Jumat, 28 Agustus 2015

”Mengintegrasikan Zakat Dalam Perpajakan Di Indonesia guna Membangun Dan Menyejahterakan Bangsa: Sebuah Pendekatan Alternatif terhadap Program Pengentasan Kemiskinan”

”Mengintegrasikan Zakat Dalam Perpajakan Di Indonesia guna Membangun Dan Menyejahterakan Bangsa: Sebuah Pendekatan Alternatif terhadap Program  Pengentasan Kemiskinan”

Oleh: Untung Dwiharjo, S.Sos

I. Latar Belakang
Di Indonesia, angka kemiskinan masih relatif tinggi. Menurut Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas)  yang dilakukan BPS yang diadakan pada Pebruari 2005 dan 2006, persentase penduduk miskin Indoensia cenderung meningkat, yaitu dari 15, 97 % (Pebruari 2005)  menjadi 17,75 % (Maret 2006)  atau 35, 10 juta meningkat menjadi 39,05 juta penduduk miskin di Indonesia (Media Indoensia, 7/12/2006).
Berbagai program pengentasan kemiskinan pun diluncurkan oleh pemerintah. Diantaranya program Inpres Desa Tertinggal (IDT) pada masa Orde Baru yang begitu diunggulkan. Sedangkan pasca reformasi  banyak program yang diluncurkan seperti misalnya Program Jaring Pengaman Ekonomi dan Sosial (JPES), sebelumnya ada Program Aksi Mengatasi Dampak Kenaikan BBM ( PAM-DKB), Selain itu  ada Program Gerakan Terpadu Pengentasan kemiskinan (Gardu Taskin).  Sedangkan yang terbaru pasca kenaikan BBM pada 2008 lalu di luncurkan program Bantuan Langsung Tunai  (Wignjosoebroto & Suyanto, 2008).
Ternyata, dari berbagai program itu banyak terjadi penyimpangan dan tidak tepatnya sasaran program penanggulangan kemiskinan. Misalnya Di Tingkat Nasional, salah satu kebijakan penanggulangan kemiskinan yang dinilai gagal dalam mencapai tujuan adalah subsidi BBM, yang menurut Studi LPEM dan Bank Dunia. Ternyata lebih lebih banyak dinikmati oleh kelompok masyarakat kaya dibanding kelompok masyarakat miskin (Suyanto & Prasetyo, 2003:5).
Studi lainya juga memperlihatkan bahwa kelemahan dari berbagai program penanggulangan kemiskinan yang dicanangkan adalah bermula dari kebijakan pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi makro, cenderung sentralistik  atau terpusat, sehingga  tidak peka pada kebutuhan lokal. Disisi lain, berbagai program penanggulangan kemiskinan yang dikucurkan acapkali bersifat karikatif, dan memposisikan masyarakat sebagai obyek. Dengan memandang kemiskinan hanya dari aspek ekonomi saja, maka yang terjadi kemudian permasalahan kemiskinan di berbagai kemunitas seringkali dianggap serba sama (uniform) dan diyakini akan dapat dipecahkan semata-mata hanya dengan mengandalkan pemberian bantuan modal usaha 
            Sedangkan hasil studi yang dilakukan oleh LPPKM Unair (2005), secara garis besar  dua faktor yang menjadi penyebab upaya penangulangan kemiskinan menjadi kurang efektif. Pertama, Kemungkinan terjadinya bias dalam pemilihan kelompok sasaran dan penyaluran program penangulangan kemiskinan, sering terjadi karena tidak didukung data yang memadai alias up to date dan lemahnya kontrol ditingkat pelaksanaan, sehingga penyaluran dana penangggulangan kemiskinan dilapangan seringkali bias dan tidak tepat sasaran. Kedua, Berbagai program program penanggulangan kemiskinan dan dilaksanakan dan dikembangkan di Jatim meski digulirkan dengan nama yang berbeda-beda tetapi substansinya umumnya sama, yakni program bantuan penanggulangan kemiskinan yang bersifat darurat penyelamatan, karitatif dan program bantuan yang cenderung berorientasi pada peningkatan hasil–hasil  produksi keluarga miskin  secara linier atau konsentrik.
            Kedepan, agar dengan segala keterbatasan yang dimiliki dapat diperoleh hasil yang maksimal, maka selain dibutuhkan dukungan dana yang memadai, yang tak kalah pentingnya adalah prioritas program penanggulangan kemiskinan yang benar-benar tepat dan efektif. Seperti dikatakan Izzedin Bakhit (Karnaji & Sudarso, 2006) saat ini yang dibutuhkan agar program-program penanggulangan kemiskinan dapat memberikan hasil yang nyata, tak pelak adalah bagaimana menggempur akar-akar kemiskinan hingga tuntas (attacking the roots of poverty).

Apalagi dengan adanya kenaikan BBM yang terbaru, maka besar kemungkinan makin mengerek jumlah orang miskin di Indonesia. Walaupun program kompensasi kenaikan BBM di keluarkan pemerintah, tap itu tidak bisa menjadi obat yang ampuh untuk menyembuhkan penyakit kemiskinan yang ada di masyarakat. Karena ia hanya hanya memberi efek penyembuh sakit tanpa mengobati.
 
Nah, salah satu dana yang belum banyak diberdayakan oleh pemerintah adalah zakat, karena selama ini pemerintah banyak mengandalkan dana  untuk penanggulangan kemiskinan dari sektor pajak selain dari penerimaan sektor ekspor non migas. Padahal  apabila keduanya bisa saling bersinergi maka akan mempercepat proses  penanggulangan kemiskinan. Sehingga tragedi meninggalnya 21 warga Pasuruan yang  terinjak karena antri pembagian zakat tidak terulang di masa datang.    

II. Pertanyaan
Dalam Karya Tuilis ini di coba menjawab persoalan sebagai berikut:
1.      Bagaimana Potensi Zakat dan Pajak dalam  Membangun dan Mensejahterahkan Bangsa?
2.      Bagimana integrasi zakat dan Pajak?.
3.      Program Apa saja yang bisa salurkan melalui  integrasi dana zakat dan pajak?  



III.  Karakteristik  Zakat dan Pajak:
      Ragangan Teori Memahami Persoalan

Berbagai pendapat kini berkembang di kalangan masyarakat tentang persamaan dan perbedaan antara zakat dan pajak. Sebagian  mempersamakan secara mutlak, yaitu sama status dalam status hukumnya, tata cara pengambilanya, maupun pemanfaatannya. Sebagaian membedakannya secara mutlak, berbeda dalam pengertian, tujuan, tata cara pengambilan, sekaligus penggunaaanya. Tetapi, ada pula yang melihat bahwa pada sisi tertentu terdapat persamaan antara keduanya. Sedangkan pada sisi yang lain, terdapat perbedaan yang mendasar antara keduanya. Berikut ini dikemukakan beberapa persamaan dan perbedaan antara zakat dan pajak secara singkat guna memudahkan dalam memahami persoalan (Hafidudin,2002: 53-65):

1. Persamaan
  1. Adanya Unsur Paksaan
Seorang muslim yang memiliki harta yang telah memenuhi persyaratan zakat, jika melalaikan atau tidak mau menunaikannya, penguasa yang diwakili oleh para petugas zakat, wajib memaksakannya. Hal ini telah diatur dalam  al Quran yaitu Surah at-Taubah:103. Demikian pula halnya seseorang yang yang sudah termasuk ndalam kategori wajib pajak, dapat dikenakan tindakan paksa kepadanya, baik secara langsung maupun secara tidak langsung, jika wajib pajak melalaikan kewajibanya. Tindakan paksa tersebut  bisa dilakukan secara bertingkat mulai dari peringatan, teguran, surat paksa, sampai dengan penyitaan.

  1. Adanya Unsur Pengelola
Asas pelaksanaan pengelolaan zakat berdasarkan pada firman Allah SWT yang terdapat dalam surah at-Taubah: 60.  dalam ayat itu dijelaskan bahwa dalam mengelola zakat selain pribadi tapi juga lembaga khusus menangani zakat yang disebut dengan Lembaga amil zakat. Jika merujuk pada UU No. 38 tahun 1999 lembaga pengelola zakat ada dua jenis yaitu Badan Amil Zakat (BAZ) dan Lembaga Amil Zakat (LAZ). Sedangkan pajak harus diatur oleh negara. Hal ini sejalan dengan dengan pengertian pajakm itu sendiri, yaitu iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsun dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayayai pengeluaran-pengeluaran umum, berhubung dengan tugas negara untuk menyelenggrakan pemerintahan.

  1. Dari Sisi Tujuan
Pada dasarnya tujuan zakat adalah untuk menciptakan kesejahteraan, keamanan, dan ketentraman. Demikian pula pajak bertujuan untuk pembiayaan pembangunan negara untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat banyak.

2. Perbedaan

  1. Dari Segi Nama
Dari segi etimologis jelas terdapat perbedaan antara zakat dan pajak. Zakat  secara etomologis diartikan bersih, suci, berkah, tumbuh, maslahat, dan berkembang. Sedangkan pajak berasal dari kata al-dharibah yang secara etimologis berarti beban.


  1. Dari segi dasar hukum dan Sifat Kewajiban
Zakat ditetapkan berdasarkan nash-nash Al-Quran dan hadist Nabi yang bersifat qathi, sehingga kewajibannya bersifat mutlak atau absolut dan sepanjang masa. Sedangkan pajak, keberadaanya sangat bergantung pada kebijakan pemerintah yang dituangkan dalam Undang-Undang.

  1. Dari Segi Obyek
Zakat, memiliki nishab (kadar minimal) dan persentase yang sifatnya baku, berdasarkan ketentuan dalam berbagai hadist nabi.  Sedangkan dalam berbagai literatur di kemukakan bahwa obyek pajak   dikemukakan besarnya pajak sangat bergantung pada jenis, sifat dan cirinya. 


IV: Potensi Zakat & Pajak: Sebuah Gambaran Singkat
A. Potensi Zakat

Sebenarnya dalam usaha membangun dan mensejahterahkan bangsa Indonesia, khususnya dalam usaha mengentaskan kemiskinan ada dana dari masyarakat yang belum teroptimalkan. Uraian berikut ini berdasarkan hasil studi beberapa lembaga yang konsen dengan permasalahan zakat diperoleh gambaran umum potensi zakat di Indoensia. Uraian-uraian ini mungkin tidak hanya membahas potensi zakat saja tapi juga Infaq dan Sodaqoh. Potensi dana tersebut sangat besar tapi belum terkelola secara profesional sehingga manfaatnya terasa belum maksimal bagi usaha membangun dan mensejahterahkan Bangsa.
Menurut Said Agil Munawar (mantan Menag) potensi zakat di Indoensia pertahunnya mencapai Rp. 7, 5 Triliun. Perkiraan ini berdasarkan pada asumsi BPS bahwa 90 %  penduduk Indoensia bergama Islam (40 juta KK), dan sebagian darinya, 32 juta KK, adalah penduduk “sejahtera” berpengahsilan Rp. 10 juta-Rp 1 miliar/kk/tahun. Dengan kewajiban zakat 2, 5 persen  dari batas nisab  (setara dengan 85 gram  emas) diperoleh angka Rp. 7, 5 triliun itu. Sementara itu menurut Survei PIRAC ( Public Interst and Advocacy Center) total zakat yang dibayarkan masyarakat muslim saat ini sekurang-kurangnya mencapai angka Rp 3, 74 trilun. Itupun dari  responden  di 11 kota besar ( Jakarta, Bandung, Surabaya  Semarang, Padang, Medan, Denpasar, Makasar Manado, Pontianak, dan Balikpapan), dan belum termasuk penduduk pedesaaan (Saidi & Abidin, 2004: 89). Sementara itu, Khusus  untuk  dana zakat menurut beberapa penelitian akhir 1990-an diperoleh informasi tentang jumlah  yang dibayarkan oleh masyarakat  perkotaan pada tahun 2004, diperkirakan mencapai     Rp. 6,3 triliun. Survei yang mencakup  masyarakat kota dan  pedesaan yang dilakukan oleh  PB  (Pusat Budaya dan  Bahasa) UIN Jakarta,  dalam periode yang sama  menunjukan  angka yang lebih tinggi, mencapai Rp. 14, 2 triliun, bahkan sampai        Rp. 19, 3 triliun kalau ditambahkan dengan  sumbangan  in kind. Meskipun tingkatan kemiskinan semakin tinggi semenjak krismon (krisis moneter) 1997 lalu ternyata jumlah muzaki masih cukup signifikan mencapai 49, 8 % dengan tingkat ketaatan yang relatif tinggi  yaitu mencapai 95 %.  Rata-rata besarnya zakat yang dibayarkan pun tidak kecil, yakni Rp. 416.000/muzaki/tahun atau dari survei PBB UIN sebesar Rp. 409.276 ( Aflah & Tajang, 2006: 179).  Potensi  yang sangat besar tersebut ternyata  belum optimal dihimpun oleh BAZIS  dan LAZ. Menurut catatan Zaim Saidi dalam tulisanya  yang berjudul Membangun dengan  sedekah menemukan bahwa potensi zakat yang dihimpun oleh BAZIS  hanya mampu menggalang zakat sekitar 270 miliar/tahun. Dimana jumlah  BAZIS  sendiri ditingkat kabupaten ada 277, tingkat kecamatan berjumlah  3.160, dan tingkat desa /kelurahan  sebanyak 38.117 buah. Ini berarti tiap BAZIS rata-rata hanya mengumpulkan zakat dan sedekah sebesar Rp. 7 juta/tahun (Saidi & Abidin, 2004: 90). Sedangkan dana ZIS yang berhasil dihimpun oleh lembaga Amil Zakat (LAZIS) mampu menggalang sebesar  Rp 2,5 – Rp. 15 Miliar/tahun/lembaga. Dari  enam  LAZIS yang disurvei, tiga di Jakarta (Yayasan Dompet Duafa, PKPU, dan  Baitul Muamalat), dua di Bandung (Darut Tahuid  Umul Quro) serta  satu di Surabaya  ( YDSF), terhimpun  dana sekitar 32 miliar ( tahun 2000)  atau rata-rata Rp. 5, 3 Miliar/ Lazis. Lebih lengkap lihat tabel berikut ini
Tabel 1: Perolehan Dana ZIS Enam LAZIS ( tahun 2000)
Lembaga
Perolehan  (Rp)/tahun
Yayasan Dompet Dhuafa
15 Miliar
Yayasan Dana Sosial Al Falah
3,5 Miliar
Yayasan Darut Tauhid
4,5 Miliar
Dompet Sosial Umul Qura’
2,5 Miliar
PKPU
3 Miliar
Baitulmaal Muamalat
4,2 Miliar
Sumber: Zaim Saidi & Hamid Abidin, 2004. hal. 91
Tentu saja gambaran umum potensi dana zakat menurut hemat saya baru seperti ”puncak gunung es”  dimana banyak dana zakat yang belum terdata atau diteliti oleh lembaga tersebut. Namun demikian nampaknya potensi dana zakat yang ada di masyarakat sangat besar dari apa yang dipaparkan di atas.  

B. Potensi Dana Pajak
Potensi  dana pajak dari  masyarakat sangat besar, karena banyak obyek dimasyarakat yang kena pajak dan ada bermacam bentuk pajak. Menurut Indra Kusuma dalam bukunya Dasar-Dasar Perpajakan (1987:19) menyebutkan bahwa dari sifatnya terdapat berbagai macam pajak. Meliputi: Pajak Pribadi, Pajak Kebendaaan, Pajak Atas bertambahnya Kekayaaan, Pajak Atas Pemakaian (konsumnsi), serta Pajak yang menambah Produksi (lihat: Hafidhuddin, 2002:58).
Secara kasat mata potensi zakat itu terlihat sebagaimana di beritakan Kompas (15/7/08) berdasarkan keterangan pers Direktur Jendereal Pajak  bahwa ada 50.500 wajib pajak (WP) yang menjadi andalan penerimaan pendapatan negara. Dimana mereka adalah pembayar pajak aktif.  Sedangkan jumlah pemegang Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)  sebanyak  6 juta orang.
Sebagai gambaran riil betapa besar potensi pajak ini sangat besar di sebutkan pada koran yang sama  bahwa penerimaan pajak semester I tahun 2008 mencapai    Rp 256,18 triliun. Sebesar 80% dari penerimaan ini (atau senilai Rp 212,144 triliun) diperoleh dari kontribusi pembayaran pajak oleh 50.500 Wajib Pajak tersebut di atas.


V: Integrasi Zakat dan Pajak: Sebuah Keniscayaan
Integrasi antara zakat dan Pajak  di Indonesia guna membangun dan Menyejahterakan Bangsa adalah sebuah keniscayaan. Karena adanya dua kewajiban bagi kaum muslimin  (terutama di Indoensia), yaitu kewajiban menunaikan zakat dan pajak secara sekaligus. Hanya saja seperti dikemukakan dalam Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat  Bab IV Pasal 14 ayat (3) Bahwa zakat yang telah dibayarkan kepada lembaga amil zakat atau badan amil zakat dikurangkan dari laba /pendapatan sisa kena pajak dari wajib zakat yang bersangkutan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam UU No. 17 Tahun 2000  tentang perubahan Ketiga atas UU No. 17 Tahun 1983  Tentang Pajak Penghasilan, pada pasal (9) ayat (1) dikemukakan bahwa  untuk menentukan besarnya penghasilan kena pajak, bagi wajib pajak dalam negeri dan bentuk usaha, tetap tidak boleh dikurangkan; (g). Harta yang dihibahkan, bantuan sumbangan, dan warisan sebagaimana dimaksud pasal 4 ayat (3) huruf a dan b, kecuali zakat atas penghasilan yang nyata-nyata dibayarkan oleh wajib pajakorang pribadi pemeluk agama Islam dan atau wajib pajak badan dalam negeri yang dimiliki pemeluk agama Islam kepada badan amail zakat yang di bentuk dan disahkan oleh pemerintah.
Menurut Didin Hafidhudin (2002:65) Kedua Undang-undang tersebut merupakan upaya maksimal untuk mengakomodasi keinginan umat Islam (khususnya di Indonesia agar pembayaran zakat di dahulukan dari pada pajak, sekaligus zakat tersebut dapat mengurangi biaya pembayaran pajak.

Namun demikian Hamid Abidin dalam  tulisanya yang berjudul Pajak dan Sektor nirlaba di Indonesia (dalam Saidi & Abidin, 2004: 163) memberikan beberapa catatan tentang UU tersebut. Menurut Hamid  Abidin Kebijakan pemberian fasilitas pajak ( tac facilities) dalam hal ini zakat sebagai pengurang pajak masih jauh dari harapan. Selain terkesan diskriminatif, kebijakan ini juga menimbulkan banyak persoalan. Kesan  diskriminatif ini pada aturan bahwa zakat hanya diterima sebagai pengurang pengahsilan kena pajak bila ”nyata-nyata dibayarkan oleh wajib pajak badan dalam negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama Islam kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah.”
Aturan  ini menimbulkan banyak pertanyaan dan gugatan. Banyak juga yang kawatir UU ini justru menimbulkan persoalan baru: Birokratisasi dan etatisasi pengelolaan zakat yang membuka intervensi negara. UU ini juga juga bisa secara keliru atau disalahgunakan untuk mengambil alih wewenang masyarakat oleh negara. Membiarkan keamilan sepenuhnya ditangan masyarakat akan menyulitkan pemerintah maupun pembayar zakat dalam memenuhi syarat administrasi dispensasi pajak itu. Sebaliknya, birokratisasi dan etatisasi amil akan melahirkan pasar jula beli ”lisensi keamilan” dan korupsi. Kesan ”pilih kasih” juga tampak pada pemilihan ”zakat” sebagai pengurang penghasilan kena pajak, yang notabene hanya berlaku pada umat Islam. Diluar itu, sebenarnya ada potensi sumbangan yang lebih besar, yakni sedekah, wakaf, dan bentuk-bentuk sumbangan yang lainnya.           
  
Sedangkan menurut  Zaim Zaidi dkk (2002), menyebutkan bahwa adanya peraturan yang mengatakan bahwa zakat dapat pengurang pajak jelas menguntungkan wajib pajak. Karena di zaman Orde Baru, pemerintah tidak menyediakan bentuk-bentuk insentif yang lazim di pakai dalam pengembangan sektor nirlaba, semisal pengurangan dan pembebasan pajak zakat.Di zaman Orde Baru  kebijakan semcam itu bukan saja tidak di anut bahkan mengalami kemunduran, sejak 1994. Dalam UU No. 7/1983 yayasan yang bertujuan nirlaba dan bergerak di bidang agama, pendidikan, kesehatan, dan kebudayaan diberikan kemungkinan pembebasan pajak. Tapi dalam Undang-Undang pajak  baru (UU No. 10/1994) kemungkinan itu dipersempit , hanya untuk pendapatan yang berasal dari dana bantuan, hibah, dan hadiah, warisan atau subsidi pemerintah.

Namun demikian, setelah rezim Orba berakhir, tampak mulai ada perubahan lagi. Pemerintah Abdurrahman wahid telah mengeluarkan UU No. 17/2000 tentang perubahan ketiga UU No. 7/1983 tentang Pajak Penghasilan; yang mengait dengan UU No. 38/ 1999 tentang pengelolaan Zakat yang dikelurkan oleh pemerintah BJ Habibie.

Kedua Undang-Undang tersebut mengaitkan dan mengatur dua hal pokok yang penting. Pertama Zakat tidak merupakan objek pajak. Kedua, zakat (atas penghasilan) menjadi pengurang penghasilan kena pajak. Artinya pemerintah menyediakan dispensasi pajak bagi yang membelanjakan uangnya untuk tujuan sosial , meskipun baru             terbatas pada zakat. Ketentuan di atas berlaku baik bagi wajib pajak perorangan maupun badan dalam pengertian luas baik yang bertujuan nirlaba maupun yang mencari keuntungan. ( Zaim Zaidi, dkk, 2002: 16).

Satu hal yang patut dicatat adalah bahwa salah satu bentuk integrasi zakat dan pajak adalah  zakat sebagai pengurang pajak sebagai langkah maju dalam sinergi keduanya. Kedua,  bentuk integrasi yang perlu dijajaki adalah  bersinergi keduanya hingga  dihasilkan dana besar untuk mengungkit masyarakat dari jurang kemiskinan. Jadi integrasi antara zakat dan pajak adalah sebuah keniscayaan.

VI:  Program yang Bisa Wujudkan dari Integrasinya Zakat & Pajak 

Dana zakat yang  terkumpul oleh lembaga pengelola zakat, harus segera di salurkan kepada mustahiq sesuai dengan skala prioritas yang telah disusun  dalam program Kerja. Zakat tersebut harus disalurkan kepada mustahiq  sebagaimana tergambar dalam surah At-Taubah: 60, sebagai berikut:
Pertama, Fakir miskin. Meskipun kedua kelompok ini  memiliki perbedaan yang cukup signifikan, akan tetapi dalam teknis operasional sering dipersamakan, yaitu mereka yang tidak memiliki penghasilan sama sekali, atau memilikinya akan tetapi tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan pokok dirinya dan keluarga yang menjadi tanggungjawabnya. Zakat yang disalurkan pada kelompok ini dapat bersifat konsumtif, yaitu untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya dan dapat pula bersifat produktif, yaitu untuk menambah modal usahanya. Kedua, Kelompok Amil atau petugas Zakat . Ketiga, Kelompok Muallaf. Yaitu kelompok orang yang dianggap masih lemah imannya, karena baru masuk Islam. Keempat, dalam memerdekakan budak belian. Artinya bahwa zakat itu antara lain harus digunakan untuk membebaskan budak belian dan menghilangkan segala bentuk perbudakan. Kelima, kelompok Gharimin, atau kelompok orang yang berutang, yang sama sekali tidak bisa melunasinya. Keenam, Orang yang berjuang menegakan agama Allah (fi sabililah). Ketujuh,  Ibnu Sabil, yaitu orang yang terputus bekalnya dalam perjalanan (Hafidhudin,2002:133-138). Dalam  penyaluran zakat  memang kaku (rigid ) dalam penyalurannya karena sudah ditetapkan ke dalam 8 asnaf tersebut. Namun demikian ada potensi dana lain yaitu Infaq, Shodaqoh dan wakaf. Kalau  penyalurannya tepat sasaran dan ditunjang dengan program  yang berkesinambungan, dana ZIS akan dapat mengangkat  rakyat dari jurang kemiskinan. Sebagaimana dikatakan oleh DR. Yusuf   Al-Qardhawi, dalam  bukunya yang berjudul Norma dan Etika Ekonomi Islam ( 1997) bahwa zakat dapat memberikan solusi dalam masalah kemiskinan, pengangguran dan pemerataan ekonomi apabila dilakukan secara optimal. Dana penghimpunan zakat harus dilakukan secara efektif, dengan dukungan regulasi aparat  yang profesional. Serta  dalam pendayagunaan dilakukan paradigma ‘kemanfaatan’ dan ‘skala prioritas‘ harus menjadi pertimbangan  tersendiri bagi lembaga amil zakat  (Aflah & Tajang, 2006: 134).  

Melihat problem kemiskinan, potensi daerah serta memperhatikan apa yang dikatakan oleh ulama kontemporer Dr. Yusuf Al-Qardhawi  tentang perlunya azaz kemanfaatan dan skala prioritas  maka  menurut  penulis, bentuk integrasi dana zakat dan pajak dapat di salurkan lewat model- model  berikut ini:

  1. Bantuan  Kredit fasilitas Modal Usaha serta Pembinaan bagi Nelayan
Banyak kajian telah membuktikan bahwa nelayan pada umumnya merupakan kelompok masyarakat yang tergolong paling miskin (Mubyarto,1984;Kusnadi, 2002). Dibandingkan  dengan petani sekali pun, nelayan umumnya tergolong lapisan paling miskin-meski tidak dapat dikatakan semua nelayan  pasti miskin. Sebagaimana diketahui sebagaian besar wailayah  Indonesia sebagaian besar adalah kepulauan dengan  banyak pantai di dalamnya. 
Secara  Garis besar  Kemiskinan yang diderita masyarakat desa pantai bersumber  dari dua hal (Kusnadi: 2002: 4: Suyanto & Ariadi 2003:23): pertama, faktor alamiah, yakni berkaitan dengan fluktuasi musim-musim penangkapan dan struktur alamiah sumber daya ekonomi desa. Kedua, faktor non alamiah, yakni berhubungan  dengan keterbatasan daya jangkau teknologi  penangkapan, ketimpangan  dalam sistem bagi hasil dan tidak adanya jaminan sosial tenaga kerja yang pasti, lemahnya penguasaan jaringan pemasaran serta belum berfungsinya koperasi nelayan yang ada, serta dampak negatif kebijakan  modernisasi perikanan yang telah berlangsung sejak seperempat abad terakhir ini. Sehingga  karena  kemiskinan itu terjadi penurunan jumlah nelayan dan petani ikan hampir di seluruh wilayah Nusantara. Di Jawa Timur misalnya, pada tahun 2001 menurun 1, 26 persen dibandingkan  pada tahun 2000 sebesar 445. 905 petani ( Suyanto & Ariadi 2003:48).Karena banyak diantara mereka beralih mata pencaharian atau merantau ke kota bagi yang masih muda. Oleh karena itu  dana  zakat dan pajak salah satunya untuk menolong petani nelayan dengan program yang memberdayakan ekonomi mereka. Modal Pemberdayaan ekonomi nelayan setidaknya mencakup dua aspek: Pertama, berkaitan dengan dengan upaya peningkatan posisi tawar  (bargaining position) pelaku ekonomi rakyat melawan kekakuan  (rigidity) dan sifat eksploitatif  yang membelenggu mereka. Kedua, berkaitan dengan dengan upaya mengurangi kadar kerentanan dan sekaligus bagaimana memperkuat penyangga sosial-ekonomi keluarga pelaku ekonomi rakyat di desa pantai.
Untuk itu perlu dilakukan beberapa langkah strategis berupa: (1) Perlunya mengubah paradigma pemberdayaan masyarakat pesisir yang semula lebih condong berorientasi pada peningkatan hasil produksi ke pola baru yang berorintasi pada propses produksi dan upaya deversifikasi usaha. (2) Perlunya mengembangakn program pemberdayaan yang bertumpu pada pranata-parata lokal yang bersumber dan memiliki akar kultural di masyarakat desa pantai itu sendiri. (3) Perlunnya penguatan dan pengembangan jaringan dan kelembagaan sosial ekonomi lokal. (4) Perluasan akses pelaku ekonomi rakyat terhadap sumber permodalan yang terjangkau, (5) Perlunya program asuransi sosial bagi pelaku ekonomi rakyat.
Bentuk kegiatan model pemberdayaan  berupa: ( a) Pelatihan ketrampilan alternatif bagi komunitas desa pantai (b) pelibatan dan intensifikasi tenaga kerja keluarga untuk efisiensi  proses produksi  (c) Pembentukan pokmas  dan sentra produksi di lingkungan komunitas desa pantai.  (d) Peningkatan efektifitas dan pengguliran paket-paket bantuan modal usaha yang terjangkau oleh mereka. (e) Pemberdayaan forum pengajian  dan isntitusi local  lain untuk mengurangi kadar kerentanan kemunitas desa pantai  (Suyanto & Ariadi 2003:98-105).
  1. Bantuan Asuransi Sosial  dan Perlindungan Sosial Pada Masyarakat Lanjut Usia, Cacat dan Tuna Sosial.
Di Indonesia kelompok PMKS (Penyandang masalah Kesejahteraan Sosial) salah satu  yang membutuhkan perhatian khusus  adalah para lansia  (lanjut Usia), penyandang cacat   dan tuna sosial  lainnya, khsusnya mereka yang secara  sosial terlantar  dan berasal dari keluarga miskin.  Para lansia, penyandang cacat acapkali menghadapi problema kesehatan yang cukup menggangu-, bukan saja dihadapkan pada kenyataan hidup yang makin berat karena berkurangnya kemampuan dan tiadanya peluang untuk melakukan kegiatan yang sifatnya produktif. Tetapi, juga sering kali harus siap secara sosial-psikologis untuk mengalami diskriminasi, kehilangan atau paling tidak berkurangnya peran mereka karena kecatatan atau karena memasuki hari tua  dan tergantikan posisi mereka dengan generasi berikutnya.Oleh karena itu penulis melihat mereka cukup layak sebagai sasaran dalam integrasi zakat dan pajak .
 Berikut ini ada beberapa program yang bisa dilaksanakan (1)  Sosialiasasi program persiapan hidup sehat bagi kelompok Pra-Lansia. Hal ini dilakukan guna meningkatkan kemampuan adaptasi penduduk pra-lansia untuk menyangsong hari tua. (2) pelatihan dan pengembangan kesempatan kerja khusunya bagi lansia dan penyandang  cacat  (misalnya dengan memanfaatkan dana Comdev). Program ini memberikan kesempatan bagi lansia  dan penyandang cacat untuk bekerja. (3).Program jaminan sosial bagi lansia dan peyandang cacat miskin.hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan lansia dan penyandang cacat. (4) Program bantuan modal usaha lunak bagi lansia dan penyandang cacat miskin yang masih produktif. (5) Pengembangan program asuransi sosial bagi keluarga lansia dan penyandang cacat miskin. Sehingga bisa meningkatkan kemampuan penyangga ekonomi keluarga lansia dan penyandang cacat msikin (6) Subsidi kesehatan bagi lansia. Bertujuan untuk mengurangi beban  pengeluaran keluarga  lansia untuk perawatan kesehatan dan pengobatan (Bappeprov Jatim 2006:84-85).
3        Beasiswa Pendidikan bagi  Anak sekolah untuk  Keluarga Miskin
Pendidikan adalah sarana penting untuk meningkatkan kualitas suatu bangsa. Oleh karena itu perlu dipikirkan bagaimana pemerataan pendidikan dimasyarakat. Di beberapa daerah atau propvinsi di Indoensia masih banyak anak sekolah yang tidak bisa sekolah. Di Provinsi Jawa Timur misalnya,  masih banyak penduduk yang tidak bersekolah. Berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang dikeluarkan BPS Jawa Timur tahun 2005, jumlah penduduk Jatim usia 15 tahun  ke atas yang tidak atau belum sekolah mencapai 3,8 juta anak. Rata-rata mereka berasal dari daerah yang belum maju secara ekonomi seperti Jember, Sampang, Sumenep serta Banyuwangi. Selain itu, banyak pula penduduk yang meskipun bersekolah mengenyam sekolah dasar (SD) tetapi tidak menamatkannya. Jumlahnya mencapai 4, 3 juta anak. Mereka mayoritas  berasal dari daerah yang relatif belum maju secara ekonomi seperti Jember, Pasuruan, Banyuwangi, Probolinggo (Kompas, 2/5/ 06).

Melihat contoh di atas maka pada masa datang pendidikan mutlak di perlukan mereka guna tetap bisa survival di masa guna menggapai masa depan mereka. Oleh karena itu  menurut hemat penulis salah satu integrasi dana zakat dan pajak perlu disalurkan kepada  anak-anak dari keluarga kurang mampu  di kantong-kantong  masyarakat miskin.  Hal itu dilakukan berupa: (1) program beasiswa  prestasi bagi anak-anak kurang mampu, namun mempunyai prestasi di sekolah atau di bidang tertentu. Diharapkan dengan program ini akan menolong mereka yang berprestasi namun kurang secara ekonomi untuk mendapatkan masa depan yang lebih cerah. (2) Memberikan bantuan subsidi pendidikan, dalam artian bagi anak-anak yang tidak mampu tetapi prestasinya biasa saja diberikan  subsidi pendidikan. Misalnya berupa pembayaran SPP sebesar 50 persen yang dibayarkan. (3) Beasiswa berupa bantuan sarana pendidikan seperti bantuan seragam sekolah dan perlengkapan sekolah menjelang tahun ajaran baru sehingga orang tua yang tidak mampu tidak diambil pusing untuk memikirkan pendidikan anaknya ketika tahun ajaran baru.

  1. Pemberian Layanan Kesehatan Murah/Gratis kepada Masyarakat Miskin.
Persoalan paling pelik untuk  masyarakat miskin (dhuafa) salah satunya  adalah akses terhadap fasilitas pelayanan kesehatan yang relatif murah dan terjangkau. Menurut Agus Dwiyanto (dalam Baswir, 2003:96) Pelayanan kesehatan kasar dapat dibedakan menjadi dua yaitu: Pelayanan kesehatan preventif dan pelayanan kesehatan kuratif. Pelayanan kesehatan preventif seperti tingkat pelayanan imunasi, disamping usaha-usaha peningkatan kualitas kesehatan lingkungan dan penyuluhan kepada masyarakat mengenai arti penting kesehatan. Sedangkan jenis pelayanan  kuratif  meliputi pelayanan untuk pengobatan, seperti rumah sakit, puskesmas , puskesmas pembantu , klinik-klinik swasta , apotik serta toko obat dan lainnya. Baik yang  diselenggarakan oleh pemerintah mapun swasta.
Namun demikian ternyata anggaran yang disediakan oleh pemerintah  sampai pada tahun 1990, besarnya yang dialokasikan hanya 2,5 persen saja dari PDB, sebuah angka yang kecil dibandingkan dengan standar WHO, ataupun jika dibandingkan dengan  dengan Negara Negara tetangga yang rata-rata  diatas 10 persen. Disamping itu hal melatarbelakangi diperlukan  sarana kesehatan yang murah bagi kaum miskin  adalah adanya mislokasi. Mislokasi ini dapat dilihat dari perbedaan aksessibilitas terhadap pelayanan kesehatan antara kelompok kaya dan kelompok miskin.. Perbedaan tersebut berimplikasi terhadap terjadinya ketimpangan serta pencapian pemerataan pembangunan kesehatan anatar kelompok dan wilayah. Juga berimplikasi pada terjadinya ketimpangan subsidi pemerintah. Padahal selama ini pembiayaan kesehatan sebagian berasal dari subsidi pemerintah (Agus Dwiyanto 1992, dalam Baswir,dkk: 2003:100). Menurut Agus Dwiyanto (1992) ketimpangan subsidi tersebut melahirkan bias dalam pembiayaan pelayanan kesehatan. Subsidi seharusnya dinikmati oleh kelompok masyarakat miskin atau wilayah daerah miskin. Kenyataanya subsidi itu justru lebih banyak dinikmati oleh kalangan menengah ke atas dan wilayah yang sudah relatif makmur. Data  Susenas tahun 1978 sebagai contoh menunjukan bahwa  dari subsidi yang diberikan oleh Negara terhadap pasien puskesmas dan Rumah sakit, penduduk miskin hanya menikmati  19 persen dari total subsidi. Sisanya 81 persen dari subsidi pemerintah dinikmati oleh penduduk yang status sosial ekonominya telah mapan.
Keadaan ini diperparah dengan terjadinya bias anggaran yang bersumber dari masyarakat dan swasta. Iini ditunjukan dengan besarnya anggaran dari masyarakat dan swasta yang digunakan untuk pelayanan kuratif masyarakat  sebesar 92 persen. Berarti sebagian besar dana kesehatan yang bersumber dari masyarakat  dan swasta digunakan untuk mensubsidi kalangan menengah (Baswir,dkk: 2003:100-102).
Namun demikian  dana  sebesar itu belumlah ideal karena berapa  yang dialokasikan untuk kesehatan masyarakat miskin kita juga belum mengetahui secara pasti, karena itu merupakan baru  prosentase secara global. Oleh karena itu diperlukan program layanan murah bagi  masyarakat miskin agar mereka tetap sehat  dan tetap bisa bekerja untuk menghidupi keluarga. Sebagaimana dikatakan oleh Chambers (1983) bahwa salah satu persoalan yang paling rawan dengan kaum papa adalah biaya untuk kesehatan, karena penghasilan mereka banyak terserap untuk kebutuhan sehari-hari. Berikut ini program  yang dapat dilaksanakan : Pertama, mendirikan klinik kesehatan sosial  yang murah  dikantong kantong daerah miskin. Hal ini diperlukan agar masyarakat miskin mudah mengaksesnya. Kedua, Memberikan subsidi obat  kepada kaum  miskin, dengan demikian  harga obat relatif terjangkau bagi mereka.Sehingga dengan langkah itu menjadikan kaum miskin dapat menikmati sarana kesehatan secara lebih baik  sehingga dana integrasi zakat dan pajak menjadi tepat sasaran.

  1. Pemberian Modal Kerja dan Pembinaan Rohani  kepada komunitas PKL
Pedagang Kaki Lima (PKL)  selama ini menempati posisi dilematis, di satu sisi para pedagang PKL sukses meningkatkan kemandirian  perekonomian  rakyat miskin serta mampu menyerap tenaga kerja sangat banyak karena mampu menciptakan lapangan kerja yang tak terbatas jumlahnya. Serta mampu mendukung industri secara makro dan mampu meningkatkan pendapatan asli daerah. Tapi disisi lain Mereka para PKL sering dipandang sebagai ‘penyakit kota’ (mengganggu kebersihan, keindahan, ketertiban  dan kelancaran lalu lintas) dan kegiatannya sering kali menggunakan wilayah-wilayah yang secara hukum dilarang, seperti  taman kota, halaman  toko orang lain dll. Sedangkan pembinaan kepada mereka belum menyentuhpada akar persoalan mengangkat jurang kemiskinan. Padahal Potensinya sangat besar karena hampir di setiap kota  besar ada pedagang PKL. Misalnya, di Surabaya  terdapat  lebih dari 15 ribu  pedagang kaki lima, bahkan mereka telah membentuk paguyuban  PKL : yang tercatat di PKL Embong Blimbing, Rukun Mulyo, Kepanjen, Setail , dan Karah serta PKL Indrapura. Dimana 60 % dari mereka bukan penduduk asli Surabaya tapi berasal dari Madura, Mojokerto, Bojonegoro, Padang, Kalimantan, Jawa Tengah serta daerah lainnya di Indonesia (Alisyahbana, 2003:125). Oleh karena itu diperlukan  program pembinaan bagi mereka sebagai berikut: (1) program peningkatan manejerial kepada para pedagang PKL. (2) memberikan bantuan modal bagi para pedagang PKL yang prospektif. (3) Membantu dalam hal pemasaran  dengan menjembatani mereka dengan pemkot dan pedagang sektor formal maupun koperasi. (3) memberikan pelatihan kewirausahaan serta  keterampilan usaha di sektor formal. (4) melibatkan mereka dalam  forum keagamaan sehingga mereka tetap bisa menjaga akidahnya di bawah tekanan arus perkotaan. Sehingga dengan demikian mereka lebih berkembang lagi di masa akan datang dan dapat survival dalam sektor formal.

VII. Penutup
Apa yang diuraikan secara panjang lebar seperti di atas tentang model alternatif  pengentasan kemiskinan  sebagai bentuk integrasi dana zakat dan pajak guna mensejahterahkan masyarakat. Sehingga  dengan integrasi tadi diperoleh energi sehingga dapat menghapus akra kemiskinan, atau  meminjam istilah yang oleh Robert Chambers  (1983)  disebut dengan konsep kemiskinan terpadu (integrated poverty). Dimana kaum miskin mengalami lima “ketidakberuntungan”  sebagaimana yang dikenal perangkap kemiskinan (Soetrisno,1997:18). Sehingga bentuk integrasi dana zakat dan pajak menjadi tepat sasaran dan berhasil guna. Sehingga diharapkan dengan adanya integrasi tadi maka masyarakat Indonesia menjadi lebih sejahtera .

***
Daftar Pustaka


1.   Alisyahbana. Urban Hidden Economy: Krisis Tersembunyi Sektor Informal Perkotaan. Surabaya.ITS. 2003
2.   Bappeprov Jatim.  Penyusunan Program Perlindungan Sosial Pada Mansyarakat Lanjut Usia, Cacat dan Tuna Sosial di Jawa Timur. Surabaya. 2006
3.   Bagong Suyanto & Septi Ariadi, (ed). Kajian Model Pemberdayaan Ekonomi Rakyat. Surabaya:Balitbangda Jatim. 2003
4.   Bagong Suyanto & Helmy Prasetyo, Program Penanggulangan Kemiskinan Kota Surabaya. Komite Penangulangan Kemiskinan Kota Surabaya. 2003
5.   Didin Hafidhuddin. Zakat dalam Perekonomian Modern. Jakarta. GIP.2002  .
6. Karnaji & Sudarso, (ed). Analisis Prioritas Program-Program Pengentasan Kemiskinan di Jawa Timur. LPKM UNAIR dan Bappeprov Jatim. Surabaya.2006.
7.   Kuntarno Noor Aflah & Mohd. Nasir Tajang, (ed) Zakat & Peran Negara. Jakarta : FOZ. 2006
8.   Loekman Soetrisno, Kemiskinan, Perempuan, dan Pemberdayaan. Yogyakarta. Kanisius. 1997.
9.   Robert Chambers. Pembangunan Desa  Mulai dari Belakang. Jakarta. LP3ES.1988
10. Revrisond Baswir, dkk. Pembangunan Tanpa Perasaan. Jakarta:Penerbit ELSAM. 2003.
11. Soetandyo Wignyosoebroto & Bagong Suyanto, Menakar Kefektifan Program JPS Di Jawa Timur. Surabaya: Biro Administrasi Pembangunan Jawa Timur. 2008
12. Zaim Zaidi, dkk. Membangun Kemandirian Berkarya. Jakarta: PIRAC. 2002.      
13. Zaim Saidi & Hamid Abidin. Menjadi Bangsa Pemurah. Jakarta: PIRAC. 2004



*Diajukan sebagai Karya Tulis  Ilmiah dalam Lomba Karya Tulis Ilmiah  dengan Tema Mengintregasikan Zakat dalam Perpajakan di Indonesia. Oleh Lembaga Manajemen Infaq (LMI) Cabang Pasuruan  pada  tahun  2008 dan mendapatkan juara  III.






Tidak ada komentar: