Rabu, 26 Agustus 2015

Konrtribusi NU dalam Bidang Politik: Perspektif Percaturan Politik NU dalam Panggung Negara

Konrtribusi NU dalam Bidang Politik: Perspektif Percaturan Politik NU
dalam Panggung Negara*

Oleh: Untung Dwiharjo, S.Sos.


Pendahuluan
Nadhatul Ulama (NU) bisa dipahami sebagai Jam’iyah atau gerakan sosial yang sulit dipisahkan dari dinamika politik Nasional ( Mulkhan, 2004). Apalagi NU merupakan organisasi sosial terbesar yang berbasiskan pesantren. Maka NU merupakan sebagaimana diketahui bahwa pesantren merupakan lembaga yang banyak menyokong  berdirinya NU. Maka NU adalah kekuatan  yang diperhitungkan oleh  berbagai pihak untuk dapat   berperan dalam kancah perpolitikan nasional. Sebagaimana dikatakan oleh Zamakhshari Dhofier (1985) bahwa Pesantren merupakan benteng pertahanan umat Islam dan pusat penyebaran umat Islam. Keberhasilan Islam tradisional (NU) dalam menghimpun kekuatan-kekuatan  yang besar di Jawa dewasa ini bukan semata-mata karena jumlahnya lebih besar dari pada Islam modernis (Muhammadiyah); tetapi juga karena kuatnya solidaritas dan integritas penganutnya. Tidak seperti kebanyakan organisasi sosial, keagamaan dan politik lainnya yang sering kali menderita kelemahan-kelemahan dan pertentangan didalamnya, NU selalu berhasil menghindarkan diri dari perpecahan baik karena rivalitas didalam maupun karena pengaruh dari luar. Oleh karena itu  sebagaimana dikatakan Ben Andersen (1977) NU merupakan salah satu kekuatan sosial, kultural dan keagamaan dan politik yang sangat berpengaruh selama bertahun-tahun (Dhofier, 1985:4).
Dalam perjalanan sejarahnya NU telah banyak mewarnai  haru biru perjalanan Republik Indonesia ini. Mulai dari  masa  merebut kemerdekaan (perjuangan), Kemerdekaan, Orde Lama, Orde Baru sampai Orde Reformasi sekarang ini. Sehingga  karena  peran NU yang begitu besar maka  semenjak awal tahun 1980-an mulai para akademisi meneliti  dengan serius kiprah NU di pnetas perpolitikan nasional. Diantaranya studi yang sangat serius tentang NU  misalnya Disertasi Dr. M Ali Haidar  dengan judul Nahdatul Ulama dan Islam Di Indonesia: Pendekatan Fikih  dalam Politik (1993), Mitsuo Nakamura menulis NU dengan judul Agama dan Perubahan Politik Tradisionalisme Radikal NU di Indonesia (1982), Greg Fearly dan Greg Barton, meneliti NU yang kemudian diterbitkan  dengan judul Tradisionalisme Radikal, Persinggungan Nadhatul Ulama- Negara (1997). Serta beberapa  tulisan para pakar lainya baik disertasi, tesis mampun skripsi serta tulisan  artikel yang terpuiblikasi di beberapa jurnal ilmiah mampun mas media  yang mengupas tentang  sepak terjang politik NU.
Penelitian yang demikian marak tentang NU,  karena  ada beberapa sebab:
Pertama, NU merupakan gerakan muslim terbesar di Indonesia (dengan lebih dari 30 juta jiwa simpatisan), negara muslim terbesar di dunia  dari segi jumlah penduduknya (87 % dari 200 juta penduduk). Kedua, NU meruapakan faktor kunci panggung politik sejak kemerdekaan tahun 1945 karena partai Islam pertama, Masyumi, yang angotanya terdiri dari kalangan Islam ”modernis” dilarang tahun 1960 dan tidak pernah direhabilitasi di kemudian hari. Ketiga, reorientasi tahun 1984 disertai dengan penerimaan secara definitif terhadap negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Keempat, perubahan pada susunan PBNU. Dimana dua cendekiawan progresif dipilih menduduki jabatan tertinggi garakan konservatif ini: Abdurahman Wahid  yang liberal diangkat sebagai ketua Umum Tanfidziah yang bertugas yang menangani urusan sehari-hari, serta Kiai Achmad Siddiq dari kubu pembaharuan ditunjuk sebagai Rais Am, pemegang kekuasaan tertinggi (Feillard, 1999: xi)..
Oleh karena itu   dalam  karya tulis ini  akan dicoba  mengambarkan  secara  makro tentang kontribusi NU semenjak didirikan pada tahun 1926  sampai sekarang dalam ranah politik Indonesia. Tentu saja kadarnya tidak bisa disejajarkan dengan tulisan sebagaimana yang ditulis para pakar tersebut. Oleh karena itu  dalam karya tulis ilmiah ini kami mengambil  satu pertanyaan inti Bagaimanakah  Kontribusi NU dalam bidang Politik: dalam Perspektif Percaturan Politik NU dalam Panggung Negara?
  

Politik Akomodatif: Kerangka Teori Percaturan Politik NU

Langkah politik NU sebenarnya bisa ditelusuri dalam pemahaman politik Sunni atau Ahl-Sunnah wa al-Jamaah (selanjutnya disebut ASWAJA). Paham ASWAJA sering dikonotasikan sebagai ajaran (mazhab) dalam Islam yang berkaitan dengan dengan konsep ’Akidah, Syari’ah dan Tasawwuf  dengan corak moderat. Salah satu ciri Instrinsik dari ajaran ini (sebagai identitas) adalah keseimbangan pada penggunaan dalil ’naqli dan ’aqli. Keseimbangan dengan demikian memungkinkan adanya sikap akomodatif  atas perubahan-perubahan yang berkembang di dalam masyarakat sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam (Ridwan, 2004: 6-7).
Prinsip umum ajaran sosial politik  Sunni adalah mengambil sikap tawassuth, tawazun, ta’adul, dan tasamul serta al-qiyam bi al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashah. Dengan prinsip ini Sunni selalu mengambil sikap akomodatif, toleran  dan menghindari sikap ekstrim dalam berhadapan dengan spektrum budaya apapun (Ridwan, 2004:7-8).
Pengaruh pemikiran politik Sunni yang akomodatif dan kompromistis tersebut disinyalir oleh beberapa pakar sangat berpengaruh terhadap pemikiran dan perilaku politik NU  di Indonesia. Nadhatul Ulama sebagai organisasi kemasyarakatan  Islam terbesar di Indoensia yang secara jelas mendeklarasikan dirinya sebagai penganut ajaran Sunni sebagaimana terdapat dalam hasil-hasil Muktamar Ke-29 Nadhatul Ulama tahun 1996 sebagaimana dikutip Ridwan (2004:11-12) sudah barang tentu terpengaruh oleh pemikiran-pemikiran keagamaan Sunni.
Implikasi penting dari paradigma politik Sunni yang ”serba fiqh” dengan politik legitimasi terhadap NU, membuat organisasi ini menyesuaikan dirinya dengan perubahan dibanding dengan organisasi yang lain. Berbagai tingkah laku politik NU yang dimata orang lain cenderung ”kontroversial, polemis dan akomodatif”   dapat dijelaskan dalam sudut pandang paradigma politik Sunni di atas terutama ketika NU  memberikan ”treatment” terhadap kekuasaan.
Ada indikator keterpengaruhan sikap politik NU oleh pemikiran keagamaan (politik) Sunni) yang didasarkan pada konsep tawazun, tasamuh, dan ta’adul yang semuanya mengambil jalan tengah dan menjauhi ekstrimitas antara lain dapat dipahami melalui peryataan K.H. Ahmad Shidiq (Ridwan 2004:12-13) berikut ini:
  1. Negara Nasional (yang didirikan secara bersama oleh seluruh rakyat) wajib dipelihara dan dipertahankan
  2. Penguasa negara (pemerintah) yang sah ditempatkan pada kedudukan yang terhormat dan diatati selama tidak memerintah ke arah yang bertentangan dengan hukum dan ketentuan Allah
  3. Kalau terjadi kesalahan dari pihak pemerintah, cara mengingatkannya melalui tatacara yang sebaik-baiknya.

Statemen K.H. Ahmad Shiddiq ini pada prinsipnya adalah sikap sekaligus dukungan atas status quo dan sikap akomodatif terhadap pemerintah. Dua point pertama tampak sejalan dengan semangat revolusi jihad  dan deklarasi wali al-al-dharuri bi al-syaukah.  Dua tindakan NU yang jelas-jelas bersifat politis  namun diutarakan sebagai konsekuensi logis dari perundang-undangan keagamaannya.  
Dengan kata lain, pendekatan serba fiqh (Ali Haidar, 1998: 8) atas masalah kenegaraan itulah yang membuat NU  menampilkan watak akomodatif  dan fleksibel  atau bahkan terkesan oportunistik  dalam menentukan sikap politiknya. Salah satu ciri yang melekat pada fiqh oriented adalah bahwa paradigma NU selalu dikalkulasikan atas dasar pertimbangan hukum yang bermuara pada aspek mashlahah dan mafsadah (Ridwan, 2004:16)
Dalam bahasa yang sama, R. William Liddle  menyebut  politik akomodasionis ini dengan kategori substansionis dimana menekankan  isi daripada bentuk . Dalam konteks negara, tidak terlalu mempersoalkan bentuk formal atau struktural negara, tetapi lebih menekankan bagaimana mengisinya dengan substansi, etika dan moralitas agama.
Senada dengan itu, dalam tataran teori, Bahtiar Effendy (1998) menyebutnya dengan pola akomodasionis yang berpandangan dengan bahwa penyesuaian dan adaptasi nilai-nilai ajaran Islam terhadap pemerintah bukan merupakan hambatan. Bahkan adaptasi ini tidak berhenti meski pemerintah melandaskan kebijakannya kepada pandangan sekuler. Menurut Bahtiar  yang masuk dalam pola akomodasionis adalah birokrat maupun politisi NU. Hal itu menurut  Samson (1978) karena banyaknya pemimpin politik NU yang dinilainya sering kali mudah bersikap akomodatif terhadap penguasa sekuler untuk memperoleh posisi-posisi politik  yang tidak terlalu menentukan dan kontrol atas birokrasi di Departemen Agama (Maliki, 1999:45).
Namun dalam catatan oleh Mulkhan mengatakan bahwa basis religio politik NU bercorak akomodasionis dan substansialis maka sebenarnya ini merupakan latar belakang basis sebagian saja dari politisi dan birokrat NU, atau setidaknya pada sebagian elitnya, pada masa tertentu.
Sebagaimana Mulkhan, Bruinessen  pun memberikan catatan bahwa di tubuh NU, terutama pasca 1970-an, mengalami berbagai dinamika. Organisasi besar ini tidak lagi memperlihatkan praktik-parktik akomodasionis, karena pada dekade itu, organisasi non pemerintah yang besar ini  kemudian lebih menjadi radikal dengan menjadi pengkritik Orde Baru (Maliki, 1999:47-48).        
Pola yang dikemukan di atas  adalah merupakan kategori ideal  dalam rangka mendekati persoalan kontribusi NU dalam bidang politik. Tapi dengan perubahan jaman terutama sessudah masa reformasi  tentunya banyak perubahan  atau dinamika yang melanda pada politik NU. Apalagi paska berdirinya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)  yang didirikan oleh Abdurrahman Wahid, banyak merubah pola hubungan santri dengan kyai sebgaimana  dikatakan oleh Bruinessen, bahwa NU merupakan organisasi yang sangat terdesentralisasi (Maliki, 1999:49).
Namun demikimikan, untuk lebih memudahkan  kerangka teori  kontribusi NU dalam bidang Politik: Perspektif Percaturan Politik NU dalam Panggung Negara maka teori  politik akomodasi  masih memadai untuk menjelaskan dimamika perpopolitikan NU. 
 Untuk lebih jelasnya tabel berikut dapat menjadi kesimpulan atau kerangka politik NU:

Tabel 1:  Konsep Negara dalam aliran Pemikiran Politik NU
Aliran
Pemahaman Ajaran
Aplikasi Ajaran
Konsep negara
Substansialisme (NU)
Rasionalisme
-Kontekstual
Realistik
Substansiasi agama
-Agama tidak mementukankonsep/bentuk negara
-Melegitimasi/koreksi moral terhadap negara
-Menekankan etika/moralitas dalam negara
Sumber: diadopsi dari Zainudin Maliki, 1999. hal. 51.


Kilasan Spektrum  Sejarah Berdirinya  NU

Kelahiran NU diawali suatu proses yang panjang sebelumnya. Bermula dari munculnya gerakan nasionalisme yang antara lain ditandai oleh berdirinya SI (sebelumnya bernama SDI) telah menghilhami sejumlah pemuda pesantren  yang bermukim di Mekkah  untuk mendirikan cabang perhimpunan itu di sana. Belum sempat berkembang mereka segera mudik kembali karena pecah perang dunia. Namun obsesi mereka  terus berlanjut setelah mereka menetap kembali di Tanah Air. Mereka mendirikan perhimpunan Nadhatul Watan (1914), Taswi-rul Afkar (1918) dan perhimpunan koperasi Nadhatul Tujjar (1918). Selain itu di Surabaya didirikan perhimpunan lokal yang sejenis antara lain Perikatan Wataniyyah, Ta’mirul Masajid dan Atta’dibiyah. 
Ketegangan dalam kongres al-Islam sepenjang paruh pertama tahun dua puluhan dan berlanjut dalam sidang-sidang Komite Khilafat, telah mendorong perhimpunan lokal di Surabaya itu turut serta mendirikan organisasi baru yang lebih luas dan berskala nasional. Mereka menilai lembaga-lembaga penghimpunan Islam yang ada maupun kongres al-Islam sendiri tidak bersikap akomodatif  terhadap visi  yang mereka coba kembangkan. Ketegangan itu kemudian berlanjut setelah delegasi yang dikirim ke kongres Mekkah tahun 1926 ternyata mengabaikan kepentingan-kepentingan yang mereka kembangkan. Mereka kemudian mengirim delegasi sendiri ke Mekkah. Untuk kepentingan itu mereka mendirikan perhimpunan baru NU (Haidar, 1998:313-314).
Dalam konteks seperti itulah dapat dipahami perjalanan NU selanjutnya. Melalui media pesantren para ulama mengembangkan tugas melaksanakan jihad  untuk menegakan kalimah Allah. Ketika dirasakan perlunya pengembangan kelembagaan tradisi sosial dan kultural  yang telah dhidup di tengah masyarakat  ke arah bentuk yang lebih formal  dengan spektrum dan visi  yang lebih luas  maka didirikan organisasi sosial keagamaan sebagai jembatan  untuk mengantisipasi tugas tersebut. NU merupakan salah satu wujud upaya kea arah itu. Di mulai dari akar pesantren para ulama muda pesantren merintis kegiatan-kegiatan jihad mereka. Tidak berlebihan jika dikemukakan bahwa kegiatan ulama pesantren membentuk organisasi keagamaan jauh sebelum NU lahir, merupakan embrio bagi kelahiran NU. Suatu tahapan  perkembangan obsesi mereka untuk mewujudkan negeri merdeka, obsesi untuk menempatkan  syariah sebagai bagian dari kehidupan kebangsaan mereka (Haidar, 1998: 315).  
 Dengan demikian sebagaimana dikatakan oleh  M. Ali Haidar dalam bukunya  Nadhatul  Ulama dan Islam Indonesia: Pendekatan Fikih dalam Politik bahwa motif utama yang mendasari gerakan para ulama membentuk NU ialah motip keagamaan sebagai jihad  fi sabilillah. Kedua, tanggung jawab mereka  (para ulama) untuk mengembangkan pemikiran keagamaan yang ditandai dengan upaya pelestarian ajaran mazhab ASWAJA. Ketiga, Dorongan untuk mengembangkan  masyarakat melalui kegiatan pendidikan, sosial dan ekonomi. Keempat, motif politik yang ditandai semangat nasionalisme ketika pendiri NU  mendirikan cabang SI di Mekkah serta obsesi mengenai hari depan negeri merdeka bagi umat Islam.
 Hal senada dikemukan oleh Dr. Alfian dalam tulisannya yang berjudul Sekitar lahirnya ”Nadhatul Ulama” (NU)  bahwa penyebab utama kelahiran NU adalah perkembangan politik di Indoensia, khususunya perkembangan Politik dikalangan umat Islam yang  yang sangat sedikit memberi tempat pada pendiri-pendiri dan pengikut NU  sebelum organisasi NU dilahirkan (Laode Ida, 1996: 9).
Sedangkan menurut Greg  Fealy dan Greg Barton  dalam bukunya Tradisionalisme Radikal, Persinggungan Nadhatul Ulama- Negara secara resmi NU berdiri pada  31  Januari 1926 di Surabaya oleh sekelompok   ulama terkemuka, yang kebanyakan merupakan para pemimpin pesantren, tujuan utamanya adalah memperjuangan kepentingan Islam tradisional, terutama sistem kehidupan pesantren dari arus modernisme gerakan Islam tertentu yang sering kali menggerus nilai- nilai kultural  yang dimiliki oleh masyarakat pesantren.
NU yang pada mulanya berkedudukan di Surabaya, pada awalnya hanya memiliki jamaah dari Jawa dan Madura. Tapi seiring hadirnya kyai pesantren besar  seperti Kyai Hasyim Asj’ari, Kyai Abdul Wahab Chasbullah, Kyai Asnawi dan lain-lain, maka tidak sulit dukungan dari sebagian besar pesantren  lainnya. Cabang-cabang NU  yang dibentuk di daerah–daerah umumnya dirintis oleh kyai pesantern, guru  atau saudagar  yang pernah memperoleh pendidikan pesantren. Dengan latar  belakang inilah maka pengembangan NU sejak tahun-tahun pertamanya mendapatkan sambutan yang luas. Muktamar NU yang kedua tahun  1927 dihadiri oleh 146 kyai dari 36 cabang NU, sisanya 238 guru, pedagang dan utusan perhimpunan lokal. Selanjutnya muktamar keempat 1929 di  Semarang di hadiri oleh 62 cabang dengan jumlah yang hadir mencapai 145 orang, dengan 500 diantaranya kyai pesantren. Selanjutnya dalam muktamar ke-13 pada tahun 1938 cabang NU yang hadir sebanyak 99 dan majelis konsul sebanyak 9 konsul (Haidar, 1998: 85)    
.  
Kontribusi NU dalam Bidang Politik: Perspektif Percaturan Politik NU

Keberadaan NU memang sangat potensial sebagai ”lahan” politik, dimana  para tokohnya memiliki ambisi-ambisi politik untuk bermain di tingkat negara sering menjadikannya sebagai ruang manuver untuk mencapai kepentingan-kepentingan politiknya. Sementara bagi luar pihak, NU dipandang sebagai kekuatan politik yang besar. Soalnya NU memiliki basis massa yang cukup kuat bahkan solid di bawah kepemimpinan formal para kyai, tapi juga memiliki pengalaman politik yang cukup panjang, sehingga mampu melakukan manuver-manuver politik tingkat tinggi. Dengan demikian, mengabaikan kekuatan NU dalam percaturan politik di negeri ini, bisa merupakan satu persoalan besar, apalagi NU sangat berjasa dalam  dalam membela negara ini. Oleh  karena itu, berikut ini akan di bahas  tentang kontribusi NU dalam bidang politik  dalam panggung negara.     

  1. Masa Perjuangan Kerdekaan (1926-1945)

Pada masa kolonialisme, aksi-aksi jihad  untuk merebut kemerdekaan banyak dilakukan oleh kelompok Islam. Sebagaimana  ditemukan oleh  Stephen Frederic Dale (1988)  dalam studinya di India, Indonesia dan Philipina menyebutkan bahwa pada masa kolonialisme terdapat semangat keagamaan untuk melakukan perlawanan terhadap orang-orang  Barat dan Kristen di wilayah itu (Asfar, ed. 2003: 58). Tidak terkecuali NU pun melakukan itu. Dalam masa Kemerdekaan ini memang NU mengambil sikap kooperatif terbatas. Sebagaimana dapat dilihat pada langkah-langkah perjuangan NU pada saat merebut kemerdekaan.  Pertama, Dalam masa kolonial NU berusaha membendung gerakan  ideologi Kristen sebagai misi terselubung penjajah. Hal itu dilakukan dengan  menetapkan desa sebagai basis geografis sebagai fokus pembinaan dan pengembangan Islam sebagaimana faham yang dianutnya. Disamping itu juga berusaha membina hubungan dengan kaum modernis Islam sebagaimana dilakukan oleh KH. Hasyim Ashari dengan mengajak kalangan pembaharu untuk meninggalkan fanatisme dan  selanjutnya membangun solidaritas untuk persatuan umat Islam, dimana pada suatu saat disahuti oleh tokoh dari kalangan  Islam Modernis seperti KH. Mas Mansyur dari Muhammadiyah.
(Laode Ida, 1996: 13).  
Kedua, NU  berperan untuk ”mengharamkan” segala bentuk  peniruan terhadap cara-cara berpakaian dan berbahasa Belanda. Pengertian haram disini,  bukan  dilihat dari segi kacamata hukum  dan dien (ajaran) akan tetapi dari segi siasat, lebih bersifat politis. Hal itu dimaksudkan sebagai basis pertahanan terakhir kaum muslimin terhadap bahaya serangan dan kepungan kaum penjajah, atau merupakan basis penumbuhan nasionalisme di kalangan santri, yang secara tidak langsung membangun semangat kaum santri untuk melakukan perlawanan terhadap Belanda (Laode Ida, 1996: 14)
Ketiga, Mengusulkan kepada pemerintah Belanda agar memasukan mata pelajaran agama Islam dalam kurikulum sekolah-sekolah umum. Hal itu dilakukan karena NU menyadari bahwa murid sekolah umum kebanyakan beragama Islam. Bila hal itu diabaikan akan terjadi pendangkalan terhadap ajaran-ajaran Islam, yang merupakan kemenangan startegi Belanda terhadap Islam di Indonesia (Laode Ida, 1996: 14).
Keempat, membentuk barisan HIZBULLAH dan SABILILLAH  untuk melatih pemuda-pemuda Islam dalam peperangan (Laode Ida, 1996: 16).
Kelima, Diangkatnya KH. Abdul Wahid Hasyim sebgai ketua MIAI ( Majelis Islam Ala Indonesia), pada awal terbentuknya badan federasi-organisasi-Organisasi Islam se Indonesia pada tahun 1937 (Laode Ida, 1996: 11-12). Hal ini merupakan sumbangsih NU dalam menempatkan kader terbaiknya  untuk turut serta membangun persatuan umat guna merebut kemerdekaan Indonesia. 
 Keenam, kontribusi NU dalam masa Kemerdekaan yang sangat fenomenal adalah   dikeluarkannya Resolusi Jihad pada tanggal 22 Oktober oleh NU di Surabaya. Resolusi Jihad itu membawa  dampak besar pada perjuangan  umat Islam  terutama di Jawa Timur. Dimana pada 10 Nopember, dua minggu setelah kedatangan pasukan Inggris di Surabaya, sebuah pemberontakan massal pecah dimana banyak pengikut NU yang terlibat aktif. Bung Tomo  yang menggerakan massa ke dalam perjuangan ini melalui radiogramnya (mungkin tidak pernah menjadi santri), tetapi diketahui meminta nasehat kepada K.H. Hasyim Asy’ari. Dengan resolusi jihad ini, NU menampakan dirinya sebagai organisasi radikal .
Sesungguhnya keluarnya Resolusi jihad ini mengindikasikan konsistensi NU terhadap keputusan politik terdahulu, yakni tentang keberadaan negara Indonesia Indonesia sebagai dar al Islam  yang wajib di bela. Dengan demikian kewajiban  untuk melawan  penjajah adalah bagian dari upaya mempertahankan negara Indonesia  yang note bene  negara Islam  dari ancaman penjajah belanda  yang dianggap sebagai musuh dan ’kafir’ (Ridwan, 2004:211-212).   


  1. Masa Kemerdekaan dan Orde Lama (1945-1965)

Setelah Proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945. Banyak terjadi pergolakan politik yang menyeret NU dalam arus politik negera. Tapi  dibagian ini kami hanya akan membahas  kiprah NU dalam episode cemerlang dimana kiprah politik NU sangat signifikan.

  1. Posisi Tiga Besar  NU dalam  PEMILU 1955
Setelah masa kemerdekaan Indonesia telah mmasuki babak baru  dengan  berdirinya banyak partai. Masa ini dikenal dengan era parlementer. Kiprah NU dalam pemilu dimulia setelah NU keluar dari Masyumi dan menyatakan dirinya sebagai partai politik baru yang berdiri tahun 1852, tiga tahun kemudian NU harus bertarusng dengan partai lain dalamm pemilu 1955 (Haidar, 1998:169). Pemilu  1955 merupakan pemilu yang pertama dilakukan di Indonesia. Jika partai lain khususnya partai besar mempunyai cukup waktu dan kesempatan mengapreasikan politik dan pengaruh kepada rakyat, maka NU hanya mempunyai waktu sekitar tiga tahun saja. Meski dalam waktu sepenedek itu NU berhasil mencapai prestasi gemilang dalam pemiulihan itu. Keberhasilan itu mencengangkan banyak pihak, termasuk pihak NU sendiri. Mengenai  posisi NU dalam pemilu  1955 terlihat pada tabel 2  berikut ini:


Tabel 2: Tiga Besar  Hasil Pemilu 1955
Partai
Jumlah Suara
Persentase
Jumlah Kursi
PNI
8.434.653
22,3
57
Masyumi
7.903.886
20,9
57
NU
6.955.141
18,4
45
Sumber: Leo Suryadinata, 1995. Apendik 1. hal. 164.

Dari tabel 2 terlihat bahw  NU masuk kedalam jajaran partai elit  dalam pemilu 1955 dengan memperoleh 45 kursi di parlemen. Ini meruapakan sejarah luar biasa dari sebuah partai yang hanya mempunyai  waktu persiapan yang sangat mepet tapi memperoleh hasil luar biasa. Menurut Alfian (dalam  Haidar, 1998: 169-170)  keberhasilan ini karena  kemampuan NU menggalang solidaritas dilingkungan kaum santri dan berarti memperjelas perjuangan mereka untuk memenangkan ideologi Islam dan sekaligus menunjukan sikap anti komunis. Dari segi ini nampaknya tiga pilar utama penyangga kekuatan NU yaitu ulama, pesantren dan politisi memegang peran penting keberhasilan NU dalam pemilihan umum itu.

  1. Berperan dalam Pemberantasan G 30 S 1965
Sejak  meletusnya pemeberontakan PKI tanggal 30 september 1965  (G 30 S/PKI), tokoh-tokoh muda NU lebih cepat mengambil sikap konfrontatif, dan semakin menghilangkan kepercayaan mereka terhadap kepemimpinan Soekarno. Organisasi pemuda NU, Ansor, tampak menjadi tumpuan kekuatan perlawanan terhadap PKI  yang sejakl tahun 1962 mendirikan BANSER ( Barisan Ansor Serba  Guna). Dari pihak NU, pemuda Ansor-lah yang pertama kali (tanggal 1 Oktober 1965) memberi kecaman keras terhadap G 30 S/PKI, serta menolak dan menentang pembentukan dewan revolusi. Juga Ansor sekaligus mengeluarkan pernyataan, atas nama PB NU, terhadap klaim PKI  yang memasukan  tokoh NU dalam daftar dewan revolusi.
Sikap  pemuda Ansor ( termasuk organisasi-organisasi Pemuda NU lainnya, seperti PMII, IPNU, IPPNU dan Fatayat) tidak hanya terekspresikan berupa pernyataan, tetapi juga dalam tindakan nyata menghadapi dan berupaya memberantas sisa pemberontakan komunis, yang juga berakibat gugurnya 40 orang warga NU/Ansor di Banyuwangi pada 6 Oktober 1965 karena tersergap oleh pemberontak PKI. Kejadian itu sangat memukul NU/ Ansor, sehingga mendekatkan mereka dengan ABRI, yang ditandai dengan adanya izin dari Pimpinan Korem  dan Kodim se-Jawa  Timur  untuk melakukan pembersihan  massa PKI di Jawa Timur dan Bali. Peristiwa ini memberi petunjuk bahwa NU melalui Pemuda Ansornya mempu mempengaruhi kebijakan politik, karena  kesamaan visinya dengan ABRI terhadap gerakan PKI pasca G 30 S/ PKI.
Sikap NU sendiri secara tegas dinyatakan dalam bentuk resolusi kepada pemenrintah, yang meminta agar pemerintah segera membubarkan PKI, ormas-ormasnya, termasuk koran dan majalah  yang diterbitkan oleh PKI. Usulan ini memperoleh dukungan dari banyaknya unsur terutama pendukung Fraont Pancasila  (Laode Ida, 1996: 27-29)         
    
 C. Masa Orde Baru ( 1966-1997)
Kontribusi NU pada  masa pemerintahan Orde Baru mengalami pasang surut. Tapi  dibagian ini akan coba kami ulas bagian penting dari peran NU dalam bingkai perpolitikan Orde Baru.

.1. Peran Serta  dalam Pemilu 1971
Pemilu 1971  adalah pemilu  terakhir yang diikuti NU, dalam artian  pemilu yang mengatasnamakan NU sebagai sebuah partai Politik. Karena setelah itu, partai-partai Islam  berfusi  dalam bentuk satu Partai yaitu  Partai Persatuan Pembangunan  (PPP).  Hasil pemilu 1971 memperlihatkan  posisi NU yang relatif sama  dengan  pemilu 1955. Dimana Partai NU memperoleh suara sebesar  54.696.887  atau sebesar 18, 5 %  dengan jumlah kursi sebesar 58 kursi. Ini berarti   perolehan suara NU  lebih tinggi perolehannya dibanding tahun 1955.  Perolehan suara NU pada pemilu 1977 sendiri adalah suatu fenomena dimana partai Islam yang lain yang suaranya tidak turun, dan bahkan naik diantara perolehan partai Islam yang lain. Misalnya, partai Parmusi yang merupakan reprensentasi dari  Masyumi hanya memproleh 6, 3 % jauh dibawah angka perolehan suara Masyumi tahun 1955 yang mencapai 20,9 persen (Haidar, 1998:179). Hal ini menunjukan bahwa NU dapat beradaptasi dengan segala medan perjuangan dengan politik akomodatifnya, sehingga dikala partai Islam yang telah dibonsai oleh awal pemerintah Orde Baru  sehingga suaranya tidak signifikan lagi, NU masih tetap bisa  bertahan.

  1. NU sebagai Penyokong Suara PPP
Pasca pemilu 1971 ada rencana kebijakan dari pemerintah Orba waktu itu, untuk menyederhanakan sistem kepartaian.  Karena  adanya intimidasi dari pemerintah lewat Jenderal Soemitro selaku Pangkopkamtib  kepada partai politik yang ada. Maka  setelah melalui perundingan yang intensif  akhirnya empat partai Islam, NU, Parmusi, PSII dan  Perti mencapai sepakat untuk melakukan fusi  dalam suatu deklarasi tenggal 5 Januari 1973. Deklarasi  fusi itu ditandatangani  lima orang. K.H. Dr. Idham Chalid (NU), H. M. S  Mantaredja, SH. (Parmusi), H. Anwar Tjokroaminoto (PSII), Rusli Jalil (Perti), dan K. H. Masyur dari NU (Haidar, 1998).  Dalam keadaan itu memang sebenarnya  NU sebagai penyokong real  perolehan suara  sangat nampak. Hal itu bisa  dilihat pada perolehan  beberapa  Pemilu  pasca  Konsensus Nasional tahun 1975 

 Tabel 3: Perolehan Suara PPP sebelum NU Keluar       
Tahun
Persentase Suara (%)
Perolehan Kursi
1977
29,3
99
1982
27,8
94
Sumber: Haidar, 1998: 176

Indikator  bahwa sumbangan suara NU sangat  signifikan terhadap PPP dapat dilihat  ketika  pemilu 1987, dimana NU  keluar dari PPP dengan adanya langkah NU untuk kembali ke Kitthah 1926 yang digulirkan oleh angatan muda NU waktu itu seperti  Abdurahman  Wahid serta Slamet Efendy Yusup  serta beberapa ulama   sepuh. Sehingga ada wacana waktu itu bahwa   gerakan  ini akan ”menggembosi” perolehan suara  PPP. Kemudian  fakta yang terjadi  pada pemilu 1987 misalnya  nampak penurunan suara PPP  yaitu hanya memproleh 16 % suara pemilih, kemudian pada pemilu 1992 juga hanya memperoleh 17 persen saja, sedangkan pada pemilu 1997 sedkit naik menjadi 22, 58 persen (Memorandum,Lapsus, Edisi Mei 1998. hal. 3).  Semuanya di bawah perolehan suara pemilu 1982 dan 1987 ketika NU masih bergabung.
  1. Masa Reformasi (1998- Sekarang)

Lengser-nya Soeharto pada 21 Mei 1998  silam ternyata melahirkan berbagai fenomena politik menarik. Salah satunya adalah munculnya banyak partai sebagai  euforia politik dengan menjamurnya partai politik baru. Diantaranya  NU yang tidak mau ketinggalan  dengan mendirikan  paartai. Berikut beberapa  kontribusi NU  yang kami anggap penting  dalam dalam percaturan politik Indonesia  selama masa reformasi.

1. Mendirikan Partai Politik  & Berpartisipasi dalam Pemilu 1999   
 Pada  23 Juli 1998 telah dinyatakan berdirinya berdirinya Partai Kebangkitan Bangsa ( PKB) dengan ketua umum Matori Abdul Jalil. PKB didirikan oleh beberapa tokoh PBNU, diantaranya  Gus Durdan K. Ilyas Ruhyat. Kemudian  tidak berapa lama partai muncul partai NU yang didirikan oleh  Abu Hasan, tokoh saingan  Gus Dur  dalam muktamar Cipasung. Partai tersebut  bernama Solidaritas  Uni  Nasional Indonesia disingkat SUNI. Selanjutnya  pada 16 Agustus 1998  dikeluarkan  maklumat tentang berdirinya partai  ketiga dikalangan NU, yaitu Partai Nahdlatul Ummah yang didirikan  oleh aktifis Ifttihadul Muballighin, sebuah organisasi dakwah yang didirikan oleh K. H. A Saichu  tahun 1979. Ketua Umum PNU adalah Ketua Umum P.P.  Ifttihadul Muballighin, yaitu  K. H.  Syukron Ma’mun (Hasan et. al. 1998:217). Tetapi pada pemilu 1999  hanya PKB  yang mampu bertahan  sebagaimana  terlihat pada tabel 4 berikut ini:

Tabel 4: Hasil Pemilu 1999 untuk Lima Besar  Partai Peserta Pemilu
 Nama Partai
Jumlah Suara
Jumlah Kursi
PDI-P
35.689.073
154
Golkar
23.741.749
120
PPP
13.336.982
58
PKB
11.329.905
51
PAN
7.528.956.
34
Sumber: Kompas, 11 Februari 2001. hal. 27


2. Gus  Dur  Sebagai Presiden RI

Pada  Pemilu 1999, PDI-P pimpinan Megawati keluar sebagai pemenang pemilu (lihat Tabel 4). Tetapi dalam Sidang Umum MPR Oktober 1999 hasil pemilu 1999, justru bukan Mega yang menempati posisi tertinggi pemerintahan Indonesia, melainkan Abdurahman Wahid  (Gus Dur) dan Megawati  harus puas  sebagai Wakil Presiden. Gus Dur  merupakan jago dari  Poros Tengah  diakibatkan  meruncingnya konflik antara kubu Habibie dan Megawati dalam SU MPR tahun 1999. Gus Dur yang merupakan ketua PBNU dan deklarator PKB terpilih sebagai Presiden lebih karena “Kecelakaan Politik,” untuk menghindari konflik antara pendukung Habibie dan Megawati (Soetrisno Enpe, 2003).
Gus Dur tatkala menjadi presiden, berupaya membangun pemerintahan yang dipimpinnya berbeda dengan sebelumnya. Ia Menampung berbagai kekuatan politik riel, serta tidak hanya memasukan orang-orang dekatnya ( NU, atau PKB), dan Poros Tengah, melainkan juga orang-orang  dari PDI-P serta TNI dalam kabinetnya. Alasannya secara de facto PDI-P  merupakan pemenang pemilu dan wakil presiden merupakan pucuk pimpinan partai. Sedangkan TNI secara riel masih dipandang memiliki pengaruh besar dalam masyarakat.
Selain itu,  Gus Dur juga melakukan dekonstruksi lembaga Kepresidenan karena di masa lalu pada era ORLA dan ORBA posisi lembaga Kepresidenan sangat kuat karena central of power. Langkah yang diambil adalah dengan merombak lembaga  sekretariat negara  dengan pemberian posisi yang tidak lagi dominan. Pos Sekretariat Negara kemudian dibagi  ke dalam beberapa bagian seperti sekretaris negara, sekretaris kabinet, sekretaris presiden, sekretaris militer presiden, dan sekretaris  pengendalian pemerintahan.  Yang terakhir ini belakangan dibiarkan kosong setelah ditinggalkan  Bondan Gunawan .
Upaya dekontruksi lembaga kepresidenan juga diperlihatkan pada upaya  Gus Dur  untuk lebih dekat dengan rakyat. Presiden berupaya melembagakan dialog setelah shalat Jum’at di sejumlah masjid, terutama di masjid Baiturahman di lingkungan istana negara serta di masjid Al Munawaroh di kediaman Gus Dur (Soetrisno Enpe, 2003).
Tapi Presiden  Abdurahman Wahid memegang kekuasaan hanya kurang lebih 21 bulan, lalu kekuasaan kembali ke tangan  Megawati  sejak juli 2001 (Maliki, 2004: 60)
3. Ikut di Pemilu dan Pilpres 2004  
 Partai PKB  yang merupakan perwakilan partai dari NU yangt lolos untuk mengikuti  pemilu 2004 karena lolos ET. Oleh karena pemilu 2004 merupakan kelanjutan  partisipasi politik NU pada masa reformasi.  Untuk hasil pemilu  2004 PKB  memperoleh  suara sebanyak 11.989.564 atau sebanyak 10,57 %  dengan perolehan kursi sebanyak 52 kursi (http://id.wikipedia.org/wiki/Pemilu_2004). Sedangkan peran NU ke dalam politik lebih apabila kita melihat pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2004 baik pada putaran  pertama maupun dua.  Seperti terlihat pada tabel berikut:
Tabel 5: Hasil Perolehan suara Pilpres 2004 Putaran Pertama
Nomor Urut
Nama Pasangan Calon Presiden
dan Calon Wakil Presiden
Jumlah Suara
Persentase
1.
H. Wiranto, SH.
Ir. H. Salahuddin Wahid
26.286.788
22,15%
2.
Hj. Megawati Soekarnoputri
KH. Ahmad Hasyim Muzadi
31.569.104
26,61%
3.
Prof. Dr. HM. Amien Rais
Dr. Ir. H. Siswono Yudohusodo
17.392.931
14,66%
4.
H. Susilo Bambang Yudhoyono
Drs. H. Muhammad Jusuf Kalla
39.838.184
33,57%
5.
Dr. H. Hamzah Haz
H. Agum Gumelar, M.Sc.
3.569.861
3,01%
Hasil Pemilu presiden putaran pertama telah selesai dihitung dan telah diumumkan oleh KPU pada tanggal 26 Juli 2004, terlihat bahwa kader NU  banyak ikut berperan seperti   Ir. H. Salahuddin Wahid, KH. Ahmad Hasyim Muzadi, serta  Dr. H. Hamzah Haz.
Direkrutnya tiga kader terbaik NU dalam Pilpres putaran pertama tersebut membuktikan  bahwa NU sebagai kekuatan yang patut diperhitungkan dalam kancah perpolikan nasional.
Sesuai hasil Pemilu presiden putaran pertama di atas, yaitu belum ada pasangan calon yang memperoleh suara lebih dari 50 persen, maka diadakanlah Pemilu presiden putaran kedua 2004. Pasangan-pasangan calon yang mengikuti Pemilu presiden putaran kedua 2004 ini adalah dua pasangan calon dengan yang memperoleh suara terbanyak pada pada Pemilu presiden putaran pertama 2004 yang lalu. Ada dua pasangan calon presiden dan wakil presiden (yang memperoleh suara terbanyak pada Pemilu presiden putaran pertama) yang dicalonkan di Pemilu presiden putaran kedua 2004, yaitu:Hj. Megawati Soekarnoputri dan KH. Ahmad Hasyim Muzadi (dicalonkan oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan), H. Susilo Bambang Yudhoyono dan Drs. H. Muhammad Jusuf Kalla (dicalonkan oleh Partai Demokrat, Partai Bulan Bintang, dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia).  Mengenai  Pilpres Putaran Kedua  didapatkan hasil sebagai berikut:
Tabel 6:  Hasil perolehan suara  Pada Pilpres  2004 Putaran Kedua.
Nomor Urut
Nama Pasangan Calon Presiden
dan Calon Wakil Presiden
Jumlah Suara
Persentase
2.
Hj. Megawati Soekarnoputri
KH. Ahmad Hasyim Muzadi
44.990.704
39,38%
4.
H. Susilo Bambang Yudhoyono
Drs. H. Muhammad Jusuf Kalla
69.266.350
60,62%
Dari tabel 6  terlihat bahwa  kader NU dalam hal KH. Ahmad Hasyim Muzadi  Sebagai ketua PBNU yang merupakan pasangan Megawati menelan kekalahan. Tapi ini pada hemat kami merupakan pembelajaran politik bagi warga NU dan  NU sendiri dalam sekup Nasional. Walaupun kalah, paling tidak menunjukan  bahwa  kader NU sebenarnya layak untuk bertarung untuk memperebutkan posisi pimpinan di Republik ini.


  1. Kader NU dalam Pilkada di Jawa Timur
Memasuki era otonomi daerah sekarang ini banyak dilakukan  pemilihan kepala daerah langsung (Pilkadal) baik tingkat provinsi ataupun kota/kab.  Karena basis massa NU di Jawa Timur, maka kader Nadlatul Ulama (NU) banyak menjadi incaran banyak partai politik dalam mendulang suara di Pilkada. Hal itu wajar karena Jawa Timur  adalah basis dari warga Nadhiyin yang merupakan lumbung suara yang sangat terbesar. Akibatnya, tidak heran jika banyak kader NU yang menjadi calon kepala daerah maupun wakil kepala daerah yang diusung oleh partai politik yang berbeda.
Di pilkada Kabupaten Nganjuk, misalnya, Rais Syuriah PCNU Nganjuk Abdul Qadir menjadi calon wakil bupati dari Koalisi Partai Demokrat , Partai Patriot Pancasila, PKPB, dan PKS. Semnetara itu Abdul Wachid yang notabene ketua Tanfidziah PCNU Nganjuk juga maju menjadi calon wakil bupati yang diusung oleh PDI-P. Di bursa calon pemilihan Gubernur (Pilgub) juga muncul nama ketua PWNU Jatim Ali Maschan Moesa menjadi calon wakil gubernur dari partai Golkar, sementara itu Saifullah Yusuf, ketua umum GP Ansor, juga maju menjadi calon wakil gubernur dari koalisi PAN dan Partai  Demokrat.  Demikian juga Achamdy (bupati Mojokerto) juga masih ada  ”darah biru” dari keluarga NU. Untuk kiprah NU dalam Pilkada di Jatim seperti terlihat pada tabel 7 berikut ini:       

Tabel 7: Beberapa Kader NU  Yang Menang di Pilkada di Jatim
Nama
Status di NU
Hasil Pilkada
Yusuf Nuris
Sekretaris PCNU Banyuwangi
Wakil Bupati Banyuwangi
Arif Fuadi
Pengurus PCNU Blitar
Wakil Bupati Blitar
Aminurokhman
Pengurus PCNU Kota Pasruan
Walikota Pasuruan
Mahsun Ismail
Sekretaris PCNU Trenggalek
Wakil Bupati Trenggalek
Tsalits Fahami
Ketua PCNU Lamongan
Wakil Bupati Lamongan
0Abdul Wachid
Ketua Tanfidziah NU Nganjuk
Wakil Bupati Nganjuk
M. Athiyah
Aktifis GP Ansor Tulungagung
Wakil Bupati TulungAgung
Sumber: Kompas, 13 Maret 2008  
Jadi  kader NU banyak diperebutkan karena memegang posisi kunci  dalam pemenangan Pilkada dan Pilgub terutama di Jatim yang meruapakn basis terbesar. Meminjam  bahasa Aribowo apapun minumannya ”teh botol Sosro” untuk menggambarkan  pergerakan NU sebagai objek kontestasi politik kekuasaan. Siapa pun calon gubernurnya, calon wakil gubernurnya berasal dari NU," kata Aribowo (Jawa Pos 9 Feb 2008).
Simpulan
Dari  uraian diatas  memperlihatkan betapa menonjolnya  peran NU dalam perpolitikan negara. Dari masa perjuangan sampai masa sekarang (reformasi). Hal itu membuktikan bahwa NU adalah kekuatan  yang sangat berpengaruh dipentas politik Indonesia. Dimana dalam segala perubahan situasi tetap mampu bertahan dan bahkan mewarnai jalan peta politik lokal mapun nasional. Sebagaimana dikatakan oleh Bruinesen  pada awalnya  NU melalui politik formal, lalu menempuh jalur kultural dengan menyatakan kembali ke khittah 1926. Sejak itu, NU menjelma menjadi Jam’iyah atau organisasi keagamaan, dengan tetap peduli terhadap kehidupan politik (Maliki, 2004: 57). Selanjutnya setelah reformasi  kembali ke jalur politik dengan mendirikan PKB dan lainnya sambil tetap memakai strategi kultural.
Melihat  potensi  yang demkian besar maka NU merupakan kekuatan yang masih diperhitungkan. Apalagi nampaknya di tubuh NU sudah terjadi regenerasi  dengan menculnya generasi emas NU sebagaimana pernah diungkapkan almarhum Nurcholis Majid, seorang cendekiawan  muslim  yang mengatakan bahwa pada 20 tahun mendatang akan terjadi bahasan sejarah baru di tubuh NU, di mana basis massanya akan diperkuat kalangan terpelajar. Pada saat itulah akan terjadi keseimbangan baru umat Islam, di mana anak-anak Masyumi akan berdampingan dengan massa NU yang sama-sama berbasis kaum terpelajar (Suara Merdeka, 21 Juni 2004)”

Saran 
Melihat kenyataan itu, maka kami menyarankan  NU perlu membuat langkah-langkah   berikut agar  kontribusi NU dalam bidang politik di pentas perpolitikan lebih maksimal:
Pertama, NU sebaiknya  mendorong kader muda yang potensial untuk lebih berperan di pentas politik nasional.
Kedua, menjadikan NU sebagai kendaraan politik warga NU bukan hanya sebagai ban serep atau atau hanya sebegai ”kernet” tapi bisamenjadi  ”sopir” dalam pemilihan Pilkada atau Cagub di daerah basis NU.
Ketiga, melakukan pendidikan politik yang rasional kepada massa NU sehingga menghilangkan  ketergantungan massa NU terhadap Kyai (santri-kyai)
Terakhir, menjadikan NU sebagai rumahnya warga NU dengan menarik kader yang selama ini berkiprah di luar. Bravo NU  

Daftar Pustaka

Andree Feillard. NU Vis-a-Vis Negara. Jogjakarta. LKiS. 1999
Abdul Munir Mulkhan. Problem Teologi Politik NU dan Gerakan Islam. Kata pengantar dalam Buku Ridwan.Paradigma Politik NU: Relasi Sunni-NU dalam Pemikiran Politik. Purwokerto: STAIN Purwokerto Press. 2004
Leo Suryadinata.Golkar dan Militer: Studi tentang Budaya Politik.Jakarta: LP3ES. 1995.
Laode Ida. Anatomi Konflik NU, Elit Islam dan Negara. Jakarta: Sinar Harapan. 1996
Muhammad Asfar (Ed).Islam Lunak Islam Radikal. Surabaya. JP Press. 2003
M. Ali Haidar. Nahdatul Ulama dan Islam di Indonesia: Pendekatan Fikih dalam Politik. Jakarta: Gramedia. 1998.
Greg  Fealy dan Greg Barton. Tradisionalisme Radikal, Persinggungan Nadhatul Ulama- Negara. Jogjakarta.LkiS. 1997
Ridwan.Paradigma Politik NU: Relasi Sunni-NU dalam Pemikiran Politik. Purwokerto: STAIN Purwokerto Press. 2004
Sahar L. Hasan, et.al. Memilih Partai Islam. Jakarta. Gema Insani Press. 1998.
Sutrisno Enpe. Gus Dur dan Politik. Dimuat dalam Jurnal Masyarakat  dan Kebudayan dan Politik. Tahun XVI. Nomor 1, Januari 2003.  Surabaya. Fisip Unair
Zainuddin Maliki. Penaklukan Negara Atas Rakyat.. Yogyakarta. UGM Pres. 1999
Zainuddin Maliki. Agama Priyayi: Makna Agama di tangan Elit Penguasa.. Yogyakarta. Pustaka Marwa. 2004
Zamakhsyari Dhofier. Tradisi Pesantren: Studi Pandangan Hidup Kyai. Jakarta: LP3ES. 1985



* Diajukan sebagai Karya Tulis  Ilmiah dalam Lomba Karya Tulis Ilmiah PWNU Jawa Timur  dengan Tema Kontribusi NU Membangun Peradaban KeIndonesiaan pada tahun 2008 

Tidak ada komentar: