Model Pemberdayaan Masyarakat Miskin: Perspektif Jawa Timur*
Oleh: Untung Dwiharjo, S. Sos.
Pendahuluan
Dibalik keberhasilan pembangunan yang sudah berhasil dicapai, salah
satu masalah yang serius dihadapi
oleh Provinsi Jawa Timur adalah kemiskinan dan perkembangan jumlah
penduduk miskin yang tak kunjung surut. Alih-alih jumlah penduduk miskin dapat
terkurangi, dalam dua-tiga tahun terakhir, di Provinsi Jawa Timur justru ditengarai terjadi perluasan dan
pendalaman kemiskinan. Perluasan kemiskinan ditandai dari kecenderungan dimana
jumlah orang miskin makin bertambah
banyak, sektor dimana terjadi kemiskinan semakin banyak dan luas, dan wilayah
teritorial yang terambah kemiskinan juga semakin meluas.
Sementara itu,
pendalam kemiskinan yang terjadi dapat dilihat dari tanda-tanda
fisikal-material, seperti yang diungkap oleh indikator kesehatan (Indeks berat
Badan, prevalensi Ibu kekurangan Gizi, anemia anak-anak dan ibu, pravelansi rabun malam, indeks
kemiskinan manusia dan sebaginya), indikator ekonomi (seperti peningkatan
jumlah orang yang berada di bawah garis kemiskinan, peningkatan jumlah
penganguran, peningkatan jumlah buruh yang menerima upah di bawah mimnimum
provinsi dan sebagianya), indikator perampasan daya (terdiri dari 7 indikator
utama, yaitu indeks kemiskinan manusia , penduduk yang meninggal dibawah 40 tahun, tingkat buta huruf orang dewasa, orangb tanpa akses air bersih,
orang tanpa akses ke jasa pelayanan kesehatan dan balita kurang gizi), serta yang
paling parah adalah meluasnya internalisasi budaya kemiskinan.
Pengalaman selama
lima tahun terakhir telah banyak mengajarkan bahwa memberantas kemiskinan dan memberdayakan
masyarakat miskin yang sudah terlanjur meluas harus diakui jauh labih mudah
diucapkan daripada dilakukan dan dibuktikan dilapangan. Kemiskinan sesungguhnya
adalah masalah sosial yang jauh lebih kompleks
dari sekedar persoalan kekurangan
pendapatan atau dari sekedar persoalan
kekurangan pendapatan atau tidak
dimilikinya asset produksi untuk melangsungkan kehidupan. Kemiskinan-atau lebih
tepat disebut prangkap kemiskinan (deprivation trap) –menurut Chambers
(1983) selain berkaitan dengan ketidakmampuan sebuah keluarga untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, juga
menyangkut kerentanan, ketidakpercayaan, keterisolasiaan, dan kelemahan
jasmani.
Setelah pemerintah
memutuskan kenaikan harga BBM, ada kecenderungan masalah kemiskinan makin sulit
ditangani karena seringkali diperparah oleh adanya kesenjangan sosial yang
terlampau lebar, dan bahkan dalam sejumlah kasus diperparah dengan adanya “efek domino” dari kenaikan
harga-harga kebutuhan pokok sehari-hari masyarakat.
Sejumlah studi
menemukan, bahwa kelemahan dari berbagai program penanggulangan kemiskinan yang
dicanangkan adalah bermula dari kebijakan pembangunan yang berorientasi pada
pertumbuhan ekonomi makro, cenderung sentralistik atau terpusat, sehingga tidak peka pada kebutuhan lokal. Disisi lain,
berbagai program penanggulangan kemiskinan yang dikucurkan acapkali bersifat
karikatif, dan memposisikan masyarakat sebagai obyek. Dengan memandang kemiskinan
hanya hanya dari aspek ekonomi saja, maka yang terjadi kemudian permasalahan
kemiskinan di berbagai kemunitas seringkali dianggap serba sama (uniform)
dan diyakini akan dapat dipecahkan semata-mata hanya dengan mengandalkan
pemberian bantuan modal usaha (Suyanto
dan Karnaji, 2005).
Belum jelasnya siapa
kelompok sasaran yang seharusnya diprioritaskan, dan ditambah lagi dengan
orientasi program yang belum bersifat kontekstual, maka bisa dipahami jika
pelaksanaan berbagai program penanggulangan kemiskinan di Provinsi Jatim belum
memperlihatkan hasil yang signifikan-apalagi memperlihatkan daya ungkit yang
benar-benar nyata. Bahkan tidak jarang terjadi, pelaksanaan berbagai program
penanggulangan kemiskinan yang semula diharapkan dapat memberdayakan penduduk
miskin, ternyata dalam kenyataan justru melahirkan bentuk ketergantungan baru
dan berbagai bias yang menyebabkan pada akhirnya program yang dicanangkan
menjadi tidak efektif .
Di Provinsi Jawa Timur, menurut BPS (2001) jumlah
Rumah Tangga Miskin (RTM) tercatat sebanyak 2.196.363 KK, sementara itu jumlah
penduduk miskin sebanyak 7.267.843 jiwa. Jumlah Kabupaten/kota yang masuk
kategori merah dengan jumlah RTM 27,9-45 persen sebanyak 8 kabupaten , 123 kecamatan dan 1.801 desa/ kelurahan. Sejak
pemerintah mengumumkan kenaikan harga BBM tahun 2005, dapat dipastikan jumlah
RTM dan jumlah penduduk miskin akan bertambah cukup besar. Menurut catatan
Gubernur Jawa Timur, akibat kenaikan BBM jumlah keluarga msikin di Jawa Timur
naik dari 2,8 juta menjadi 4,3 juta KK atau naik 65 persen (Jawa Pos, 18
November 2005).
Dari hasil studi
yang dilakukan oleh LPPKM Unair (2005), secara garis besar dua faktor yang menjadi penyebab upaya
penangulangan kemiskinan menjadi kurang efektif. Pertama, Kemungkinan
terjadinya bias dalam pemilihan kelompok sasaran dan penyaluran program
penangulangan kemiskinan, sering terjadi karena tidak didukung data yang
memadai alias up to date dan lemahnya kontrol ditingkat pelaksanaan,
sehingga penyaluran dana penangggulangan kemiskinan dilapangan seringkali bias
dan tidak tepat sasaran. Kedua, Berbagai program program penanggulangan
kemiskinan dan dilaksanakan dan dikembangkan di Jatim meski digulirkan dengan
nama yang berbeda-beda tetapi substansinya umumnya sama, yakni program bantuan
penanggulangan kemiskinan yang bersifat darurat penyelamatan, karitatif dan
program bantuan yang cenderung berorientasi pada peningkatan hasil–hasil
produksi keluarga miskin secara linier
atau konsentrik.
Kedepan, agar
dengan segala keterbatasan yang dimiliki dapat diperoleh hasil yang maksimal,
maka selain dibutuhkan dukungan dana yang memadai, yang tak kalah pentingnya
adalah prioritas program penanggulangan kemiskinan yang benar-benar tepat dan
efektif. Seperti dikatakan Izzedin Bakhit (2001), saat ini yang dibutuhkan agar
program-program penanggulangan kemiskinan dapat memberikan hasil yang nyata,
tak pelak adalah bagaimana menggempur akar-akar kemiskinan hingga tuntas (attacking
the roots of poverty). Di Provinsi Jawa Timur sendiri, agar perkembangan
jumlah penduduk miskin bisa dikurangi dan upaya penanggulangan kemiskinan dapat
dipercepat, maka yang dibutuhkan ke depan adalah model atau upaya baru yang
terfokus pada proses pemberdayaan, revitalisasi sistem nilai setempat,
pengakuan pada potensi lokal, dan menejemen program yang benar-benar solid
(Karnaji & Sudarso, 2006). Oleh karena itu dalam tulisan ini mencoba untuk
menjawab pertanyaan: Bagimanakah model pemberdayaaan masyarakat miskin di Jawa
Timur yang ideal dan tepat sasaran ?
Perangkap Kemiskinan dan Pemberdayan Masyarakat Miskin
Banyak teori yang menjelaskan tentang penyebab
kemiskinan. Salah satunya yang relatif lengkap-dalam arti sesuai dengan
kenyataan dan secara konseprtual jelas adalah apa yang dikemukan oleh Robert
Chambers dalam bukunya yang berjudul Pembangunan
Desa Mulai dari Belakang (1983). Menurut
Robert Chambers inti dari masalah kemiskinan adalah sebenarnya terletak
pada apa yang disebut deprivation trap atau perangkap kemiskinan. Secara
rinci, deprivation trap terdiri dari lima unsur, yaitu:
(1 ) kemiskinan itu sendiri, (2) kelemahan fisik, (3) keterasingan
atau kadar isolasi, (4) kerentanan, dan (5) ketidakberdayaan. Kelima unsur ini
seringkali saling terkait satu dengan
yang lain sehingga merupakan perangkap kemiskinan yang berbahaya dan mematikan
peluang hidup orang atau keluarga miskin.
Dari kelima dimensi
diatas, kerentanan dan ketidakberdayaan perlu mendapat perhatian utama.
Kerentanan menurut Chambers dapat
dilihat dari ketidakmampuan keluarga miskin untuk menyediakan sesuatu guna
menghadapi situasi darurat seperti datangnya bencana alam, kegagalan panen,
atau penyakit yang tiba-tiba menimpa keluarga miskin itu. Kerentanan ini
seringkali ini seringkali menjadi menjadi “roda penggerak kemiskian” karena
menyebabkan keluarga miskin harus menjual hartanya yang tersisa sehingga
keluarga itu menjadi semakin msikin. Ketidakberdayaan membuat keluarga miskin
menjadi semakin miskin, karena lemahnya posisi tawar keluarga miskin jika
dihadapkan pada peraturan, kebijakan pemerintah atau orang-orang kaya yang
tidak bertanggung jawab. Untuk itulah diperlukan upaya pemberdayan kepada masyarakat miskin.
Pemberdayaan pada intinya adalah pemanusiaan. Pemberdayaan menurut Gunawan
Sumodiningrat (1987) sebagaimana dikutip Bagong Suyanto & Septi Ariadi (2003:32) dilihat dari
tiga sisi. Pertama, Pemberdayaan dengan menciptakan suasana atau iklim
yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang. Kedua, Pemberdayaan
untuk memperkuat potensi ekonomi atau daya yang dimiliki oleh masyarakat. Dalam
rangka memperkuat potensi ini, upaya yang amat pokok adalah peningkatan taraf
pendidikan, dan derajat kesehatan, serta akses terhadap sumber kemajuan ekonomi
seperti modal, teknologi, informasi, lapangan kerja dan pasar. Ketiga, Pemberdayaan
melalui pengembangan ekonomi rakyat, dengan cara melindungi dan mencegah terjadinya persaingan yang tidak
seimbang, serta menciptakan kebersamaan dan kemitraan antara yang sudah maju
dengan yang belum berkembang.
Statistik Kemiskinan Jawa Timur
Pemberdayaan masyarakat miskin Di Jawa Timur erat
kaitannya dengan jumlah masyarakat miskin yang ada. Untuk itulah perlu dikemukanan kondisi obyektif masyarakat miskin di Jawa Timur dengan
melihat angka statitik. Berdasarkan estimasi yang dilakukan oleh BPS,
jumlah penduduk miskin di Jawa Timur pada tahun 2003 tercatat sebesar 7.064.289
jiwa atau 19,52 persen dari total penduduk yang ada. Sedangkan pada tahun 2002
diperkirakan sebanyak 7.181.755 jiwa atau sekitar 20,34 % dari total penduduk
Jawa Timur. Sebelumnya pada tahun 2001, jumlah penduduk miskin tercatat
7.267.093 jiwa atau 20, 73 persen dari total penduduk (Karnaji & Soedarso,
2005: 50). Sedangkan angka terbaru pada
Mei 2006 berjumlah 7.4456 juta
jiwa atau 19.94 % dari total penduduk.
Kemudian berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional BPS Jumlah penduduk miskin Jatim Pada Maret
2007 tercatat 7,138 juta jiwa atau 18,93 persen dari total jumlah penduduk.
Jumlah tersebut secara kasat mata mengalami penurunan sebesar 318.000 orang dibandingkan
dengan jumlah penduduk miskin pada Mei
2006 yang lalu. Dengan batas garis kemiskinan sebesar Rp. 166.697 perkapita perbulan, mayoritas warga miskin
(4,57 juta atau 64,05 persen) berada di wilayah pedesaan dan sisanya
berdomisili diperkotaan (Kholid, dalam Kompas, 21/9/07). Namun demikian menurut
ketua Ikatan Sarjana Ekonomi Surabaya, Wilopo
menanggapi data angka kemiskinan yang dirilis BPS untuk wilayah Jatim patut dipertanyakan
karena ada beberapa hal yang kontradiktif. Diantaranya pertumbuhan ekonomi
Jatim pada tahun 2007 ini hanya 5,56 persen. Padahal pada tahun 2006,
pertumbuhan ekonomi mencapai 5,8 persen. Pertumbuhan ekonomi mengalami
penurunan, tetapi mengapa angka kemiskinan justru berkurang? Bagaimana mungkin
jumlah penduduk miskin berkurang apabila tidak ada pertumbuhan ekonomi atau
pertumbuhan ekonominya lebih rendah dibanding dengan tahun sebelumnya.
Dengan pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah, dengan menggunakan
logika linier, angka kemiskinan seharusnya mengalami kenaikan. Apabila Jatim
ditimpa masalah semburan Lapindo, yang memorakporandakan urat nadi perekonomian
Jatim. Oleh, karena itu, jumlah penduduk miskin versi Badan
Pusat Statistik (BPS) tersebut dinilai tidak valid. Realitasnya, tidak
menutup kemungkinan jumlah penduduk miskin di Jatim jauh lebih besar dari yang
dicatat oleh BPS. Minimal kenaikan jumlah penduduk miskin di Jatim setara
dengan penurunan pertumbuhan ekonomi dalam setahun terakhir. Pertumbuhan
ekonomi pada tahun 2007 ini sebesar 5,56 persen, lebih kecil dari tahun
2006 yang sebesar 5,8 persen. Berarti
ada penurunan sebesar 0,3 persen.
Dengan melihat pertumbuhan ini, minimal kenaikan jumlah penduduk
miskin di Jatim pada tahun 2007 ini sebesar 0,3 persen. Dengan demikian, tahun
ini bisa diprediksi jumlah penduduk miskin di Jatim minimal 20,24 persen (Munawar,
dalam Kompas, 7/9/07). Terlepas dari pro kontra data kemiskinan yang
dikeluarkan oleh BPS tersebut, ada
realitas yang tak terbantahkan bahwa angka kemiskinan di Jatim masih relatif
tinggi dan membutuhkan usaha dari semua kalangan untuk mengentaskan kemiskinan ini.
Potensi Dana ZIS dalam
Mengatasi Problem Kemiskinan
Sebenarnya dalam usaha mengentaskan kemiskinan di Indonesia selain dana pemerintah (APBN dan APBD) ada dana dari
masyarakat yang belum teroptimalkan guna
mengentaskan kemiskinan. Dana itu adalah dana Zakat-Infaq dan Sodaqoh
(ZIS) umat Islam. Potensi dana tersebut sangat besar tapi belum terkelola
secara profesional sehingga manfaatnya terasa belum maksimal bagi usaha
keberdayaan masyarakat miskin. Menurut Said Agil Munawar (mantan Menag) potensi
zakat di Indoensia pertahunnya mencapai Rp. 7, 5 Triliun. Perkiraan ini
berdasarkan pada asumsi BPS bahwa 90 %
penduduk Indoensia bergama Islam (40 juta KK), dan sebagian darinya, 32 juta
KK, adalah penduduk “sejahtera” berpengahsilan Rp. 10 juta-Rp 1
miliar/kk/tahun. Dengan kewajiban zakat 2, 5 persen dari batas nisab (setara dengan 85 gram emas) diperoleh angka Rp. 7, 5 triliun itu. Sementara
itu menurut Survei PIRAC ( Public Interst and Advocacy Center) total
zakat yang dibayarkan masyarakat muslim saat ini sekurang-kurangnya mencapai
angka Rp 3, 74 trilun. Itupun dari
responden di 11 kota besar (
Jakarta, Bandung, Surabaya Semarang,
Padang, Medan, Denpasar, Makasar Manado, Pontianak, dan Balikpapan), dan belum
termasuk penduduk pedesaaan (Saidi & Abidin, 2004: 89). Sementara itu,
Khusus untuk dana zakat menurut beberapa penelitian akhir
1990-an diperoleh informasi tentang
jumlah yang dibayarkan oleh
masyarakat perkotaan pada tahun 2004,
diperkirakan mencapai Rp. 6,3 triliun. Survei yang mencakup masyarakat kota dan pedesaan yang dilakukan oleh PB (Pusat
Budaya dan Bahasa ) UIN Jakarta, dalam periode yang sama menunjukan
angka yang lebih tinggi, mencapai Rp. 14, 2 triliun, bahkan sampai Rp.
19, 3 triliun kalau ditambahkan dengan
sumbangan in kind.
Meskipun tingkatan kemiskinan semakin tinggi semenjak krismon (krisis moneter)
1997 lalu ternyata jumlah muzaki masih cukup signifikan mencapai 49, 8 % dengan
tingkat ketaatan yang relatif tinggi
yaitu mencapai 95 %. Rata-rata
besarnya zakat yang dibayarkan pun tidak kecil, yakni Rp. 416.000/muzaki/tahun
atau dari survei PBB UIN sebesar Rp. 409.276 ( Aflah & Tajang, 2006: 179). Potensi
yang sangat besar tersebut ternyata
belum optimal dihimpun oleh BAZIS
dan LAZ. Menurut catatan Zaim Saidi dalam tulisanya yang berjudul Membangun dengan sedekah menemukan bahwa potensi zakat yang
dihimpun oleh BAZIS hanya mampu
menggalang zakat sekitar 270 miliar/tahun. Dimana jumlah BAZIS
sendiri ditingkat kabupaten ada 277, tingkat kecamatan berjumlah 3.160, dan tingkat desa /kelurahan sebanyak 38.117 buah. Ini berarti tiap BAZIS
rata-rata hanya mengumpulkan zakat dan sedekah sebesar Rp. 7 juta/tahun (Saidi
& Abidin, 2004: 90). Sedangkan dana ZIS yang berhasil dihimpun oleh lembaga
Amil Zakat (LAZIS) mampu menggalang sebesar Rp 2,5 – Rp. 15
Miliar/tahun/lembaga. Dari enam LAZIS yang disurvei, tiga di Jakarta (Yayasan
Dompet Duafa, PKPU, dan Baitul
Muamalat), dua di Bandung (Darut Tahuid
Umul Quro) serta satu di
Surabaya ( YDSF), terhimpun dana sekitar 32 miliar ( tahun 2000) atau rata-rata Rp. 5, 3 Miliar/ Lazis. Lebih
lengkap lihat tabel berikut ini (Sumber: Zaim Saidi & Hamid Abidin, 2004.
hal. 91):
Tabel 1: Perolehan Dana ZIS Enam LAZIS ( tahun 2000)
Lembaga
|
Perolehan (Rp)/tahun
|
Yayasan Dompet Dhuafa
|
15 Miliar
|
Yayasan Dana Sosial Al Falah
|
3,5 Miliar
|
Yayasan Darut Tauhid
|
4,5 Miliar
|
Dompet Sosial Umul Qura’
|
2,5 Miliar
|
PKPU
|
3 Miliar
|
Baitulmaal Muamalat
|
4,2 Miliar
|
Dari beberapa penelitian
dan perkiraan yang penulis
paparkan terlihat data makro yang sangat kentara tentang potensi yang
tersedia di dana ZIS yang ada di
masyarakat luas untuk program
pengentasan kemiskinan secara
nasional. Bagaimana Jawa Timur?
Menurut sepengetahuan penulis belum
tersedia data absolute yang memberikan gambaran secara rinci potensi ZIS masyarakat Jawa
Timur. Namun demikian, sebagai ilustrasi,
zakat fitrah yang rutin dilakukan umat Islam Jawa Timur dalam sekali Ramadhan saja
terkumpul dana Rp. 257, 63 miliar.
Kalkulasi ini di dapat dari jumlah total penduduk Jawa Timur (Rp. 37, 65 juta) dikurangi penduduk miskin (Rp. 7,13 juta) sehingga jumlah orang mampu adalah Rp. 30, 53 juta. Jika umat Muslim
Jatim adalah 90 persen, orang yang tidak
dikategorikan miskin berjumlah 27, 48 juta. Dengan asumsi anak belum baliqh
sekitar 25 % ( sekitar 6,87 juta), orang mukallaf zakat adalah Rp. 20,61 juta Jika setiap orang
dikenakan zakat 2,5 liter beras dengan harga Rp. 5.000 perliter, berarti dana
yang terkumpul dalam sekali momentum zakat fitrah adalah 20, 61 juta
jiwa X Rp 12,500 atau sebesar Rp. 257, 63 miliar. Nominal itu belum
termasuk dengan zakat maal maupun dana-ibadah
sosial lainnya yang tentunya semakin berlipat ganda (Kholid, dalam Kompas 21/9/07).
Apa Yang dikemukakan oleh Muh. Kholid A S yang penulis sebutkan diatas nampaknya relevan dengan temuan sebuah penelitian yang
dilakukan oleh Bagong Suyanto dkk tentang Model Pengentasan Kemiskinan: Melalui Peran Serta Masyarakat
Mampu di Pronvinsi Jawa Timur ( Karnaji & Sudarso, ed. 2005: 69),
dengan mengambil sampel 200 masyarakat mampu di tiga kota di Jatim (Tuban,
Nganjuk, serta Jember) menemukan bahwa bentuk amal yang biasa dilakukan oleh masyarakat
mampu adalah selalu
membayar zakat (81 %), infaq (42 %), serta sedekah (28 persen).
Sedangkan waktu memberikan amal kepada
masyarakat miskin adalah selalu pada bulan puasa (60 persen), Idul
qurban (18, 5 persen), serta hari raya keagamaan (37, 5 persen). Oleh karena
melihat besarnya potensi ZIS di Jatim
yang sangat besar tersebut maka
tinggal bagaimana bisa
mengoptimalkan penghimpunan dana ZIS dimasyarakat
dan menemukan model penyaluran dana dengan program-program yang sesuai dengan
kebutuhan masyarakat miskin di Jawa Timur
sehingga masyarakat miskin di Jatim ini semakin berdaya.
Sasaran Model Pemberdayaan Masyarakat Miskin
Apabila Dana zakat yang
terkumpul baik oleh lembaga pengelola zakat, harus segera di salurkan
kepada mustahiq sesuai dengtan skala prioritas yang telah disusun dalam program Kerja. Zakat tersebut harus
disalurkan kepada mustahiq sebagaimana
tergambar dalam surah At-Taubah: 60, sebagai berikut:
Pertama, Fakir miskin. Meskipun kedua
kelompok ini memiliki perbedaan yang
cukup signifikan, akan tetapi dalam teknis operasional sering dipersamakan,
yaitu mereka yang tidak memiliki penghasilan sama sekali, atau memilikinya akan
tetapi tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan pokok dirinya dan keluarga yang
menjadi tanggungjawabnya. Zakat yang disalurkan pada kelompok ini dapat
bersifat konsumtif, yaitu untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya dan dapat
pula bersifat produktif, yaitu untuk menambah modal usahanya. Kedua,
Kelompok Amil atau petugas Zakat . Ketiga, Kelompok Muallaf. Yaitu
kelompok orang yang dianggap masih lemah imannya, karena baru masuk Islam. Keempat,
dalam memerdekakan budak belian. Artinya bahwa zakat itu antara lain harus
digunakan untuk membebaskan budak belian dan menghilangkan segala bentuk
perbudakan. Kelima, kelompok Gharimin, atau kelompok orang yang berutang,
yang sama sekali tidak bisa melunasinya. Keenam, Orang yang berjuang
menegakan agama Allah (fi sabililah). Ketujuh, Ibnu Sabil, yaitu orang yang terputus bekalnya
dalam perjalanan (Hafidhudin,2002:133-138). Dalam penyaluran zakat memang kaku (rigid ) dalam
penyalurannya karena sudah ditetapkan ke dalam 8 asnaf tersebut. Namun demikian
ada potensi dana lain yaitu Infaq, Shodaqoh dan wakaf , kalau penyalurannya tepat sasaran dan ditunjang
dengan program yang berkesinambungan,
dana ZIS akan dapat mengangkat rakyat
dari jurang kemiskinan. Sebagaimana dikatakan oleh DR. Yusuf Al-Qardhawi, dalam bukunya yang berjudul Norma dan Etika Ekonomi
Islam ( 1997) bahwa zakat dapat memberikan solusi dalam masalah kemiskinan,
pengangguran dan pemerataan ekonomi apabila dilakukan secara optimal. Dana
penghimpunan zakat harus dilakukan secara efektif, dengan dukungan regulasi
aparat yang profesional. Serta dalam pendayagunaan dilakukan paradigma
‘kemanfaatan’ dan ‘skala prioritas‘ harus menjadi pertimbangan tersendiri bagi lembaga amil zakat (Aflah & Tajang, 2006: 134).
Model-Model Pemberdayaan Masyarakat Miskin di Jatim.
Melihat problem kemiskinan, potensi daerah serta memperhatikan apa
yang dikatakan oleh ulama kontemporer Dr. Yusuf Al-Qardhawi tentang perlunya azaz kemanfaatan dan skala
prioritas maka menurut
penulis, untuk pemberdayaan
masyarakat miskin di Jawa Timur, dapat dilakukan dengan mengikuti model-
model berikut ini:
- Bantuan Kredit fasilitas Modal Usaha serta Pembinaan
bagi Nelayan
Banyak kajian telah membuktikan bahwa nelayan pada umumnya merupakan
kelompok masyarakat yang tergolong paling miskin (Mubyarto,1984;Kusnadi, 2002).
Dibandingkan dengan petani sekali pun,
nelayan umumnya tergolong lapisan paling miskin-meski tidak dapat dikatakan
semua nelayan pasti miskin. Sebagaimana
diketahui sebagaian besar wailayah Jatim adalah pantai seperti di pesisir Selatan
Jatim (Misalnya: Malang, Trenggalek, Pacitan) serta Pesisir Utara Jatim (misal:
Gresik, Lamongan dan Tuban) serta daerah Madura, dimana sebagaian besar
masyarakatnya bergantung kepada mata pencaharian sebagai nelayan dengan
menangkap ikan. Sebagaimana tergambar
dalam data berikut ini tentang Jumlah nelayan dan Petani Ikan di Jatim
(Jawa Timur dalam Angka 2001):
Perikanan laut ( 210.181), Anadon (9.934), Perairan Umum
(40.383), Tambak (38.089) serta Sawah Tambak (47.182). Secara Garis besar
Kemiskinan yang diderita masyarakat desa pantai bersumber dari dua hal (Kusnadi: 2002: 4: Suyanto &
Ariadi 2003:23): pertama, faktor alamiah, yakni berkaitan dengan
fluktuasi musim-musim penangkapan dan struktur alamiah sumber daya ekonomi
desa. Kedua, faktor non alamiah, yakni berhubungan dengan keterbatasan daya jangkau
teknologi penangkapan, ketimpangan dalam sistem bagi hasil dan tidak adanya
jaminan sosial tenaga kerja yang pasti, lemahnya penguasaan jaringan pemasaran
serta belum berfungsinya koperasi nelayan
yang ada, serta dampak negatif kebijakan
modernisasi perikanan yang telah berlangsung sejak seperempat abad terakhir
ini. Sehingga karena kemiskinan itu terjadi penurunan jumlah nelayan
dan petani ikan di Jawa Timur pada tahun 2001 menurun 1, 26 persen
dibandingkan pada tahun 2000 sebesar
445. 905 petani ( Suyanto & Ariadi 2003:48).Karena banyak diantara mereka
beralih mata pencaharian atau merantau ke kota bagi yang masih muda. Oleh
karena itu dana ZIS di Jatim sebaiknya salah satunya untuk menolong
petani nelayan dengan program yang memberdayakan ekonomi mereka. Modal
Pemberdayaan ekonomi nelayan setidaknya mencakup dua aspek: Pertama,
berkaitan dengan dengan upaya peningkatan posisi tawar (bargaining position) pelaku ekonomi
rakyat melawan kekakuan (rigidity)
dan sifat eksploitatif yang membelenggu
mereka. Kedua, berkaitan dengan dengan upaya mengurangi kadar kerentanan
dan sekaligus bagaimana memperkuat penyangga sosial-ekonomi keluarga pelaku ekonomi
rakyat di desa pantai. Untuk itu perlu dilakukan beberapa langkah strategis berupa:
(1) Perlunya mengubah paradigma pemberdayaan masyarakat pesisir yang semula
lebih condong berorientasi pada peningkatan hasil produksi ke pola baru yang
berorintasi pada propses produksi dan upaya deversifikasi usaha. (2) Perlunya
mengembangakn program pemberdayaan yang bertumpu pada pranata-parata lokal yang
bersumber dan memiliki akar kultural di masyarakat desa pantai itu sendiri. (3)
Perlunnya penguatan dan pengembangan jaringan dan kelembagaan sosial ekonomi lokal.
(4) Perluasan akses pelaku ekonomi rakyat terhadap sumber permodalan yang terjangkau,
(5) Perlunya program asuransi sosial bagi pelaku ekonomi rakyat. Bentuk
kegiatan model pemberdayaan berupa: ( a)
Pelatihan ketrampilan alternatif bagi komunitas desa pantai (b) pelibatan dan
intensifikasi tenaga kerja keluarga untuk efisiensi proses produksi (c) Pembentukan pokmas dan sentra produksi di lingkungan komunitas
desa pantai. (d) Peningkatan efektifitas
dan pengguliran paket-paket bantuan modal usaha yang terjangkau oleh mereka.
(e) Pemberdayaan forum pengajian dan
isntitusi local lain untuk mengurangi
kadar kerentanan kemunitas desa pantai (Suyanto
& Ariadi 2003:98-105).
- Bantuan Asuransi Sosial dan Perlindungan Sosial Pada Masyarakat
Lanjut Usia, Cacat dan Tuna Sosial.
Di provinsi Jawa Timur, kelompok PMKS (Penyandang masalah
Kesejahteraan Sosial) yang membutuhkan
perhatian khusus adalah para lansia (lanjut Usia), penyandang cacat dan tuna sosial lainnya, khsusnya mereka yang secara sosial terlantar dan berasal dari keluarga miskin. Di Provinsi
Jawa Timur lansia tercatat sebanyak 6,
49 % dari total jumlah penduduk dimana
pada tahun 2003 berjumlah 188.759 jiwa
serta pada tahun 2004 berjumlah 159.600 jiwa. Untuk penyandang cacat sebanyak
99.581 jiwa, dan eks penyandang penyakit
kronis 20.932 jiwa (Bappeprov Jatim 2006). Lansia, Penyandang cacat acapkali menghadapi
probelma kesehatan yang cukup menggangu-, bukan saja dihadapkan pada kenyataan
hidup yang makin berat karena berkurangnya kemampuan dan tiadanya peluang untuk
melakukan kegiatan yang sifatnya produktif. Tetapi, juga sering kali harus siap
secara sosial-psikologis untuk mengalami diskriminasi, kehilangan atau paling
tidak berkurangnya peran mereka karena kecatatan atau karena memasuki hari
tua dan tergantikan posisi mereka dengan
generasi berikutnya.Oleh karena itu penulis melihat mereka cukup layak sebagai
sasaran dalam model pemberdayaan
masyarakat miskin di Jatim dengan
menggunakan dana ZIS. Berikut ini ada beberapa program yang bisa dilaksanakan
(Bappeprov Jatim 2006:84-85): (1)
Sosialiasasi program persiapan hidup sehat bagi kelompok Pra-Lansia. Hal
ini dilakukan guna meningkatkan kemampuan adaptasi penduduk pra-lansia untuk
menyangsong hari tua. (2) pelatihan dan pengembangan kesempatan kerja khusunya
bagi lansia dan penyandang cacat (misalnya dengan memanfaatkan dana Comdev).
Program ini memberikan kesempatan bagi lansia
dan penyandang cacat untuk bekerja. (3).Program jaminan sosial bagi
lansia dan peyandang cacat miskin.hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan
kesejahteraan lansia dan penyandang cacat. (4) Program bantuan modal usaha
lunak bagi lansia dan penyandang cacat miskin yang masih produktif. (5)
Pengembangan program asuransi sosial bagi keluarga lansia dan penyandang cacat
miskin. Sehingga bisa meningkatkan kemampuan penyangga ekonomi keluarga lansia
dan penyandang cacat msikin (6) Subsidi kesehatan bagi lansia. Bertujuan untuk
mengurangi beban pengeluaran
keluarga lansia untuk perawatan kesehatan
dan pengobatan.
- Beasiswa Pendididkan bagi Anak sekolah untuk keluarga Miskin
Pendidikan adalah sarana penting untuk meningkatkan kualitas suatu
bangsa. Oleh karena itu perlu dipikirkan bagaimana pemerataan pendidikan dimasyarakat.
Di Provinsi Jawa Timur masih banyak penduduk yang tidak bersekolah. Berdasarkan
Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang dikeluarkan BPS Jawa Timur tahun
2005, jumlah penduduk Jatim usia 15 tahun
ke atas yang tidak atau belum sekolah mencapai 3,8 juta anak. Rata-rata
mereka berasal dari daerah yang belum maju secara ekonomi seperti Jember,
Sampang, Sumenep serta Banyuwangi. Selain itu, banyak pula penduduk yang
meskipun bersekolah mengenyam sekolah dasar (SD) tetapi tidak menamatkannya.
Jumlahnya mencapai 4, 3 juta anak. Mereka mayoritas berasal dari daerah yang relatif belum maju
secara ekonomi seperti Jember, Pasuruan, Banyuwangi, Probolinggo
(Kompas, 2/5/ 06). Lebih lengkap lihat Tabel berikut ini:
Tabel 2: Penduduk Usia 15 tahun ke Atas Yang tidak Pernah Sekolah
dan Yang Tidak Tamat Sekolah
Tahun
|
2001
|
2002
|
2003
|
2004
|
2005
|
Tidak Tamat SD
|
4.471.482
|
4.371.975
|
4.468.252
|
4.498.585
|
4.335.423
|
Tidak Pernah Sekolah
|
4.190.413
|
4.052.711
|
4.131.158
|
3.847.417
|
3.838.462
|
.Sumber: BPS Jatim, dalam Kompas,
2/5/ 06.
Mengikuti angka-angka tersebut, penulis melihat bahwa pada daerah
kantong-kantong kemiskinan banyak para anak-anak di Jawa Timur yang tidak bisa
mengenyam pendidikan atau putus di jalan
ketika sekolah karena berbagai alasan. Oleh karena Pada masa datang pendidikan mutlak di perlukan
mereka guna tetap bisa survival di masa yang akan datang. Oleh karena itu menurut hemat penulis dana ZIS perlu disalurkan kepada anak-anak dari keluarga kurang mampu di kantong-kantong masyarakat miskin. Hal itu dilakukan berupa: (1) program
beasiswa prestasi bagi anak-anak kurang
mampu, namun mempunyai prestasi di sekolah atau di bidang tertentu. Diharapkan
dengan program ini akan menolong mereka yang berprestasi namun kurang secara
ekonomi untuk mendapatkan masa depan yang lebih cerah. (2) Memberikan bantuan
subsidi pendidikan, dalam artian bagi anak-anak yang tidak mampu tetapi
prestasinya biasa saja diberikan subsidi
pendidikan. Misalnya berupa pembayaran SPP sebesar 50 persen yang dibayarkan.
(3) Beasiswa berupa bantuan sarana pendidikan seperti bantuan seragam sekolah
dan perlengkapan sekolah menjelang tahun ajaran baru sehingga orang tua yang
tidak mampu tidak diambil pusing untuk memikirkan pendidikan anaknya ketika
tahun ajaran baru.
- Pemberian Layanan Kesehatan Murah/Gratis kepada Masyarakat Miskin.
Persoalan paling pelik untuk
masyarakat miskin (dhuafa) salah satunya
adalah akses terhadap fasilitas pelayanan kesehatan yang relatif murah
dan terjangkau. Menurut Agus Dwiyanto (dalam Baswir, 2003:96) Pelayanan
kesehatan kasar dapat dibedakan menjadi dua yaitu: Pelayanan kesehatan
preventif dan pelayanan kesehatan kuratif. Pelayanan kesehatan preventif seperti
tingkat pelayanan imunasi, disamping usaha-usaha peningkatan kualitas kesehatan
lingkungan dan penyuluhan kepada masyarakat mengenai arti penting kesehatan.
Sedangkan jenis pelayanan kuratif meliputi pelayanan untuk pengobatan, seperti
rumah sakit, puskesmas , puskesmas pembantu , klinik-klinik swasta , apotik
serta took obat dan lainnya. Baik yang
diselenggarakan oleh pemerintah mapun swasta.
Namun demikian ternyata anggaran yang disediakan oleh
pemerintah sampai pada tahun 1990,
besarnya yang dialokasikan hanya 2,5 persen saja dari PDB, sebuah angka yang
kecil dibandingkan dengan standar WHO, ataupun jika dibandingkan dengan dengan Negara Negara tetangga yang
rata-rata diatas 10 persen. Disamping
itu hal melatarbelakangi diperlukan
sarana kesehatan yang murah bagi kaum miskin adalah adanya mislokasi. Mislokasi ini dapat
dilihat dari perbedaan aksessibilitas terhadap pelayanan kesehatan antara
kelompok kaya dan kelompok miskin.. Perbedaan tersebut berimplikasi terhadap
terjadinya ketimpangan serta pencapian pemerataan pembangunan kesehatan anatar
kelompok dan wilayah. Juga berimplikasi pada terjadinya ketimpangan subsidi
pemerintah. Padahal selama ini pembiayaan kesehatan sebagian berasal dari
subsidi pemerintah (Agus Dwiyanto 1992, dalam Baswir,dkk: 2003:100). Menurut
Agus Dwiyanto (1992) ketimpangan subsidi tersebut melahirkan bias dalam
pembiayaan pelayanan kesehatan. Subsidi seharusnya dinikmati oleh kelokmpok
masyarakat miskin atau wilayah daerah miskin. Kenyataanya subsidi itu justru
lebih banyak dinikmati oleh kalangan menengah ke atas dan wilayah yang sudah
relative makmur. Data Susenas tahun 1978
sebagai contoh menunjukan bahwa dari
subsidi yang diberikan oleh Negara terhadap pasien puskesmas dan Rumah sakit,
penduduk miskin hanya menikmati 19
persen dari total subsidi. Sisanya 81 persen dari subsidi pemerintah dinikmati
oleh penduduk yang status sosial ekonominya telah mapan.
Keadaan ini diperparah dengan terjadinya bias anggaran yang
bersumber dari masyarakat dan swasta. Iini ditunjukan dengan besarnya anggaran
dari masyarakat dan swasta yang digunakan untuk pelayanan kuratif
masyarakat sebesar 92 persen. Berarti
sebagian besar dana kesehatan yang bersumber dari masyarakat dan swasta digunakan untuk mensubsidi
kalangan menengah (Baswir,dkk: 2003:100-102).
Untuk kasus Jawa Timur Alhamdulilah anggaran kesehatan mencapai 11
persen dari total APBDnya untuk tahun
2007 ini ( www.depkes.go.id) . Namun demikian
dana sebesar itu belumlah ideal
karena berapa yang dialokasikan untuk
kesehatan masyarakat miskin kita juga belum mengetahui secara pasti, karena itu
merupakan baru prosentase secara global.
Oleh karena itu diperlukan program layanan murah bagi masyarakat miskin agar mereka tetap
sehat dan tetap bisa bekerja untuk
menghidupi keluarga. Sebagaimana dikatakan oleh Chambers (1983) bahwa salah
satu persoalan yang paling rawan dengan kaum papa adalah biaya untuk kesehatan,
karena penghasilan mereka banyak terserap untuk kebutuhan sehari-hari. Berikut
ini program yang dapat dilaksanakan : Pertama,
mendirikan klinik kesehatan sosial yang
murah dikantong kantong daerah miskin.
Hal ini diperlukan agar masyarakat miskin mudah mengaksesnya. Kedua,
Memberikan subsidi obat kepada kaum miskin, dengan demikian harga obat relatif terjangkau bagi mereka.Sehingga
dengan langkah itu menjadikan kaum miskin dapat menikmati sarana kesehatan secara
lebih baik dana dana ZIS pun tepat sasaran.
- Pemberian Modal Kerja dan
Pembinaan Rohani kepada komunitas
PKL
Pedagang Kaki Lima (PKL)
selama ini menempati posisi dilematis, di satu sisi para pedagang PKL
sukses meningkatkan kemandirian perekonomian rakyat miskin serta mampu menyerap tenaga
kerja sangat banyak karena mampu menciptakan lapangan kerja yang tak terbatas
jumlahnya. Serta mampu mendukung industri secara makro dan mampu meningkatkan
pendapatan asli daerah. Tapi disisi lain Mereka para PKL sering dipandang
sebagai ‘penyakit kota’ (mengganggu kebersihan, keindahan, ketertiban dan kelancaran lalu lintas) dan kegiatannya
sering kali menggunakan wilayah-wilayah yang secara hukum dilarang, seperti taman kota, halaman toko orang lain dll. Oleh karena Badan Amil
Zakat (BAZ) ataupun Lembaga Amil Zakat (LAZ)
yang ada di Jawa Timur mempunyai
tanggung Jawab untuk membina mereka. Setahu kami baru lembaga seperti Yayasan
Nurul Hayat yang membina tukang becak
yang ada disekitarnya, yang sudah dilaksanakan atau seperti perkampungan
pemulung seperti yang dilakukan YDSF. Sedangkan untuk membina pedagang PKL belum tersentuh. Padahal Potensinya sangat
besar karena hampir di setiap kota besar
ada pedagang PKL. Misalnya, di Surabaya terdapat
lebih dari 15 ribu pedagang kaki
lima, bahkan mereka telah membentuk paguyuban
PKL : yang tercatat di PKL Embong Blimbing, Rukun Mulyo, Kepanjen,
Setail , dan Karah serta PKL Indrapura. Dimana 60 % dari mereka bukan penduduk
asli Surabaya tapi berasal dari Madura, Mojokerto, Bojonegoro, Padang,
Kalimantan, Jawa Tengah serta daerah lainnya di Indonesia (Alisyahbana, 2003:125).
Oleh karena itu diperlukan program
pembinaan sebagai berikut: (1) program peningkatan manejerial kepada para
pedagang PKL. (2) memberikan bantuan modal bagi para pedagang PKL yang
prospektif. (3) Membantu dalam hal pemasaran
dengan menjembatani mereka dengan pemkot dan pedagang sektor formal
maupun koperasi. (3) memberikan pelatihan kewirausahaan serta keterampilan usaha di sektor formal. (4)
melibatkan mereka dalam forum keagamaan
sehingga mereka tetap bisa menjaga akidahnya di bawah tekanan arus perkotaan.
Sehingga dengan demikian mereka lebih berkembang lagi di masa akan datang dan
dapat survival dalam sektor formal.
- Penyediaan dana Siap Pakai dan Tanggap Bencana
Penyediaan dana siapa pakai dan Tanggap bencana ini penting
dilakukan karena di Jawa Timur dalam tiga tahun terakhir banyak mengalami bencana
(Statistik Potensi Desa Jatim 2005;88): Tanah longsor (556 kali), Banjir (1138
kali), Banjir Bandang (165 kali), Gempa bumi ( 96 kali). Sedangkan Menurut
Statistik Potensi Desa Jatim 2005 di Jawa Timur ada banyak daerah yang rawan
bencana (1417 desa rawan bencana), meliputi tanah longsor (478 daerah), Banjir
(894 daerah), Banjir Bandang (111 daerah), Gempa bumi (35 daerah) serta abrasi
pantai (47 daerah). Oleh karena mutlak diperlukan dana siap pakai dan tanggap
bencana agar para korban bencana langsung dapat mendapatkan pertolongan. Hal
itu dimungkinkan dengan mengambil dari dana infaq dan shodaqoh masyarakat
yang penggunaannnya lebih fleksibel (lentur
dibandingkan zakat). Potensi untuk menyediakan dana inipun besar karena dimana setiap ada bencana, infaq dan bantuan masyarakat mengalir deras. Sebagai bukti misalnya saat terjadi banjir beberapa media langsung
kebanjiran donasi masyarakat. Misalnya program dana kemanusian Kompas, memperoleh
dana tidak kurang dari Rp. 1,13 Miliar hanya dalam tempo 10 hari. Sementara
perolehan dana pundi amal SCTV melonjak
sampai Rp. 3 miliar (Saidi & Abidin. 2004: 27). Program ini dapat dilakukan dengan: Pertama,
menyisihkan dana infaq dan shodaqoh masyarakat kedalam rekening khusus dana siap pakai dan
tanggap bencana. Kedua, menyosialisasikan program tersebut lewat penggalangan
dana lewat adanya program khusus penggalangan dana bencana. Sehingga diharapkan
begitu ada bencana LAZ dan BAZ tidak usah menunggu menggalang dana masyarakat
untuk membantu mereka yang terkena bencana sehingga jadi ‘OMB’ (orang miskin
baru) dengan terlebih dahulu harus
menggalang dana dimasyarakat.
Penutup
Apa yang diuraikan secara panjang lebar di atas tentang model
pemberdayaan masyarakat miskin di Jawa Timur, mengacu kepada apa yang oleh Robert Chambers (1983)
disebut dengan konsep kemiskinan terpadu (integrated poverty).
Dimana kaum miskin mengalami lima “ketidakberuntungan” sebagaimana yang dikenal perangkap kemiskinan
(Soetrisno,1997:18). Sehingga apa yang penulis ungkapkan tentang model
pemberdayaan masyarakat miskin Jawa Timur juga mengacu kepada bagaimana
memberdayakan masyarakat miskin secara terpadu baik itu dari segi pemberdayaan dan
karitas.Dimana model pemberdayaan mulai 1-5 mewakili model pemberdayaan masyarakat
Jawa Timur yang mengandung aspek kesinambungan serta no 6 mewakili aspek pemberdayaan
masyarakat dari aspek karitas yaitu modal pemberdayaan kepada masyarakat miskin
yang harus segera diberikan pertolongan dan ketika terjadi bencana.
Disamping itu apa yang dijelaskan tentang model pemberdayaan masyarakat miskin Jawa
Timur juga memperhatikan budaya lokal
yang ada di masyarakat lokal sehingga apa yang ditawarkan menjadi sesuai dengan
kebutuhan masyarakat setempat. Wallahu a’lam bis-shawab.
Daftar Pustaka
Alisyahbana. Urban Hidden Economy: Krisis Tersembunyi Sektor
Informal Perkotaan. Surabaya.ITS. 2003
Bagong Suyanto
& Septi Ariadi, (ed). Kajian Model Pemberdayaan Ekonomi Rakyat.
Surabaya:Balitbangda Jatim. 2003
Bappeprov Jatim. Penyusunan
Program Perlindungan Sosial Pada Mansyarakat Lanjut Usia, Cacat dan Tuna Sosial
di Jawa Timur. Surabaya. 2006
Didin Hafidhudin, Zakat dalam Perekonomian Modern. Jakarta:
Gema Insani Pres. 2002
BPS Jawa Timur. Statistik Potensi Desa Provinsi Jawa Timur.
Surabaya. 2005
Karnaji & Sudarso, (ed). Analisis Prioritas Program-Program
Pengentasan Kemiskinan di Jawa Timur. LPKM UNAIR dan Bappeprov Jatim.
Surabaya.2006
Kuntarno Noor Aflah & Mohd. Nasir Tajang, (ed) Zakat &
Peran Negara. Jakarta: Penerbit FOZ. 2006
Karnaji &Sudarso, (ed). Penelitian Pengentasan Kemiskinan:
Melalui Peran Serta Masyarakat Mampu di Jatim. Surabaya: Lemlit UNAIR dan
Balibangda Jatim. 2005
Loekman Soetrisno, Kemiskinan, Perempuan, dan Pemberdayaan.
Yogyakarta. Kanisius. 1997
Muh. Kholid AS. Fungsionalisasi Religiusitas Filantrofis. Kompas,
21 September 2007
Revrisond Baswir, dkk. Pembangunan Tanpa Perasaan.
Jakarta:Penerbit ELSAM. 2003
Rofi’ Munawar, Mengevaluasi Program Mengatasi Kemiskinan Jawa
Timur. Kompas, 7 September 2007
Zaim Saidi &Hamid Abidin, Menjadi Bangsa Pemurah.
Jakarta: PIRAC & Ford Foundation.
2004
***
*Makalah ini pernah dipresentasikan di Lomba LKTI tentang Zakat dan Pengentasan Kemiskinan di BAZ Jatim dan memeproleh juara II.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar