualitasnya baik waktu itu mencapai minimal Rp.
120. juta sampai Rp.150 juta. Akibatnya, untuk mencapai batas kelayakan,
dibuatlah film yang dikenal dengan film kacangan yang berbiaya Rp. 80 juta atau
maksimum Rp. 90 juta. Contoh kongkret lainya betapa mahal membuat film yang
berkualitas tergambar dalam biaya pembuatan film Tjut Nyak Dhien yang
sekitar Rp. 1,5 Miliar, serta Saur Sepuh I yang mencapai Rp. 800 juta. (Prisma No. 5 tahun XIX 1990).
Walaupun data diatas sekitar tahun 1990-an tetapi
dengan meningkatnya nilai dolar terhadap rupiah
sebagai imbas dari krisis ekonomi
1997 lalu, hampir dapat dipastikan untuk membuat film yang berkualitas meningkat berkali-kali lipat dan sangat
mahal. Sebagai gambaran kekinian adalah pembuatan film Ayat- Ayat Cinta (AAC)
yang di sutradarai Hanung Bramantyo menghabiskan dana Rp. 15 Miliar (Jawa Pos, 27/2/08). Imbasnya
produksi film nasional pun jadi tidak banyak, dan yang boleh dikatakan
berkualitas dapat dihitung dengan jari. Dan resiko untuk membuat film yang
berkualitas dan mahal mungkin seperti digambarkan oleh Eros Djarot
ketika membuat film Tjut Nyak Dhien. “Saya membutuhkan waktu dua
tahun untuk membuat film Tjut Nyak Dhien, dengan mempertaruhkan semuanya,
uang, rumah, bahkan keluarga. Setelah film ini, saya tidak mendapatkan penghasilan
selama tiga tahun, siapa yang mau
begitu?”.
Kelima, Revolusi Teknologi Audio Visual
Tidak dipungkiri
zaman sekarang kita memasuki dunia globalisasi. Di mana salah satu
akibat globaliasi adalah adanya revolusi Teknologi, Telekomuniksi dan
Transportasi atau disingkat 3T. Salah satu yang mendera dunia perfilman adalah
perkembangan teknologi dunia perfilman. Kalau dulu orang untuk melihat film dengan
harus melihat ke gedung bioskop.
Kemudian juga disusul dengan adanya layar
tancap yang terkenal dengan layat “misbar”
( singkatan gerimis bubar). Setelah itu muncul teknologi kaset film, lalu
berkembang lagi menjadi VCD dan DVD
sehingga film bisa dilihat di rumah
tanpa harus pergi keluar. Pada
Akhir-akhir ini seiring perkembangan teknologi internet, film dapat
diunduh (download) dari situs-situs di internet sehingga orang secara
bebas bisa memilih film apa yang mau ditonton. Imbasnya adalah animo masyarakat
umum untuk melihat film nasional menjadi
tergerus bahkan hilang. Karena adanya
revolusi teknologi itu orang bisa
melihat film manca negera yang lebih berkualitas daripada film nasional, disamping itu
agaknya internet memberikan lebih banyak
pilihan bagi pemirsa untuk melihat film
luar negeri dari pada film sendiri. Sebagaimana di katakan oleh John Naisbitt
dan Patricia Aburdene, dalam Megatrends 2000 (Rakhmad.1996) menunjukan
bahwa hiburan tidak terkecuali film sekarang telah menjadi bisnis internasional
sehingga gaya hidup masyarakat menjadi berubah. Dari yang dulunya menyukai
film nasional menjadi antipati. Memang efek dari globalisasi adalah mematikan
budaya lokal, apakah film nasional juga
mengalami itu, agaknya menurut hemat kami kalau tidak segera di cari
jalan keluarnya akan menuju ke arah tersebut.
Keenam, Fungsi LSF yang Kurang Profesional
Selama ini harus diakui bahwa Lembaga Sensor Film
(LSF) diberi wewenang untuk mengatur sebuah film nasional untuk beredar di nusantara.
Menurut Rahmah Ida (dalam Cahyana & Suyanto, 1996) Lembaga Sensor film yang
ada di Indonesia mempunyai wewenang memberikan kata putus laik-tidaknya sebuah
film ditayangkan atau di putar. Sebagai satu-satunya Lembaga Sensor film, dalam
melakukan sensor terhadap sebuah film, LSF (dahulu BSF) selalu mengacu pada aturan
kriteria sensor yang telah ditetapkan sesuai dengan pasal 33 ayat 2 UU
Nomer 8 tahun 1992, tentang perfilman. Kriteria sensor yang dikenakan pada
sebuah film menurut pasal tersebut antara lain: (1) diluluskan sepenuhnya, (2)
dipotong bagian gambar tertentu, (3) ditiadakan suara tertentu, dan (4) ditolak
seluruh film. Kriteria atau aturan sensor ini berlaku baik untuk film layar
lebar maupun film-film di televisi. Melihat
kewenangan demikian besar maka menurut hemat saya sudah sepatutnya kekuasaan
LSF dikurangi. Hal itu agar menunjang
kreatifitas para insan perfilman
nasional baik itu sutradara, produser maupun
artis filmnya. Tentu saja keberadaan LSF perlu dipertahankan sebagai
rambu-rambu buat insan perfilman
nasional membuat film. Saya sependapat dengan S Sinansari Ecip, Anggota KPI
Pusat dalam salah satu artikelnya mengatakan bahwa tidak semua informasi dapat
diteruskan oleh media massa, bahkan tidak semua informasi publik dapat
diteruskan ke khalayak media massa.
Informasi yang bisa diteruskan harus memenuhi syarat. Informasi tersebut
pertama-tama haruslah informasi publik, bukan informasi pribadi.Adegan suami
istri di dalam kamar dan lain-lain itu informasi pribadi, tidak untuk umum
(Republika, 5/2/08). Hal itu penting
jangan sampai tragedi lolosnya film yang menghebohkan masyarakat seperti Pembalasan
Ratu Pantai Selatan yang membuat ketegangan di masyarakat terjadi lagi. Tapi
jangan sampai fungsi LSF sama seperti ordonansi film yang dibuat
1940 yang fungsi untuk memberangus film
yang hampir sama dengan UU Subersif
sehingga mematikan kreatifitas insan
film nasional.
Pendongkrak Pelestarian Film Nasional
Dalam upaya untuk mewujudkan kelestarian film
nasional di negeri sendiri, ada beberapa
faktor yang dapat mendongkrak pelestarian film nasional tersebut. Faktor-faktor
pendongkrak tersebut meliputi:
1.Peningkatan Kualitas Film Nasional
Untuk meningkatkan gairah pelestarian film
nasional yang pertama kali untuk di garap
adalah peningkatan kualitas film nasional. Terutama dengan membenahi
cerita dan skenario film yang akan diproduksi. Karena cerita film
Indoensia sebagian besar (untuk tidak
menyebutkan semuanya) disusun dari
ramuan- unsure seks, kemewahan, kekerasan , kesedihan yang berlebihan-sering
kali lebih menonjol secara tersendiri. Karena ramuan itu dapat dari film impor
maka “wajah Indonesia” memang jarang sekali ditemukan disana. Hal tersebut menyebabkan para aktor dan
aktris tidak bisa dirasakan sebagai tokoh Indonesia dan kaku serta kurang
meyakinkan. Memang ciri tersebut tidak lepas dari sejarah panjang film Indonesia, dimana
pembuatan film pertama kali dilakukan 1926 yang dipelopori oleh dua orang luar
negeri Heuveldorp dan Kruger yang
berhasil membuat film pertama Loetoeng Kasaroeng. Kemudian karena
kekurangan modal akhirnmya mereka berkolaborasi
dengan orang China sehingga film itu muncul sebagai usaha dagang. Cerita
film Inodnesia tidak lepas dari aspek komersial (Said, 1991). Menegaskan
tentang amburadulnya standard cerita film Indoensia ini, perkataan H. Asrul
Sani bisa menjadi bahan renungan.“Cerita-cerita kita kita pada umumnya sekarang
bukan lagi datang dari pengarang-pengarang sebenarnya, tapi datang dari
finansir yang mengajukan ramuan dari unsur-unsur menurut perhitungannya akan
membuat film itu laku. Jadi orang tidak
bertolak dari sebuah cerita yang menarik, tapi kehadiran dari sekian
persen unsur seks, sekian persen unsur kekejaman, “kata Asrul Sani sebagaimana
dikutip Salim Said dalam bukunya Profil
Dunia Film Indonesia. Sehingga tidak heran
jika film Indoensia pernah heboh
dengan film Pembalasan Ratu Pantai Selatan karena adegan seksnya yang
vulgar. Oleh karena itu perbaikan cerita mutlak diperlukan untuk mendongkrak
kulitas film nasional dimata masyarakat luas.. Hal tersebut bisa dilakukan
dengan menggali cerita-cerita asli Indonesia dengan setting yang juga
mencerminkan suasana Indoensia. Sehingga seyognya cerita film seperti Naga
Bonar, Untuk Sang Merah Putih (M. Said, 1950), Darah dan Doa (Usmar
Ismail, 1950), dan Enam Jam di Jogya
(Usmar Ismail, 1950) dengan seting
perjuangan revolusi Indonesia dapat
ditiru oleh insan perfilman kita, daripada mengadopsi nilai-nilai dari luar
yang belum tentu baik.
2. Membuat Jaringan antara Produser Film dengan Stasiun TV
Pada sekarang ini jenis-jenis media-buku, koran,
radio,film dan televisi kini tidak lagi berdiri sendiri. Sebagai contoh,
seorang produser film mengunakan sejumlah kaset untuk rekamannya untuk contoh.
Televisi kini menyediakan jasa teleteks yang berfungsi seperti koran.Perusahaan
televisi kini sering bekerja sama dalam produksi film untuk memperkaya program
siarannya (Rivers. 2004). Hal itu terlihat seperti ANTV untuk menayangkan acara
hiburan dengan skala luas dan standar
budaya modern bekerja sama dengan MTV Asia sebagai salah satu jaringan MTV
dunia. Begitu pula SCTV
menjalin kerja sama dengan Televisi kabel ESPN (Entertaiment & Sport
Program Net work) untuk menyiarkan SCTV Sport. Kemudian Indosiar untuk menayangkan
acara film layar lebar bekerja sama dengan HBO (Home Box Office). Secara
umum, televisi swasta di berbagai negara, termasuk juga Indonesia memliki
jaringan kerja sama dengan mass media seperti CNN, HBO, ESPN, DC, TNT, CFI,
MTV, STAR-TV, Fox-TV, CBS, NBC, ABC, dan sebagainya (Bungin, 2001). Sebaiknya
insan film nasional bisa meniru yang dilakukan Wald Disney dengan membangun
jaringan televisi dunia untuk menayangkan produk hiburan anak-anak dengan
berbagai jenis film animasi. Hal itu bisa dilakukan misalnya produser film
menyalin kerja sam dengan beberapa
stasiun TV swasta di Indonesia seperti RCTI, SCTV, TPI, Lativi, TPI, Indosiar, Metro TV,
Trans-7 dan TV lokal di Indonesia agar
filmnya bisa ikut ditayangkan. Tentu saja perjanjian kedua belah pihak harus
saling menguntungkan. Kerjasama antara
produser film nasional dengan TV swasta mutlak diperlukan karena selama ini TV
swasta juga “plat merah” banyak menayangkan film impor atau luar negeri. Jarang mereka menampilkan film nasional. Kalaupun
ada seperti tayangan film Kiamat Sudah
Dekat dan Naga Bonar jadi
Dua di TV swasta nasional, tapi hal itu kurang diikuti dengan film nasional yang lain
sehingga intensitas penayangan film nasional di TV nasional kurang terjaga.
Dengan kerjasama antara produser film nasional
dengan jaringan TV ditanah air bisa
menjembatani kerinduan pemirsa akan kehadiran film nasional, Karena
seiring banyaknya bioskop yang gulung
tikar maka penayangan film nasioanal di televisi menjadi sarana lain yang
sangat ampuh untuk menyedot
penonton untuk melihat film
nasional.
3. Memperbanyak Iklan Film Nasional di Media massa
Sekarang ini tidak banyak
media yang mengupas secara detail
tentang sebuah film. Padahal hal itu penting untuk memperkenalkan tentang kelebihan dan kekurangan sebuah film.
Sehingga nantinya timbul hasrat masyarakat untuk melihat film tersebut. Dimasa
lalu ada acara semacam resensi film nasional di stasiun TV nasional. Tapi
sekarang acara tersebut ditiadakan. Kalapun
ada hanya mengulas tentang film luar negeri. Memang ada di sebuah situs
yang menyajikan resensi film nasional. Tapi seberapa banyak masyarakat
mengetahui akan hal tersebut?. Padahal itu mutlak dilakukan karena belanja Iklan film sangat jauh dibanding yang lain. Simaklah angka-angka berikut
sebagai gambaran tentang belanja iklan: Media Bioskop pada tahun 1990 total iklannya berjumlah Rp 8
Miliar (1,3 %), 1991 berjumlah Rp 9 Miliar (1,1 %), 1992
mencapai Rp. 10 Miliar (1,0 %), sedangkan pada tahun 1993 Rp. 10
Miliar atau hanya 0,8 % dari kue Iklan
di Indonesia (Mulyana & Ibrahim, 1997). Terlihat bahwa belanja iklan
Bioskop untuk memperkenalkan filmnya
menunjukan tren semakin menurun. Bandingkan umpamanya dengan belanja Iklan media Televisi pada tahun 1990 hanya Rp. 61 Miliar
(8 %), tahun 1991 naik menjadi Rp 212
Miliar (25, 4 %), selanjutnya pada 1992 naik lagi menjadi Rp 390 Miliar (38 %)
dan pada tahun 1993 mencapai 521 Miliar (43,4 %).
Sungguh
kenyataan yang memprihatinkan untuk dunia film nasional. Oleh karena itu
untuk memperkenalkan keberadaaan film
nasional diperlukan langkah-langkah untuk memperluas iklan Film nasional
di masyarakat. Pertama, Mengikutkan film nasional pada ajang
festifal film baik tingkat nasional
mapun internasional. Sehingga prestasi seperti film langitku Rumahku”,
yang menang di festifal Film Berlin (Jerman), Melbourne (Australia), Nantes
(Perancis), dan Kairo (Mesir), Juga Tjoet Nyak Dien di Cannes (Perancis),
merupakan prestasi sekaligus iklan secara gratis bagi film nasional dan bukti bahwa kualitas film nasional tidak
kalah dengan film luar. Imbasnya masyarakat akan penasaran untuk melihat film
tersebut. Kedua. Membuka space resensi film di berbagai media (koran,
dan televisi maupun internet). Misalnya dengan
diadakanya rubrik resensi
film sebagaimana resensi buku pada hari
Minggu di koran. Ketiga, mengadakan acara peluncuran (launching) untuk
film nasional yang selesai dibuat. Kini acara launcing film nasional
sudah sangat lazim untuk memperkenalkan film yang baru. Seperti launching
film Kiamat Sudah Dekat dan ternyata mendongkrak pemirsa film tersebut.
4. Dukungan Pemerintah
Satu pihak yang tidak dapat dipisahkan dari upaya
pelestarian film nasional adalah pemerintah. Karena di masa lalu pemerintah
dalam hal ini melalui BSF (kini LSF) dapat mementukan hitam putih sebuah film
nasional. Oleh karena itu dalam upaya pelestarian film nasional diperlukan
peran aktif dan dukungan dari pemerintah. Hal itu dapat diwujudkan dengan berbagai
bentuk. Pertama, mendorong LSF agar berfungsi profesional bukan corong
pemerintah untuk membredel film yang tidak sesuai dengan keinginan pemerintah. Hal itu sebagaimana dikatakan Menpora Adhyaksa Dault, bahwa peran dan
fungsi LSF harus profesional dan orang-orang yang mengisinya haruslah
orang-orang yang profesional, bijak dan bertanggungjawab (Kompas, 14/1/08).
Sehingga film nasional memperoleh perlindungan dari LSF yang profesional.
Kedua, memberikan bantuan dana. Hal ini mutlak diperlukan karena untuk
mengirimkan sebuah film nasional dikancah Internasional pun butuh dana sehingga
bantuan dana pemerintah akan sangat
membantu. Hal ini bisa meniru seperti pengirim atlit olahraga untuk berlaga di
ajang internasional yang dibantu
pemerintah. Ketiga, membuat regulasi (peraturan) yang mendukung
berkembangnya film nasional.
Sebagai penutup, film nasional yang lahir pada tahun 1926 ini, kedepan seiring dengan kemajuan zaman, tentunya harus banyak berbenah agar tidak tergerus
oleh serbuan film asing akibat gobalisasi ini. Sebab banyaknya ”ranjau” yang
siap menghambat pelestarian film nasional di negeri tercinta ini, sebagaimana
kami ungkapkan di atas. Oleh karena itu, dibutuhkan dukungan semua pihak
agar pelestarian film nasional dapat terwujud sehingga film nasional dapat eksis di negeri sendiri. Selamat ulang (30 Maret 2008) Film nasional
semoga selalu jaya di rumah sendiri dan di dunia Internasional.
***
Daftar Pustaka
Burhan Bungin. Erotika Media Massa. Surakarta. Muhammadiyah University Press. UMS. 2001
Bagong Suyanto. Masalah Monopoli dan Prospek Film Nasional. Dalam Yan-Yan Cahyana & Bagong Suyanto.
Kajian Komunikasi dan Seluk-Beluknya. Surabaya. AUP. 1996
Bagong Suyanto. Menggugat Erotisme Film
Nasional. Dalam Yan-Yan Cahyana & Bagong Suyanto. Kajian Komunikasi dan
Seluk-Beluknya. Surabaya. AUP. 1996
Dedy Mulyana & Idi Subandy Ibrahim. Bercinta dengan Televisi. Bandung. Remaja Rosdakarya. 1997.
Daru Priyambodo & Bagong Suyanto. Film
Nasional dan Penonton yang Makin Kritis. Yan-Yan Cahyana & Bagong
Suyanto. Kajian Komunikasi
dan Seluk-Beluknya. Surabaya. AUP. 1996
Henry Subiakto. Posisi Film Nasional di Era
Globalisasi. Dalam Yan-Yan Cahyana &
Bagong Suyanto. Kajian Komunikasi dan Seluk-Beluknya. Surabaya.
AUP. 1996
Jalaluddin Rakhmat. Islam Aktual. Bandung.
Penerbit Mizan. 1996
Krisna Sen. Persoalan-Persoalan Sosial dalam
Film Indonesia. Dalam Prisma
No. 5 tahun XIX 1990.
Ryadi Gunawan. Sejarah Perfilman Indonesia.
Dalam Prisma No. 5 tahun XIX 1990.
Asrul Sani. Perkembangan Film Indoensia dan
Kualitas Penonton. Dalam Prisma No. 5 tahun XIX 1990.
Prisma No.
5 tahun XIX 1990.
S. Sinansari Ecip. Bagaimana Tanpa Sensor Film?.
dimuat dalam Harian
Republika 5 Februari 2008.
Riri Reza. Film Sebagai Cerminan dan
Kontrol Sosial. Dimuat
dalam Majalah Al Falah. Edisi 226.Januari 2007
Salim Said. Profil Dunia Film Indonesia. Jakarta; PT. Pustakakarya Grafikatama.
1991
Salim Said, Pantulan Layar Putih. Jakarta.
Pustaka Sinar Harapan. 1991
Wiliam L. Rivers, et.al. Media Massa &
Masyarakat Modern. Jakarta;
Prenada Media. 2004
Yan-Yan Cahyana & Bagong Suyanto. Kajian Komunikasi dan Seluk-Beluknya. Surabaya. AUP. 1996
*Diajukan sebagai Essai dalam Lomba Penulisan Essai
Pelestarian Film NasionalOleh Perpustakaan Nasional RI Bekerja Sama Dengan
Sinematek Indonesia 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar