Konrtribusi NU dalam Bidang Politik: Perspektif
Percaturan Politik NU
dalam Panggung Negara*
Oleh: Untung Dwiharjo, S.Sos.
Pendahuluan
Nadhatul Ulama (NU) bisa dipahami sebagai Jam’iyah
atau gerakan sosial yang sulit dipisahkan dari dinamika politik Nasional (
Mulkhan, 2004). Apalagi NU merupakan organisasi sosial terbesar yang
berbasiskan pesantren. Maka NU merupakan sebagaimana diketahui bahwa pesantren
merupakan lembaga yang banyak menyokong
berdirinya NU. Maka NU adalah kekuatan
yang diperhitungkan oleh berbagai
pihak untuk dapat berperan dalam kancah
perpolitikan nasional. Sebagaimana dikatakan oleh Zamakhshari Dhofier (1985)
bahwa Pesantren merupakan benteng pertahanan umat Islam dan pusat penyebaran
umat Islam. Keberhasilan Islam tradisional (NU) dalam menghimpun
kekuatan-kekuatan yang besar di Jawa
dewasa ini bukan semata-mata karena jumlahnya lebih besar dari pada Islam
modernis (Muhammadiyah); tetapi juga karena kuatnya solidaritas dan integritas
penganutnya. Tidak seperti kebanyakan organisasi sosial, keagamaan dan politik
lainnya yang sering kali menderita kelemahan-kelemahan dan pertentangan
didalamnya, NU selalu berhasil menghindarkan diri dari perpecahan baik karena
rivalitas didalam maupun karena pengaruh dari luar. Oleh karena itu sebagaimana dikatakan Ben Andersen (1977) NU
merupakan salah satu kekuatan sosial, kultural dan keagamaan dan politik yang
sangat berpengaruh selama bertahun-tahun (Dhofier, 1985:4).
Dalam perjalanan sejarahnya NU telah banyak
mewarnai haru biru perjalanan Republik
Indonesia ini. Mulai dari masa merebut kemerdekaan (perjuangan),
Kemerdekaan, Orde Lama, Orde Baru sampai Orde Reformasi sekarang ini.
Sehingga karena peran NU yang begitu besar maka semenjak awal tahun 1980-an mulai para akademisi
meneliti dengan serius kiprah NU di
pnetas perpolitikan nasional. Diantaranya studi yang sangat serius tentang
NU misalnya Disertasi Dr. M Ali
Haidar dengan judul Nahdatul Ulama dan
Islam Di Indonesia: Pendekatan Fikih dalam Politik (1993), Mitsuo Nakamura menulis
NU dengan judul Agama dan Perubahan Politik Tradisionalisme Radikal NU di
Indonesia (1982), Greg Fearly dan Greg Barton, meneliti NU yang kemudian
diterbitkan dengan judul Tradisionalisme
Radikal, Persinggungan Nadhatul Ulama- Negara (1997). Serta beberapa tulisan para pakar lainya baik disertasi,
tesis mampun skripsi serta tulisan
artikel yang terpuiblikasi di beberapa jurnal ilmiah mampun mas
media yang mengupas tentang sepak terjang politik NU.
Penelitian yang demikian marak tentang NU, karena
ada beberapa sebab:
Pertama, NU merupakan gerakan muslim terbesar di Indonesia
(dengan lebih dari 30 juta jiwa simpatisan), negara muslim terbesar di
dunia dari segi jumlah penduduknya (87 %
dari 200 juta penduduk). Kedua, NU meruapakan faktor kunci panggung
politik sejak kemerdekaan tahun 1945 karena partai Islam pertama, Masyumi, yang
angotanya terdiri dari kalangan Islam ”modernis” dilarang tahun 1960 dan tidak
pernah direhabilitasi di kemudian hari. Ketiga, reorientasi tahun 1984 disertai dengan penerimaan secara definitif
terhadap negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Keempat, perubahan
pada susunan PBNU. Dimana dua cendekiawan progresif dipilih menduduki jabatan
tertinggi garakan konservatif ini: Abdurahman Wahid yang liberal diangkat sebagai ketua Umum
Tanfidziah yang bertugas yang menangani urusan sehari-hari, serta Kiai Achmad
Siddiq dari kubu pembaharuan ditunjuk sebagai Rais Am, pemegang kekuasaan
tertinggi (Feillard, 1999: xi)..
Oleh karena itu
dalam karya tulis ini akan dicoba
mengambarkan secara makro tentang kontribusi NU semenjak
didirikan pada tahun 1926 sampai
sekarang dalam ranah politik Indonesia. Tentu saja kadarnya tidak bisa disejajarkan dengan tulisan sebagaimana yang
ditulis para pakar tersebut. Oleh karena itu
dalam karya tulis ilmiah ini kami mengambil satu pertanyaan inti Bagaimanakah Kontribusi NU dalam bidang Politik: dalam Perspektif
Percaturan Politik NU dalam Panggung Negara?
Politik Akomodatif: Kerangka Teori Percaturan
Politik NU
Langkah politik NU sebenarnya bisa ditelusuri
dalam pemahaman politik Sunni atau Ahl-Sunnah wa al-Jamaah (selanjutnya
disebut ASWAJA). Paham ASWAJA sering dikonotasikan sebagai ajaran (mazhab) dalam
Islam yang berkaitan dengan dengan konsep ’Akidah, Syari’ah dan Tasawwuf dengan corak moderat. Salah satu ciri
Instrinsik dari ajaran ini (sebagai identitas) adalah keseimbangan pada
penggunaan dalil ’naqli dan ’aqli. Keseimbangan dengan demikian
memungkinkan adanya sikap akomodatif
atas perubahan-perubahan yang berkembang di dalam masyarakat sepanjang
tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam (Ridwan, 2004: 6-7).
Prinsip umum ajaran sosial politik Sunni adalah mengambil sikap tawassuth,
tawazun, ta’adul, dan tasamul serta al-qiyam bi al-qadim al-shalih wa al-akhdzu
bi al-jadid al-ashah. Dengan prinsip ini Sunni selalu mengambil sikap
akomodatif, toleran dan menghindari
sikap ekstrim dalam berhadapan dengan spektrum budaya apapun (Ridwan,
2004:7-8).
Pengaruh pemikiran politik Sunni yang akomodatif
dan kompromistis tersebut disinyalir oleh beberapa pakar sangat berpengaruh
terhadap pemikiran dan perilaku politik NU
di Indonesia. Nadhatul Ulama sebagai organisasi kemasyarakatan Islam terbesar di Indoensia yang secara jelas
mendeklarasikan dirinya sebagai penganut ajaran Sunni sebagaimana terdapat
dalam hasil-hasil Muktamar Ke-29 Nadhatul Ulama tahun 1996 sebagaimana dikutip
Ridwan (2004:11-12) sudah barang tentu terpengaruh oleh pemikiran-pemikiran
keagamaan Sunni.
Implikasi penting dari paradigma politik Sunni
yang ”serba fiqh” dengan politik legitimasi terhadap NU, membuat organisasi ini
menyesuaikan dirinya dengan perubahan dibanding dengan organisasi yang lain.
Berbagai tingkah laku politik NU yang dimata orang lain cenderung ”kontroversial,
polemis dan akomodatif” dapat dijelaskan dalam sudut pandang paradigma
politik Sunni di atas terutama ketika NU
memberikan ”treatment” terhadap kekuasaan.
Ada indikator keterpengaruhan sikap politik NU
oleh pemikiran keagamaan (politik) Sunni) yang didasarkan pada konsep tawazun,
tasamuh, dan ta’adul yang semuanya mengambil jalan tengah dan menjauhi
ekstrimitas antara lain dapat dipahami melalui peryataan K.H. Ahmad Shidiq
(Ridwan 2004:12-13) berikut ini:
- Negara
Nasional (yang didirikan secara bersama oleh seluruh rakyat) wajib
dipelihara dan dipertahankan
- Penguasa
negara (pemerintah) yang sah ditempatkan pada kedudukan yang terhormat dan
diatati selama tidak memerintah ke arah yang bertentangan dengan hukum dan
ketentuan Allah
- Kalau
terjadi kesalahan dari pihak pemerintah, cara mengingatkannya melalui
tatacara yang sebaik-baiknya.
Statemen K.H. Ahmad Shiddiq ini pada prinsipnya
adalah sikap sekaligus dukungan atas status quo dan sikap akomodatif
terhadap pemerintah. Dua point pertama tampak sejalan dengan semangat revolusi
jihad dan deklarasi wali
al-al-dharuri bi al-syaukah. Dua
tindakan NU yang jelas-jelas bersifat politis
namun diutarakan sebagai konsekuensi logis dari perundang-undangan
keagamaannya.
Dengan kata lain, pendekatan serba fiqh (Ali
Haidar, 1998: 8) atas masalah kenegaraan itulah yang membuat NU menampilkan watak akomodatif dan fleksibel
atau bahkan terkesan oportunistik
dalam menentukan sikap politiknya. Salah satu ciri yang melekat pada fiqh
oriented adalah bahwa paradigma NU selalu dikalkulasikan atas dasar
pertimbangan hukum yang bermuara pada aspek mashlahah dan mafsadah
(Ridwan, 2004:16)
Dalam bahasa yang sama, R. William Liddle menyebut
politik akomodasionis ini dengan kategori substansionis dimana
menekankan isi daripada bentuk . Dalam
konteks negara, tidak terlalu mempersoalkan bentuk formal atau struktural
negara, tetapi lebih menekankan bagaimana mengisinya dengan substansi, etika
dan moralitas agama.
Senada dengan itu, dalam tataran teori, Bahtiar
Effendy (1998) menyebutnya dengan pola akomodasionis yang berpandangan dengan
bahwa penyesuaian dan adaptasi nilai-nilai ajaran Islam terhadap pemerintah
bukan merupakan hambatan. Bahkan adaptasi ini tidak berhenti meski pemerintah
melandaskan kebijakannya kepada pandangan sekuler. Menurut Bahtiar yang masuk dalam pola akomodasionis adalah
birokrat maupun politisi NU. Hal itu menurut
Samson (1978) karena banyaknya pemimpin politik NU yang dinilainya
sering kali mudah bersikap akomodatif terhadap penguasa sekuler untuk
memperoleh posisi-posisi politik yang
tidak terlalu menentukan dan kontrol atas birokrasi di Departemen Agama (Maliki,
1999:45).
Namun dalam catatan oleh Mulkhan mengatakan bahwa
basis religio politik NU bercorak akomodasionis dan substansialis maka
sebenarnya ini merupakan latar belakang basis sebagian saja dari politisi dan
birokrat NU, atau setidaknya pada sebagian elitnya, pada masa tertentu.
Sebagaimana Mulkhan, Bruinessen pun memberikan catatan bahwa di tubuh NU,
terutama pasca 1970-an, mengalami berbagai dinamika. Organisasi besar ini tidak
lagi memperlihatkan praktik-parktik akomodasionis, karena pada dekade itu,
organisasi non pemerintah yang besar ini
kemudian lebih menjadi radikal dengan menjadi pengkritik Orde Baru (Maliki,
1999:47-48).
Pola yang dikemukan di atas adalah merupakan kategori ideal dalam rangka mendekati persoalan kontribusi
NU dalam bidang politik. Tapi dengan perubahan jaman terutama sessudah masa
reformasi tentunya banyak perubahan atau dinamika yang melanda pada politik NU.
Apalagi paska berdirinya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang didirikan oleh Abdurrahman Wahid, banyak
merubah pola hubungan santri dengan kyai sebgaimana dikatakan oleh Bruinessen, bahwa NU merupakan
organisasi yang sangat terdesentralisasi (Maliki, 1999:49).
Namun demikimikan, untuk lebih memudahkan kerangka teori kontribusi NU dalam bidang Politik: Perspektif
Percaturan Politik NU dalam Panggung Negara maka teori politik akomodasi masih memadai untuk menjelaskan dimamika
perpopolitikan NU.
Untuk lebih
jelasnya tabel berikut dapat menjadi kesimpulan atau kerangka politik NU:
Tabel 1: Konsep Negara dalam aliran Pemikiran Politik
NU
Aliran
|
Pemahaman Ajaran
|
Aplikasi Ajaran
|
Konsep negara
|
Substansialisme (NU)
|
Rasionalisme
-Kontekstual
|
Realistik
Substansiasi agama
|
-Agama tidak mementukankonsep/bentuk negara
-Melegitimasi/koreksi moral terhadap negara
-Menekankan etika/moralitas dalam negara
|
Sumber: diadopsi dari Zainudin Maliki, 1999. hal.
51.
Kilasan Spektrum Sejarah Berdirinya NU
Kelahiran NU diawali suatu proses yang panjang
sebelumnya. Bermula dari munculnya gerakan nasionalisme yang antara lain
ditandai oleh berdirinya SI (sebelumnya bernama SDI) telah menghilhami sejumlah
pemuda pesantren yang bermukim di Mekkah untuk mendirikan cabang perhimpunan itu di
sana. Belum sempat berkembang mereka segera mudik kembali karena pecah perang
dunia. Namun obsesi mereka terus
berlanjut setelah mereka menetap kembali di Tanah Air. Mereka mendirikan perhimpunan
Nadhatul Watan (1914), Taswi-rul Afkar (1918) dan perhimpunan
koperasi Nadhatul Tujjar (1918). Selain itu di Surabaya didirikan
perhimpunan lokal yang sejenis antara lain Perikatan Wataniyyah, Ta’mirul
Masajid dan Atta’dibiyah.
Ketegangan dalam kongres al-Islam sepenjang paruh
pertama tahun dua puluhan dan berlanjut dalam sidang-sidang Komite Khilafat,
telah mendorong perhimpunan lokal di Surabaya itu turut serta mendirikan
organisasi baru yang lebih luas dan berskala nasional. Mereka menilai
lembaga-lembaga penghimpunan Islam yang ada maupun kongres al-Islam sendiri
tidak bersikap akomodatif terhadap
visi yang mereka coba kembangkan.
Ketegangan itu kemudian berlanjut setelah delegasi yang dikirim ke kongres
Mekkah tahun 1926 ternyata mengabaikan kepentingan-kepentingan yang mereka
kembangkan. Mereka kemudian mengirim delegasi sendiri ke Mekkah. Untuk
kepentingan itu mereka mendirikan perhimpunan baru NU (Haidar, 1998:313-314).
Dalam konteks seperti itulah dapat dipahami
perjalanan NU selanjutnya. Melalui media pesantren para ulama mengembangkan
tugas melaksanakan jihad untuk menegakan
kalimah Allah. Ketika dirasakan perlunya pengembangan kelembagaan tradisi
sosial dan kultural yang telah dhidup di
tengah masyarakat ke arah bentuk yang
lebih formal dengan spektrum dan
visi yang lebih luas maka didirikan organisasi sosial keagamaan
sebagai jembatan untuk mengantisipasi
tugas tersebut. NU merupakan salah satu wujud upaya kea arah itu. Di mulai dari
akar pesantren para ulama muda pesantren merintis kegiatan-kegiatan jihad
mereka. Tidak berlebihan jika dikemukakan bahwa kegiatan ulama pesantren
membentuk organisasi keagamaan jauh sebelum NU lahir, merupakan embrio bagi
kelahiran NU. Suatu tahapan perkembangan
obsesi mereka untuk mewujudkan negeri merdeka, obsesi untuk menempatkan syariah sebagai bagian dari kehidupan
kebangsaan mereka (Haidar, 1998: 315).
Dengan
demikian sebagaimana dikatakan oleh M.
Ali Haidar dalam bukunya Nadhatul Ulama dan Islam Indonesia: Pendekatan Fikih
dalam Politik bahwa motif utama yang mendasari gerakan para ulama membentuk
NU ialah motip keagamaan sebagai jihad
fi sabilillah. Kedua, tanggung jawab mereka (para ulama) untuk mengembangkan pemikiran
keagamaan yang ditandai dengan upaya pelestarian ajaran mazhab ASWAJA. Ketiga,
Dorongan untuk mengembangkan masyarakat
melalui kegiatan pendidikan, sosial dan ekonomi. Keempat, motif politik
yang ditandai semangat nasionalisme ketika pendiri NU mendirikan cabang SI di Mekkah serta obsesi
mengenai hari depan negeri merdeka bagi umat Islam.
Hal senada dikemukan
oleh Dr. Alfian dalam tulisannya yang berjudul Sekitar lahirnya ”Nadhatul
Ulama” (NU) bahwa penyebab utama
kelahiran NU adalah perkembangan politik di Indoensia, khususunya perkembangan
Politik dikalangan umat Islam yang yang
sangat sedikit memberi tempat pada pendiri-pendiri dan pengikut NU sebelum organisasi NU dilahirkan (Laode Ida,
1996: 9).
Sedangkan menurut Greg Fealy dan Greg Barton dalam bukunya Tradisionalisme Radikal,
Persinggungan Nadhatul Ulama- Negara secara resmi NU berdiri pada 31
Januari 1926 di Surabaya oleh sekelompok ulama terkemuka, yang kebanyakan merupakan
para pemimpin pesantren, tujuan utamanya adalah memperjuangan kepentingan Islam
tradisional, terutama sistem kehidupan pesantren dari arus modernisme gerakan
Islam tertentu yang sering kali menggerus nilai- nilai kultural yang dimiliki oleh masyarakat pesantren.
NU yang pada mulanya berkedudukan di Surabaya,
pada awalnya hanya memiliki jamaah dari Jawa dan Madura. Tapi seiring hadirnya
kyai pesantren besar seperti Kyai Hasyim
Asj’ari, Kyai Abdul Wahab Chasbullah, Kyai Asnawi dan lain-lain, maka tidak
sulit dukungan dari sebagian besar pesantren
lainnya. Cabang-cabang NU yang
dibentuk di daerah–daerah umumnya dirintis oleh kyai pesantern, guru atau saudagar
yang pernah memperoleh pendidikan pesantren. Dengan latar belakang inilah maka pengembangan NU sejak
tahun-tahun pertamanya mendapatkan sambutan yang luas. Muktamar NU yang kedua
tahun 1927 dihadiri oleh 146 kyai dari
36 cabang NU, sisanya 238 guru, pedagang dan utusan perhimpunan lokal.
Selanjutnya muktamar keempat 1929 di
Semarang di hadiri oleh 62 cabang dengan jumlah yang hadir mencapai 145
orang, dengan 500 diantaranya kyai pesantren. Selanjutnya dalam muktamar ke-13
pada tahun 1938 cabang NU yang hadir sebanyak 99 dan majelis konsul sebanyak 9
konsul (Haidar, 1998: 85)
.
Kontribusi NU
dalam Bidang Politik: Perspektif Percaturan Politik NU
Keberadaan NU memang sangat potensial sebagai
”lahan” politik, dimana para tokohnya
memiliki ambisi-ambisi politik untuk bermain di tingkat negara sering
menjadikannya sebagai ruang manuver untuk mencapai kepentingan-kepentingan
politiknya. Sementara bagi luar pihak, NU dipandang sebagai kekuatan politik
yang besar. Soalnya NU memiliki basis massa yang cukup kuat bahkan solid di
bawah kepemimpinan formal para kyai, tapi juga memiliki pengalaman politik yang
cukup panjang, sehingga mampu melakukan manuver-manuver politik tingkat tinggi.
Dengan demikian, mengabaikan kekuatan NU dalam percaturan politik di negeri
ini, bisa merupakan satu persoalan besar, apalagi NU sangat berjasa dalam dalam membela negara ini. Oleh karena itu, berikut ini akan di bahas tentang kontribusi NU dalam bidang politik dalam panggung negara.
- Masa
Perjuangan Kerdekaan (1926-1945)
Pada masa kolonialisme, aksi-aksi jihad untuk merebut kemerdekaan banyak dilakukan
oleh kelompok Islam. Sebagaimana ditemukan
oleh Stephen Frederic Dale (1988) dalam studinya di India, Indonesia dan
Philipina menyebutkan bahwa pada masa kolonialisme terdapat semangat keagamaan
untuk melakukan perlawanan terhadap orang-orang
Barat dan Kristen di wilayah itu (Asfar, ed. 2003: 58). Tidak terkecuali
NU pun melakukan itu. Dalam masa Kemerdekaan ini memang NU mengambil sikap
kooperatif terbatas. Sebagaimana dapat dilihat pada langkah-langkah perjuangan
NU pada saat merebut kemerdekaan. Pertama,
Dalam masa kolonial NU berusaha membendung gerakan ideologi Kristen sebagai misi terselubung
penjajah. Hal itu dilakukan dengan
menetapkan desa sebagai basis geografis sebagai fokus pembinaan dan
pengembangan Islam sebagaimana faham yang dianutnya. Disamping itu juga berusaha
membina hubungan dengan kaum modernis Islam sebagaimana dilakukan oleh KH.
Hasyim Ashari dengan mengajak kalangan pembaharu untuk meninggalkan fanatisme
dan selanjutnya membangun solidaritas
untuk persatuan umat Islam, dimana pada suatu saat disahuti oleh tokoh dari
kalangan Islam Modernis seperti KH. Mas
Mansyur dari Muhammadiyah.
(Laode Ida, 1996: 13).
Kedua, NU
berperan untuk ”mengharamkan” segala bentuk peniruan terhadap cara-cara berpakaian dan
berbahasa Belanda. Pengertian haram disini,
bukan dilihat dari segi kacamata
hukum dan dien (ajaran) akan tetapi
dari segi siasat, lebih bersifat politis. Hal itu dimaksudkan sebagai basis
pertahanan terakhir kaum muslimin terhadap bahaya serangan dan kepungan kaum
penjajah, atau merupakan basis penumbuhan nasionalisme di kalangan santri, yang
secara tidak langsung membangun semangat kaum santri untuk melakukan perlawanan
terhadap Belanda (Laode Ida, 1996: 14)
Ketiga, Mengusulkan kepada pemerintah Belanda agar
memasukan mata pelajaran agama Islam dalam kurikulum sekolah-sekolah umum. Hal
itu dilakukan karena NU menyadari bahwa murid sekolah umum kebanyakan beragama
Islam. Bila hal itu diabaikan akan terjadi pendangkalan terhadap ajaran-ajaran
Islam, yang merupakan kemenangan startegi Belanda terhadap Islam di Indonesia
(Laode Ida, 1996: 14).
Keempat, membentuk barisan HIZBULLAH dan SABILILLAH untuk melatih pemuda-pemuda Islam dalam
peperangan (Laode Ida, 1996: 16).
Kelima, Diangkatnya KH. Abdul Wahid Hasyim sebgai
ketua MIAI ( Majelis Islam Ala Indonesia), pada awal terbentuknya badan
federasi-organisasi-Organisasi Islam se Indonesia pada tahun 1937 (Laode Ida,
1996: 11-12). Hal ini merupakan sumbangsih NU dalam menempatkan kader
terbaiknya untuk turut serta membangun
persatuan umat guna merebut kemerdekaan Indonesia.
Keenam,
kontribusi NU dalam masa Kemerdekaan yang sangat fenomenal adalah dikeluarkannya Resolusi Jihad pada tanggal
22 Oktober oleh NU di Surabaya. Resolusi Jihad itu membawa dampak besar pada perjuangan umat Islam
terutama di Jawa Timur. Dimana pada 10 Nopember, dua minggu setelah
kedatangan pasukan Inggris di Surabaya, sebuah pemberontakan massal pecah
dimana banyak pengikut NU yang terlibat aktif. Bung Tomo yang menggerakan massa ke dalam perjuangan
ini melalui radiogramnya (mungkin tidak pernah menjadi santri), tetapi diketahui
meminta nasehat kepada K.H. Hasyim Asy’ari. Dengan resolusi jihad ini, NU
menampakan dirinya sebagai organisasi radikal .
Sesungguhnya keluarnya Resolusi jihad ini
mengindikasikan konsistensi NU terhadap keputusan politik terdahulu, yakni
tentang keberadaan negara Indonesia Indonesia sebagai dar al Islam yang wajib di bela. Dengan demikian
kewajiban untuk melawan penjajah adalah bagian dari upaya
mempertahankan negara Indonesia yang
note bene negara Islam dari ancaman penjajah belanda yang dianggap sebagai musuh dan ’kafir’
(Ridwan, 2004:211-212).
- Masa Kemerdekaan
dan Orde Lama (1945-1965)
Setelah Proklamasi kemerdekaan Indonesia 17
Agustus 1945. Banyak terjadi
pergolakan politik yang menyeret NU dalam arus politik negera. Tapi dibagian ini kami hanya akan membahas kiprah NU dalam episode cemerlang dimana kiprah
politik NU sangat signifikan.
- Posisi
Tiga Besar NU dalam PEMILU 1955
Setelah masa kemerdekaan Indonesia telah mmasuki
babak baru dengan berdirinya banyak partai. Masa ini dikenal
dengan era parlementer. Kiprah NU dalam pemilu dimulia setelah NU keluar dari
Masyumi dan menyatakan dirinya sebagai partai politik baru yang berdiri tahun
1852, tiga tahun kemudian NU harus bertarusng dengan partai lain dalamm pemilu
1955 (Haidar, 1998:169). Pemilu 1955
merupakan pemilu yang pertama dilakukan di Indonesia. Jika partai lain
khususnya partai besar mempunyai cukup waktu dan kesempatan mengapreasikan
politik dan pengaruh kepada rakyat, maka NU hanya mempunyai waktu sekitar tiga
tahun saja. Meski dalam waktu sepenedek itu NU berhasil mencapai prestasi
gemilang dalam pemiulihan itu. Keberhasilan itu mencengangkan banyak pihak,
termasuk pihak NU sendiri. Mengenai
posisi NU dalam pemilu 1955
terlihat pada tabel 2 berikut ini:
Tabel 2: Tiga Besar Hasil Pemilu 1955
Partai
|
Jumlah Suara
|
Persentase
|
Jumlah Kursi
|
PNI
|
8.434.653
|
22,3
|
57
|
Masyumi
|
7.903.886
|
20,9
|
57
|
NU
|
6.955.141
|
18,4
|
45
|
Sumber: Leo Suryadinata, 1995. Apendik 1. hal.
164.
Dari tabel 2 terlihat bahw NU masuk kedalam jajaran partai elit dalam pemilu 1955 dengan memperoleh 45 kursi
di parlemen. Ini meruapakan sejarah luar biasa dari sebuah partai yang hanya
mempunyai waktu persiapan yang sangat
mepet tapi memperoleh hasil luar biasa. Menurut Alfian (dalam Haidar, 1998: 169-170) keberhasilan ini karena kemampuan NU menggalang solidaritas
dilingkungan kaum santri dan berarti memperjelas perjuangan mereka untuk
memenangkan ideologi Islam dan sekaligus menunjukan sikap anti komunis. Dari segi ini nampaknya tiga pilar utama
penyangga kekuatan NU yaitu ulama, pesantren dan politisi memegang peran
penting keberhasilan NU dalam pemilihan umum itu.
- Berperan
dalam Pemberantasan G 30 S 1965
Sejak meletusnya pemeberontakan PKI tanggal 30
september 1965 (G 30 S/PKI), tokoh-tokoh
muda NU lebih cepat mengambil sikap konfrontatif, dan semakin menghilangkan kepercayaan
mereka terhadap kepemimpinan Soekarno. Organisasi pemuda NU, Ansor, tampak
menjadi tumpuan kekuatan perlawanan terhadap PKI yang sejakl tahun 1962 mendirikan BANSER (
Barisan Ansor Serba Guna). Dari pihak
NU, pemuda Ansor-lah yang pertama kali (tanggal 1 Oktober 1965) memberi kecaman
keras terhadap G 30 S/PKI, serta menolak dan menentang pembentukan dewan
revolusi. Juga Ansor sekaligus mengeluarkan pernyataan, atas nama PB NU,
terhadap klaim PKI yang memasukan tokoh NU dalam daftar dewan revolusi.
Sikap
pemuda Ansor ( termasuk organisasi-organisasi Pemuda NU lainnya, seperti
PMII, IPNU, IPPNU dan Fatayat) tidak hanya terekspresikan berupa pernyataan,
tetapi juga dalam tindakan nyata menghadapi dan berupaya memberantas sisa
pemberontakan komunis, yang juga berakibat gugurnya 40 orang warga NU/Ansor di
Banyuwangi pada 6 Oktober 1965 karena tersergap oleh pemberontak PKI. Kejadian
itu sangat memukul NU/ Ansor, sehingga mendekatkan mereka dengan ABRI, yang
ditandai dengan adanya izin dari Pimpinan Korem
dan Kodim se-Jawa Timur untuk melakukan pembersihan massa PKI di Jawa Timur dan Bali. Peristiwa
ini memberi petunjuk bahwa NU melalui Pemuda Ansornya mempu mempengaruhi
kebijakan politik, karena kesamaan
visinya dengan ABRI terhadap gerakan PKI pasca G 30 S/ PKI.
Sikap NU sendiri secara tegas dinyatakan dalam
bentuk resolusi kepada pemenrintah, yang meminta agar pemerintah segera
membubarkan PKI, ormas-ormasnya, termasuk koran dan majalah yang diterbitkan oleh PKI. Usulan ini
memperoleh dukungan dari banyaknya unsur terutama pendukung Fraont
Pancasila (Laode Ida, 1996: 27-29)
C. Masa
Orde Baru ( 1966-1997)
Kontribusi NU pada
masa pemerintahan Orde Baru mengalami pasang surut. Tapi dibagian ini akan coba kami ulas bagian
penting dari peran NU dalam bingkai perpolitikan Orde Baru.
.1. Peran Serta
dalam Pemilu 1971
Pemilu 1971
adalah pemilu terakhir yang
diikuti NU, dalam artian pemilu yang
mengatasnamakan NU sebagai sebuah partai Politik. Karena setelah itu,
partai-partai Islam berfusi dalam bentuk satu Partai yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Hasil pemilu 1971 memperlihatkan posisi NU yang relatif sama dengan
pemilu 1955. Dimana Partai NU memperoleh suara sebesar 54.696.887
atau sebesar 18, 5 % dengan
jumlah kursi sebesar 58 kursi. Ini berarti
perolehan suara NU lebih tinggi
perolehannya dibanding tahun 1955.
Perolehan suara NU pada pemilu 1977 sendiri adalah suatu fenomena dimana
partai Islam yang lain yang suaranya tidak turun, dan bahkan naik diantara
perolehan partai Islam yang lain. Misalnya, partai Parmusi yang merupakan
reprensentasi dari Masyumi hanya
memproleh 6, 3 % jauh dibawah angka perolehan suara Masyumi tahun 1955 yang
mencapai 20,9 persen (Haidar, 1998:179). Hal ini menunjukan bahwa NU dapat
beradaptasi dengan segala medan perjuangan dengan politik akomodatifnya,
sehingga dikala partai Islam yang telah dibonsai oleh awal pemerintah Orde
Baru sehingga suaranya tidak signifikan
lagi, NU masih tetap bisa bertahan.
- NU
sebagai Penyokong Suara PPP
Pasca pemilu 1971 ada rencana kebijakan dari
pemerintah Orba waktu itu, untuk menyederhanakan sistem kepartaian. Karena
adanya intimidasi dari pemerintah lewat Jenderal Soemitro selaku Pangkopkamtib kepada partai politik yang ada. Maka setelah melalui perundingan yang intensif akhirnya empat partai Islam, NU, Parmusi,
PSII dan Perti mencapai sepakat untuk
melakukan fusi dalam suatu deklarasi
tenggal 5 Januari 1973. Deklarasi fusi
itu ditandatangani lima orang. K.H. Dr.
Idham Chalid (NU), H. M. S Mantaredja,
SH. (Parmusi), H. Anwar
Tjokroaminoto (PSII), Rusli Jalil (Perti), dan K. H. Masyur dari NU (Haidar,
1998). Dalam keadaan itu memang sebenarnya NU sebagai penyokong real perolehan suara sangat nampak. Hal itu bisa dilihat pada perolehan beberapa
Pemilu pasca Konsensus Nasional tahun 1975
Tabel 3: Perolehan Suara PPP sebelum NU
Keluar
Tahun
|
Persentase Suara (%)
|
Perolehan Kursi
|
1977
|
29,3
|
99
|
1982
|
27,8
|
94
|
Sumber: Haidar, 1998: 176
Indikator
bahwa sumbangan suara NU sangat
signifikan terhadap PPP dapat dilihat
ketika pemilu 1987, dimana
NU keluar dari PPP dengan adanya langkah
NU untuk kembali ke Kitthah 1926 yang digulirkan oleh angatan muda NU waktu itu
seperti Abdurahman Wahid serta Slamet Efendy Yusup serta beberapa ulama sepuh. Sehingga ada wacana waktu itu bahwa gerakan
ini akan ”menggembosi” perolehan suara
PPP. Kemudian fakta yang terjadi pada pemilu 1987 misalnya nampak penurunan suara PPP yaitu hanya memproleh 16 % suara pemilih,
kemudian pada pemilu 1992 juga hanya memperoleh 17 persen saja, sedangkan pada
pemilu 1997 sedkit naik menjadi 22, 58 persen (Memorandum,Lapsus, Edisi Mei
1998. hal. 3). Semuanya di bawah
perolehan suara pemilu 1982 dan 1987 ketika NU masih bergabung.
- Masa
Reformasi (1998- Sekarang)
Lengser-nya Soeharto pada 21 Mei 1998 silam ternyata melahirkan berbagai fenomena politik
menarik. Salah satunya adalah munculnya banyak partai sebagai euforia politik dengan menjamurnya partai
politik baru. Diantaranya NU yang tidak mau
ketinggalan dengan mendirikan paartai. Berikut beberapa kontribusi NU
yang kami anggap penting dalam
dalam percaturan politik Indonesia
selama masa reformasi.
1. Mendirikan Partai
Politik & Berpartisipasi dalam
Pemilu 1999
Pada
23 Juli 1998 telah dinyatakan berdirinya berdirinya Partai Kebangkitan
Bangsa ( PKB) dengan ketua umum Matori Abdul Jalil. PKB didirikan oleh beberapa
tokoh PBNU, diantaranya Gus Durdan K.
Ilyas Ruhyat. Kemudian tidak berapa lama
partai muncul partai NU yang didirikan oleh Abu Hasan, tokoh saingan Gus Dur
dalam muktamar Cipasung. Partai tersebut bernama Solidaritas Uni
Nasional Indonesia disingkat SUNI. Selanjutnya pada 16 Agustus 1998 dikeluarkan
maklumat tentang berdirinya partai
ketiga dikalangan NU, yaitu Partai Nahdlatul Ummah yang didirikan oleh aktifis Ifttihadul Muballighin, sebuah
organisasi dakwah yang didirikan oleh K. H. A Saichu tahun 1979. Ketua Umum PNU adalah Ketua Umum
P.P. Ifttihadul Muballighin, yaitu K. H.
Syukron Ma’mun (Hasan et. al. 1998:217). Tetapi pada pemilu 1999 hanya PKB
yang mampu bertahan sebagaimana terlihat pada tabel 4 berikut ini:
Tabel 4: Hasil Pemilu 1999 untuk Lima
Besar Partai Peserta Pemilu
Nama Partai
|
Jumlah Suara
|
Jumlah Kursi
|
PDI-P
|
35.689.073
|
154
|
Golkar
|
23.741.749
|
120
|
PPP
|
13.336.982
|
58
|
PKB
|
11.329.905
|
51
|
PAN
|
7.528.956.
|
34
|
Sumber: Kompas, 11 Februari 2001. hal. 27
2. Gus
Dur Sebagai Presiden RI
Pada Pemilu
1999, PDI-P pimpinan Megawati keluar sebagai pemenang pemilu (lihat Tabel 4).
Tetapi dalam Sidang Umum MPR Oktober 1999 hasil pemilu 1999, justru bukan Mega
yang menempati posisi tertinggi pemerintahan Indonesia, melainkan Abdurahman
Wahid (Gus Dur) dan Megawati harus puas
sebagai Wakil Presiden. Gus Dur
merupakan jago dari Poros
Tengah diakibatkan meruncingnya konflik antara kubu Habibie dan
Megawati dalam SU MPR tahun 1999. Gus Dur yang merupakan ketua PBNU dan
deklarator PKB terpilih sebagai Presiden lebih karena “Kecelakaan Politik,”
untuk menghindari konflik antara pendukung Habibie dan Megawati (Soetrisno
Enpe, 2003).
Gus Dur tatkala menjadi presiden, berupaya
membangun pemerintahan yang dipimpinnya berbeda dengan sebelumnya. Ia Menampung
berbagai kekuatan politik riel, serta tidak hanya memasukan orang-orang dekatnya
( NU, atau PKB), dan Poros Tengah, melainkan juga orang-orang dari PDI-P serta TNI dalam kabinetnya. Alasannya
secara de facto PDI-P merupakan
pemenang pemilu dan wakil presiden merupakan pucuk pimpinan partai. Sedangkan TNI secara riel masih dipandang
memiliki pengaruh besar dalam masyarakat.
Selain itu,
Gus Dur juga melakukan dekonstruksi lembaga Kepresidenan karena di masa
lalu pada era ORLA dan ORBA posisi lembaga Kepresidenan sangat kuat karena central
of power. Langkah yang diambil adalah dengan merombak lembaga sekretariat negara dengan pemberian posisi yang tidak lagi
dominan. Pos Sekretariat Negara kemudian dibagi
ke dalam beberapa bagian seperti sekretaris negara, sekretaris kabinet,
sekretaris presiden, sekretaris militer presiden, dan sekretaris pengendalian pemerintahan. Yang terakhir ini belakangan dibiarkan kosong
setelah ditinggalkan Bondan Gunawan .
Upaya dekontruksi lembaga kepresidenan juga
diperlihatkan pada upaya Gus Dur untuk lebih dekat dengan rakyat. Presiden
berupaya melembagakan dialog setelah shalat Jum’at di sejumlah masjid, terutama
di masjid Baiturahman di lingkungan istana negara serta di masjid Al Munawaroh
di kediaman Gus Dur (Soetrisno Enpe, 2003).
Tapi Presiden
Abdurahman Wahid memegang kekuasaan hanya kurang lebih 21 bulan, lalu
kekuasaan kembali ke tangan
Megawati sejak juli 2001 (Maliki,
2004: 60)
3. Ikut di Pemilu dan
Pilpres 2004
Partai
PKB yang merupakan perwakilan partai
dari NU yangt lolos untuk mengikuti
pemilu 2004 karena lolos ET. Oleh karena pemilu 2004 merupakan kelanjutan partisipasi politik NU pada masa reformasi. Untuk hasil pemilu 2004 PKB
memperoleh suara sebanyak
11.989.564 atau sebanyak 10,57 % dengan
perolehan kursi sebanyak 52 kursi (http://id.wikipedia.org/wiki/Pemilu_2004).
Sedangkan peran NU ke dalam politik lebih apabila kita melihat pada
Pemilihan Presiden (Pilpres) 2004 baik pada putaran pertama maupun dua. Seperti terlihat pada tabel berikut:
Tabel 5: Hasil Perolehan suara
Pilpres 2004 Putaran Pertama
Nomor Urut
|
Nama Pasangan Calon Presiden
dan Calon Wakil Presiden |
Jumlah Suara
|
Persentase
|
1.
|
H. Wiranto, SH.
Ir. H. Salahuddin Wahid |
26.286.788
|
22,15%
|
2.
|
Hj. Megawati Soekarnoputri
KH. Ahmad Hasyim Muzadi |
31.569.104
|
26,61%
|
3.
|
Prof. Dr. HM. Amien Rais
Dr. Ir. H. Siswono Yudohusodo |
17.392.931
|
14,66%
|
4.
|
H. Susilo Bambang Yudhoyono
Drs. H. Muhammad Jusuf Kalla |
39.838.184
|
33,57%
|
5.
|
Dr. H. Hamzah
Haz
H. Agum Gumelar, M.Sc. |
3.569.861
|
3,01%
|
Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Pemilu_2004).
Hasil Pemilu presiden putaran pertama telah selesai dihitung dan
telah diumumkan oleh KPU pada tanggal 26 Juli 2004, terlihat bahwa kader NU banyak ikut berperan seperti Ir. H. Salahuddin Wahid, KH. Ahmad Hasyim
Muzadi, serta Dr. H. Hamzah Haz.
Direkrutnya tiga kader terbaik NU dalam Pilpres putaran pertama
tersebut membuktikan bahwa NU sebagai
kekuatan yang patut diperhitungkan dalam kancah perpolikan nasional.
Sesuai hasil Pemilu presiden putaran pertama di atas, yaitu belum
ada pasangan calon yang memperoleh suara lebih dari 50 persen, maka diadakanlah
Pemilu presiden putaran kedua 2004. Pasangan-pasangan calon yang mengikuti
Pemilu presiden putaran kedua 2004 ini adalah dua pasangan calon dengan yang
memperoleh suara terbanyak pada pada Pemilu presiden putaran pertama 2004 yang
lalu. Ada dua pasangan calon presiden dan wakil presiden (yang memperoleh suara
terbanyak pada Pemilu presiden putaran pertama) yang dicalonkan di Pemilu
presiden putaran kedua 2004, yaitu:Hj. Megawati Soekarnoputri dan KH. Ahmad Hasyim Muzadi
(dicalonkan oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan), H. Susilo Bambang Yudhoyono dan Drs. H. Muhammad Jusuf Kalla
(dicalonkan oleh Partai Demokrat, Partai Bulan Bintang, dan Partai Keadilan dan
Persatuan Indonesia). Mengenai Pilpres Putaran Kedua didapatkan hasil sebagai berikut:
Tabel 6: Hasil
perolehan suara Pada Pilpres 2004 Putaran Kedua.
Nomor Urut
|
Nama Pasangan Calon Presiden
dan Calon Wakil Presiden |
Jumlah Suara
|
Persentase
|
2.
|
Hj. Megawati Soekarnoputri
KH. Ahmad Hasyim Muzadi |
44.990.704
|
39,38%
|
4.
|
H. Susilo Bambang Yudhoyono
Drs. H. Muhammad Jusuf Kalla |
69.266.350
|
60,62%
|
Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Pemilu_2004).
Dari tabel 6
terlihat bahwa kader NU dalam hal
KH. Ahmad Hasyim Muzadi Sebagai ketua
PBNU yang merupakan pasangan Megawati menelan kekalahan. Tapi ini pada hemat
kami merupakan pembelajaran politik bagi warga NU dan NU sendiri dalam sekup Nasional. Walaupun
kalah, paling tidak menunjukan bahwa kader NU sebenarnya layak untuk bertarung
untuk memperebutkan posisi pimpinan di Republik ini.
- Kader
NU dalam Pilkada di Jawa Timur
Memasuki era otonomi daerah sekarang ini banyak
dilakukan pemilihan kepala daerah langsung
(Pilkadal) baik tingkat provinsi ataupun kota/kab. Karena basis massa NU di Jawa Timur, maka
kader Nadlatul Ulama (NU) banyak menjadi incaran banyak partai politik dalam
mendulang suara di Pilkada. Hal itu wajar karena Jawa Timur adalah basis dari warga Nadhiyin yang
merupakan lumbung suara yang sangat terbesar. Akibatnya, tidak heran jika
banyak kader NU yang menjadi calon kepala daerah maupun wakil kepala daerah
yang diusung oleh partai politik yang berbeda.
Di pilkada Kabupaten Nganjuk, misalnya, Rais
Syuriah PCNU Nganjuk Abdul Qadir menjadi calon wakil bupati dari Koalisi Partai
Demokrat , Partai Patriot Pancasila, PKPB, dan PKS. Semnetara itu Abdul Wachid
yang notabene ketua Tanfidziah PCNU Nganjuk juga maju menjadi calon wakil
bupati yang diusung oleh PDI-P. Di bursa calon pemilihan Gubernur (Pilgub) juga
muncul nama ketua PWNU Jatim Ali Maschan Moesa menjadi calon wakil gubernur
dari partai Golkar, sementara itu Saifullah Yusuf, ketua umum GP Ansor, juga
maju menjadi calon wakil gubernur dari koalisi PAN dan Partai Demokrat.
Demikian juga Achamdy (bupati Mojokerto) juga masih ada ”darah biru” dari keluarga NU. Untuk kiprah NU
dalam Pilkada di Jatim seperti terlihat pada tabel 7 berikut ini:
Tabel 7: Beberapa Kader NU Yang Menang di Pilkada di Jatim
Nama
|
Status di NU
|
Hasil Pilkada
|
Yusuf Nuris
|
Sekretaris PCNU Banyuwangi
|
Wakil Bupati Banyuwangi
|
Arif Fuadi
|
Pengurus PCNU Blitar
|
Wakil Bupati Blitar
|
Aminurokhman
|
Pengurus PCNU Kota Pasruan
|
Walikota Pasuruan
|
Mahsun Ismail
|
Sekretaris PCNU
Trenggalek
|
Wakil Bupati Trenggalek
|
Tsalits Fahami
|
Ketua PCNU Lamongan
|
Wakil Bupati Lamongan
|
0Abdul Wachid
|
Ketua
Tanfidziah NU Nganjuk
|
Wakil Bupati Nganjuk
|
M. Athiyah
|
Aktifis GP
Ansor Tulungagung
|
Wakil Bupati TulungAgung
|
Sumber: Kompas, 13 Maret 2008
Jadi kader
NU banyak diperebutkan karena memegang posisi kunci dalam pemenangan Pilkada dan Pilgub terutama
di Jatim yang meruapakn basis terbesar. Meminjam bahasa Aribowo apapun minumannya ”teh botol
Sosro” untuk menggambarkan pergerakan NU sebagai
objek kontestasi politik kekuasaan. Siapa pun calon gubernurnya, calon wakil
gubernurnya berasal dari NU," kata Aribowo (Jawa
Pos 9 Feb 2008).
Simpulan
Dari uraian
diatas memperlihatkan betapa
menonjolnya peran NU dalam perpolitikan
negara. Dari masa perjuangan sampai masa sekarang (reformasi). Hal itu
membuktikan bahwa NU adalah kekuatan
yang sangat berpengaruh dipentas politik Indonesia. Dimana dalam segala
perubahan situasi tetap mampu bertahan dan bahkan mewarnai jalan peta politik
lokal mapun nasional. Sebagaimana dikatakan oleh Bruinesen pada awalnya NU melalui politik formal, lalu menempuh jalur
kultural dengan menyatakan kembali ke khittah 1926. Sejak itu, NU menjelma
menjadi Jam’iyah atau organisasi keagamaan, dengan tetap peduli terhadap
kehidupan politik (Maliki, 2004: 57). Selanjutnya setelah reformasi kembali ke jalur politik dengan mendirikan
PKB dan lainnya sambil tetap memakai strategi kultural.
Melihat potensi yang demkian besar maka NU merupakan kekuatan
yang masih diperhitungkan. Apalagi nampaknya di tubuh NU sudah terjadi
regenerasi dengan menculnya generasi
emas NU sebagaimana pernah diungkapkan almarhum Nurcholis Majid, seorang
cendekiawan muslim yang mengatakan bahwa pada 20 tahun mendatang
akan terjadi bahasan sejarah baru di tubuh NU, di mana basis massanya akan diperkuat
kalangan terpelajar. Pada saat itulah akan terjadi keseimbangan baru umat
Islam, di mana anak-anak Masyumi akan berdampingan dengan massa NU yang
sama-sama berbasis kaum terpelajar (Suara Merdeka, 21 Juni 2004)”
Saran
Melihat kenyataan itu, maka kami menyarankan NU perlu membuat langkah-langkah berikut agar
kontribusi NU dalam bidang politik di pentas perpolitikan lebih maksimal:
Pertama, NU sebaiknya
mendorong kader muda yang potensial untuk lebih berperan di pentas
politik nasional.
Kedua, menjadikan NU sebagai kendaraan politik warga NU
bukan hanya sebagai ban serep atau atau hanya sebegai ”kernet” tapi bisamenjadi
”sopir” dalam pemilihan Pilkada atau
Cagub di daerah basis NU.
Ketiga, melakukan pendidikan politik yang rasional kepada
massa NU sehingga menghilangkan
ketergantungan massa NU terhadap Kyai (santri-kyai)
Terakhir, menjadikan NU sebagai rumahnya warga NU dengan menarik
kader yang selama ini berkiprah di luar. Bravo NU
Daftar Pustaka
Andree Feillard. NU Vis-a-Vis Negara.
Jogjakarta. LKiS. 1999
Abdul Munir Mulkhan. Problem Teologi Politik NU
dan Gerakan Islam. Kata pengantar dalam Buku Ridwan.Paradigma Politik NU:
Relasi Sunni-NU dalam Pemikiran Politik. Purwokerto: STAIN Purwokerto Press.
2004
Leo Suryadinata.Golkar dan Militer: Studi
tentang Budaya Politik.Jakarta: LP3ES. 1995.
Laode Ida. Anatomi Konflik NU, Elit Islam dan
Negara. Jakarta: Sinar Harapan. 1996
Muhammad Asfar (Ed).Islam Lunak Islam Radikal.
Surabaya. JP Press. 2003
M. Ali Haidar. Nahdatul Ulama dan Islam di
Indonesia: Pendekatan Fikih dalam Politik. Jakarta: Gramedia. 1998.
Greg Fealy
dan Greg Barton. Tradisionalisme Radikal, Persinggungan Nadhatul Ulama-
Negara. Jogjakarta.LkiS. 1997
Ridwan.Paradigma Politik NU: Relasi Sunni-NU
dalam Pemikiran Politik. Purwokerto: STAIN
Purwokerto Press. 2004
Sahar L. Hasan, et.al. Memilih Partai Islam. Jakarta. Gema Insani Press. 1998.
Sutrisno Enpe. Gus Dur dan Politik. Dimuat
dalam Jurnal Masyarakat dan Kebudayan dan
Politik. Tahun XVI. Nomor 1, Januari 2003.
Surabaya. Fisip Unair
Zainuddin Maliki. Penaklukan Negara Atas Rakyat..
Yogyakarta. UGM Pres. 1999
Zainuddin Maliki. Agama Priyayi: Makna Agama di
tangan Elit Penguasa.. Yogyakarta. Pustaka Marwa. 2004
Zamakhsyari Dhofier. Tradisi Pesantren: Studi
Pandangan Hidup Kyai. Jakarta: LP3ES. 1985
* Diajukan sebagai Karya Tulis Ilmiah dalam Lomba Karya Tulis Ilmiah PWNU
Jawa Timur dengan Tema Kontribusi NU
Membangun Peradaban KeIndonesiaan pada tahun 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar