Rabu, 26 Agustus 2015

Model Pemberdayaan Masyarakat Miskin: Perspektif Jawa Timur

Model Pemberdayaan Masyarakat Miskin: Perspektif Jawa Timur*
Oleh: Untung Dwiharjo, S. Sos.

Pendahuluan

Dibalik keberhasilan pembangunan yang sudah berhasil dicapai, salah satu  masalah yang serius dihadapi oleh  Provinsi Jawa Timur  adalah kemiskinan dan perkembangan jumlah penduduk miskin yang tak kunjung surut. Alih-alih jumlah penduduk miskin dapat terkurangi, dalam dua-tiga tahun terakhir, di Provinsi Jawa Timur  justru ditengarai terjadi perluasan dan pendalaman kemiskinan. Perluasan kemiskinan ditandai dari kecenderungan dimana jumlah orang miskin  makin bertambah banyak, sektor dimana terjadi kemiskinan semakin banyak dan luas, dan wilayah teritorial yang terambah kemiskinan juga semakin meluas.
            Sementara itu, pendalam kemiskinan yang terjadi dapat dilihat dari tanda-tanda fisikal-material, seperti yang diungkap oleh indikator kesehatan (Indeks berat Badan, prevalensi Ibu kekurangan Gizi, anemia anak-anak  dan ibu, pravelansi rabun malam, indeks kemiskinan manusia dan sebaginya), indikator ekonomi (seperti peningkatan jumlah orang yang berada di bawah garis kemiskinan, peningkatan jumlah penganguran, peningkatan jumlah buruh yang menerima upah di bawah mimnimum provinsi dan sebagianya), indikator perampasan daya (terdiri dari 7 indikator utama, yaitu indeks kemiskinan manusia , penduduk yang meninggal  dibawah 40 tahun, tingkat buta huruf  orang dewasa, orangb tanpa akses air bersih, orang tanpa akses ke jasa pelayanan kesehatan dan balita kurang gizi), serta yang paling parah adalah meluasnya internalisasi budaya kemiskinan.
            Pengalaman selama lima tahun terakhir telah banyak mengajarkan bahwa memberantas kemiskinan dan memberdayakan masyarakat miskin yang sudah terlanjur meluas harus diakui jauh labih mudah diucapkan daripada dilakukan dan dibuktikan dilapangan. Kemiskinan sesungguhnya adalah masalah sosial yang jauh lebih kompleks  dari sekedar  persoalan kekurangan pendapatan  atau dari sekedar persoalan kekurangan  pendapatan atau tidak dimilikinya asset produksi untuk melangsungkan kehidupan. Kemiskinan-atau lebih tepat disebut prangkap kemiskinan (deprivation trap) –menurut Chambers (1983) selain berkaitan dengan ketidakmampuan sebuah keluarga  untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, juga menyangkut kerentanan, ketidakpercayaan, keterisolasiaan, dan kelemahan jasmani.
            Setelah pemerintah memutuskan kenaikan harga BBM, ada kecenderungan masalah kemiskinan makin sulit ditangani karena seringkali diperparah oleh adanya kesenjangan sosial yang terlampau lebar, dan bahkan dalam sejumlah kasus  diperparah dengan adanya “efek domino” dari kenaikan harga-harga kebutuhan pokok sehari-hari masyarakat.
            Sejumlah studi menemukan, bahwa kelemahan dari berbagai program penanggulangan kemiskinan yang dicanangkan adalah bermula dari kebijakan pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi makro, cenderung sentralistik  atau terpusat, sehingga  tidak peka pada kebutuhan lokal. Disisi lain, berbagai program penanggulangan kemiskinan yang dikucurkan acapkali bersifat karikatif, dan memposisikan masyarakat sebagai obyek. Dengan memandang kemiskinan hanya hanya dari aspek ekonomi saja, maka yang terjadi kemudian permasalahan kemiskinan di berbagai kemunitas seringkali dianggap serba sama (uniform) dan diyakini akan dapat dipecahkan semata-mata hanya dengan mengandalkan pemberian bantuan modal usaha  (Suyanto dan Karnaji, 2005).
            Belum jelasnya siapa kelompok sasaran yang seharusnya diprioritaskan, dan ditambah lagi dengan orientasi program yang belum bersifat kontekstual, maka bisa dipahami jika pelaksanaan berbagai program penanggulangan kemiskinan di Provinsi Jatim belum memperlihatkan hasil yang signifikan-apalagi memperlihatkan daya ungkit yang benar-benar nyata. Bahkan tidak jarang terjadi, pelaksanaan berbagai program penanggulangan kemiskinan yang semula diharapkan dapat memberdayakan penduduk miskin, ternyata dalam kenyataan justru melahirkan bentuk ketergantungan baru dan berbagai bias yang menyebabkan pada akhirnya program yang dicanangkan menjadi tidak efektif .
            Di  Provinsi Jawa Timur, menurut BPS (2001) jumlah Rumah Tangga Miskin (RTM) tercatat sebanyak 2.196.363 KK, sementara itu jumlah penduduk miskin sebanyak 7.267.843 jiwa. Jumlah Kabupaten/kota yang masuk kategori merah dengan jumlah RTM 27,9-45 persen sebanyak 8 kabupaten , 123  kecamatan dan 1.801 desa/ kelurahan. Sejak pemerintah mengumumkan kenaikan harga BBM tahun 2005, dapat dipastikan jumlah RTM dan jumlah penduduk miskin akan bertambah cukup besar. Menurut catatan Gubernur Jawa Timur, akibat kenaikan BBM jumlah keluarga msikin di Jawa Timur naik dari 2,8 juta menjadi 4,3 juta KK atau naik 65 persen (Jawa Pos, 18 November 2005).
            Dari hasil studi yang dilakukan oleh LPPKM Unair (2005), secara garis besar  dua faktor yang menjadi penyebab upaya penangulangan kemiskinan menjadi kurang efektif. Pertama, Kemungkinan terjadinya bias dalam pemilihan kelompok sasaran dan penyaluran program penangulangan kemiskinan, sering terjadi karena tidak didukung data yang memadai alias up to date dan lemahnya kontrol ditingkat pelaksanaan, sehingga penyaluran dana penangggulangan kemiskinan dilapangan seringkali bias dan tidak tepat sasaran. Kedua, Berbagai program program penanggulangan kemiskinan dan dilaksanakan dan dikembangkan di Jatim meski digulirkan dengan nama yang berbeda-beda tetapi substansinya umumnya sama, yakni program bantuan penanggulangan kemiskinan yang bersifat darurat penyelamatan, karitatif dan program bantuan yang cenderung berorientasi pada peningkatan hasil–hasil produksi keluarga miskin  secara linier atau konsentrik.
            Kedepan, agar dengan segala keterbatasan yang dimiliki dapat diperoleh hasil yang maksimal, maka selain dibutuhkan dukungan dana yang memadai, yang tak kalah pentingnya adalah prioritas program penanggulangan kemiskinan yang benar-benar tepat dan efektif. Seperti dikatakan Izzedin Bakhit (2001), saat ini yang dibutuhkan agar program-program penanggulangan kemiskinan dapat memberikan hasil yang nyata, tak pelak adalah bagaimana menggempur akar-akar kemiskinan hingga tuntas (attacking the roots of poverty). Di Provinsi Jawa Timur sendiri, agar perkembangan jumlah penduduk miskin bisa dikurangi dan upaya penanggulangan kemiskinan dapat dipercepat, maka yang dibutuhkan ke depan adalah model atau upaya baru yang terfokus pada proses pemberdayaan, revitalisasi sistem nilai setempat, pengakuan pada potensi lokal, dan menejemen program yang benar-benar solid (Karnaji & Sudarso, 2006). Oleh karena itu dalam tulisan ini mencoba untuk menjawab pertanyaan: Bagimanakah model pemberdayaaan masyarakat miskin di Jawa Timur  yang  ideal dan tepat sasaran ?




Perangkap Kemiskinan dan Pemberdayan Masyarakat Miskin
Banyak teori yang menjelaskan tentang penyebab kemiskinan. Salah satunya yang relatif lengkap-dalam arti sesuai dengan kenyataan dan secara konseprtual jelas adalah apa yang dikemukan oleh Robert Chambers  dalam bukunya yang berjudul Pembangunan Desa Mulai dari Belakang (1983). Menurut  Robert Chambers inti dari masalah kemiskinan adalah sebenarnya terletak pada apa yang disebut deprivation trap atau perangkap kemiskinan. Secara rinci, deprivation trap terdiri dari lima unsur, yaitu:
(1 ) kemiskinan itu sendiri, (2) kelemahan fisik, (3) keterasingan atau kadar isolasi, (4) kerentanan, dan (5) ketidakberdayaan. Kelima unsur ini seringkali saling terkait satu  dengan yang lain sehingga merupakan perangkap kemiskinan yang berbahaya dan mematikan peluang hidup orang atau keluarga miskin.
            Dari kelima dimensi diatas, kerentanan dan ketidakberdayaan perlu mendapat perhatian utama. Kerentanan menurut  Chambers dapat dilihat dari ketidakmampuan keluarga miskin untuk menyediakan sesuatu guna menghadapi situasi darurat seperti datangnya bencana alam, kegagalan panen, atau penyakit yang tiba-tiba menimpa keluarga miskin itu. Kerentanan ini seringkali ini seringkali menjadi menjadi “roda penggerak kemiskian” karena menyebabkan keluarga miskin harus menjual hartanya yang tersisa sehingga keluarga itu menjadi semakin msikin. Ketidakberdayaan membuat keluarga miskin menjadi semakin miskin, karena lemahnya posisi tawar keluarga miskin jika dihadapkan pada peraturan, kebijakan pemerintah atau orang-orang kaya yang tidak bertanggung jawab. Untuk itulah diperlukan  upaya pemberdayan kepada masyarakat miskin. Pemberdayaan pada intinya adalah pemanusiaan. Pemberdayaan menurut Gunawan Sumodiningrat (1987) sebagaimana dikutip Bagong Suyanto  & Septi Ariadi (2003:32) dilihat dari tiga sisi. Pertama, Pemberdayaan dengan menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang. Kedua, Pemberdayaan untuk memperkuat potensi ekonomi atau daya yang dimiliki oleh masyarakat. Dalam rangka memperkuat potensi ini, upaya yang amat pokok adalah peningkatan taraf pendidikan, dan derajat kesehatan, serta akses terhadap sumber kemajuan ekonomi seperti modal, teknologi, informasi, lapangan kerja dan pasar. Ketiga, Pemberdayaan melalui pengembangan ekonomi rakyat, dengan cara melindungi  dan mencegah terjadinya persaingan yang tidak seimbang, serta menciptakan kebersamaan dan kemitraan antara yang sudah maju dengan yang belum berkembang.    

Statistik Kemiskinan Jawa Timur
            Pemberdayaan  masyarakat miskin Di Jawa Timur erat kaitannya dengan jumlah masyarakat miskin yang ada. Untuk itulah  perlu dikemukanan kondisi  obyektif masyarakat miskin di Jawa Timur  dengan  melihat angka statitik. Berdasarkan estimasi yang dilakukan oleh BPS, jumlah penduduk miskin di Jawa Timur pada tahun 2003 tercatat sebesar 7.064.289 jiwa atau 19,52 persen dari total penduduk yang ada. Sedangkan pada tahun 2002 diperkirakan sebanyak 7.181.755 jiwa atau sekitar 20,34 % dari total penduduk Jawa Timur. Sebelumnya pada tahun 2001, jumlah penduduk miskin tercatat 7.267.093 jiwa atau 20, 73 persen dari total penduduk (Karnaji & Soedarso, 2005: 50). Sedangkan angka terbaru  pada  Mei  2006 berjumlah 7.4456 juta jiwa atau 19.94 %  dari total penduduk.
Kemudian berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional  BPS Jumlah penduduk miskin Jatim Pada Maret 2007 tercatat 7,138 juta jiwa atau 18,93 persen dari total jumlah penduduk. Jumlah tersebut secara kasat mata mengalami penurunan sebesar 318.000 orang dibandingkan dengan jumlah penduduk miskin pada  Mei 2006 yang lalu. Dengan batas garis kemiskinan sebesar Rp. 166.697  perkapita perbulan, mayoritas  warga miskin  (4,57 juta atau 64,05 persen) berada di wilayah pedesaan dan sisanya berdomisili diperkotaan (Kholid, dalam Kompas, 21/9/07). Namun demikian menurut ketua Ikatan Sarjana Ekonomi Surabaya, Wilopo  menanggapi data angka kemiskinan yang dirilis BPS  untuk wilayah Jatim patut dipertanyakan karena ada beberapa hal yang kontradiktif. Diantaranya pertumbuhan ekonomi Jatim pada tahun 2007 ini hanya 5,56 persen. Padahal pada tahun 2006, pertumbuhan ekonomi mencapai 5,8 persen. Pertumbuhan ekonomi mengalami penurunan, tetapi mengapa angka kemiskinan justru berkurang? Bagaimana mungkin jumlah penduduk miskin berkurang apabila tidak ada pertumbuhan ekonomi atau pertumbuhan ekonominya lebih rendah dibanding dengan tahun sebelumnya.
Dengan pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah, dengan menggunakan logika linier, angka kemiskinan seharusnya mengalami kenaikan. Apabila Jatim ditimpa masalah semburan Lapindo, yang memorakporandakan urat nadi perekonomian Jatim. Oleh, karena itu, jumlah penduduk miskin versi  Badan  Pusat Statistik (BPS) tersebut dinilai tidak valid. Realitasnya, tidak menutup kemungkinan jumlah penduduk miskin di Jatim jauh lebih besar dari yang dicatat oleh BPS. Minimal kenaikan jumlah penduduk miskin di Jatim setara dengan penurunan pertumbuhan ekonomi dalam setahun terakhir. Pertumbuhan ekonomi pada tahun 2007 ini sebesar 5,56 persen, lebih kecil dari tahun 2006  yang sebesar 5,8 persen. Berarti ada penurunan  sebesar 0,3 persen.
Dengan melihat pertumbuhan ini, minimal kenaikan jumlah penduduk miskin  di Jatim pada tahun 2007 ini  sebesar 0,3 persen. Dengan demikian, tahun ini bisa diprediksi jumlah penduduk miskin di Jatim minimal 20,24 persen (Munawar, dalam Kompas, 7/9/07).  Terlepas  dari pro kontra data kemiskinan yang dikeluarkan oleh BPS tersebut, ada  realitas yang tak terbantahkan bahwa angka kemiskinan di Jatim masih relatif tinggi dan membutuhkan usaha dari semua kalangan  untuk mengentaskan kemiskinan ini.

Potensi  Dana ZIS dalam Mengatasi Problem Kemiskinan
Sebenarnya dalam usaha mengentaskan kemiskinan di  Indonesia selain dana  pemerintah (APBN dan APBD) ada dana dari masyarakat yang belum teroptimalkan guna  mengentaskan kemiskinan. Dana itu adalah dana Zakat-Infaq dan Sodaqoh (ZIS) umat Islam. Potensi dana tersebut sangat besar tapi belum terkelola secara profesional sehingga manfaatnya terasa belum maksimal bagi usaha keberdayaan masyarakat miskin. Menurut Said Agil Munawar (mantan Menag) potensi zakat di Indoensia pertahunnya mencapai Rp. 7, 5 Triliun. Perkiraan ini berdasarkan pada asumsi BPS bahwa 90 %  penduduk Indoensia bergama Islam (40 juta KK), dan sebagian darinya, 32 juta KK, adalah penduduk “sejahtera” berpengahsilan Rp. 10 juta-Rp 1 miliar/kk/tahun. Dengan kewajiban zakat 2, 5 persen  dari batas nisab  (setara dengan 85 gram  emas) diperoleh angka Rp. 7, 5 triliun itu. Sementara itu menurut Survei PIRAC ( Public Interst and Advocacy Center) total zakat yang dibayarkan masyarakat muslim saat ini sekurang-kurangnya mencapai angka Rp 3, 74 trilun. Itupun dari  responden  di 11 kota besar ( Jakarta, Bandung, Surabaya  Semarang, Padang, Medan, Denpasar, Makasar Manado, Pontianak, dan Balikpapan), dan belum termasuk penduduk pedesaaan (Saidi & Abidin, 2004: 89). Sementara itu, Khusus  untuk  dana zakat menurut beberapa penelitian akhir 1990-an diperoleh informasi  tentang jumlah  yang dibayarkan oleh masyarakat  perkotaan pada tahun 2004, diperkirakan mencapai Rp. 6,3 triliun. Survei yang mencakup  masyarakat kota dan  pedesaan yang dilakukan oleh  PB  (Pusat Budaya dan  Bahasa ) UIN Jakarta,  dalam periode yang sama  menunjukan  angka yang lebih tinggi, mencapai Rp. 14, 2 triliun, bahkan sampai Rp. 19, 3 triliun kalau ditambahkan dengan  sumbangan  in kind. Meskipun tingkatan kemiskinan semakin tinggi semenjak krismon (krisis moneter) 1997 lalu ternyata jumlah muzaki masih cukup signifikan mencapai 49, 8 % dengan tingkat ketaatan yang relatif tinggi  yaitu mencapai 95 %.  Rata-rata besarnya zakat yang dibayarkan pun tidak kecil, yakni Rp. 416.000/muzaki/tahun atau dari survei PBB UIN sebesar Rp. 409.276 ( Aflah & Tajang, 2006: 179).  Potensi  yang sangat besar tersebut ternyata  belum optimal dihimpun oleh BAZIS  dan LAZ. Menurut catatan Zaim Saidi dalam tulisanya  yang berjudul Membangun dengan  sedekah menemukan bahwa potensi zakat yang dihimpun oleh BAZIS  hanya mampu menggalang zakat sekitar 270 miliar/tahun. Dimana jumlah  BAZIS  sendiri ditingkat kabupaten ada 277, tingkat kecamatan berjumlah  3.160, dan tingkat desa /kelurahan  sebanyak 38.117 buah. Ini berarti tiap BAZIS rata-rata hanya mengumpulkan zakat dan sedekah sebesar Rp. 7 juta/tahun (Saidi & Abidin, 2004: 90). Sedangkan dana ZIS yang berhasil dihimpun oleh lembaga Amil Zakat (LAZIS) mampu menggalang sebesar Rp 2,5 – Rp. 15 Miliar/tahun/lembaga. Dari  enam  LAZIS yang disurvei, tiga di Jakarta (Yayasan Dompet Duafa, PKPU, dan  Baitul Muamalat), dua di Bandung (Darut Tahuid  Umul Quro) serta  satu di Surabaya  ( YDSF), terhimpun  dana sekitar 32 miliar ( tahun 2000)  atau rata-rata Rp. 5, 3 Miliar/ Lazis. Lebih lengkap lihat tabel berikut ini (Sumber: Zaim Saidi & Hamid Abidin, 2004. hal. 91):
Tabel 1: Perolehan Dana ZIS Enam LAZIS ( tahun 2000)
Lembaga
Perolehan  (Rp)/tahun
Yayasan Dompet Dhuafa
15 Miliar
Yayasan Dana Sosial Al Falah
3,5 Miliar
Yayasan Darut Tauhid
4,5 Miliar
Dompet Sosial Umul Qura’
2,5 Miliar
PKPU
3 Miliar
Baitulmaal Muamalat
4,2 Miliar

Dari beberapa penelitian  dan  perkiraan yang penulis paparkan terlihat  data makro  yang sangat kentara tentang potensi  yang  tersedia di dana ZIS  yang ada di masyarakat luas  untuk program pengentasan  kemiskinan secara nasional.  Bagaimana Jawa Timur? 
Menurut sepengetahuan penulis belum  tersedia data absolute yang memberikan gambaran  secara rinci potensi ZIS masyarakat Jawa Timur. Namun demikian, sebagai  ilustrasi, zakat fitrah yang rutin dilakukan umat Islam Jawa Timur dalam sekali Ramadhan saja terkumpul dana  Rp. 257, 63 miliar. Kalkulasi ini di dapat dari jumlah total penduduk Jawa Timur  (Rp. 37, 65 juta) dikurangi  penduduk miskin  (Rp. 7,13 juta) sehingga jumlah orang mampu  adalah Rp. 30, 53 juta. Jika umat Muslim Jatim adalah 90 persen, orang  yang tidak dikategorikan miskin berjumlah 27, 48 juta. Dengan asumsi anak belum baliqh sekitar 25 % ( sekitar 6,87 juta), orang mukallaf zakat  adalah Rp. 20,61 juta Jika setiap orang dikenakan zakat 2,5 liter beras dengan harga Rp. 5.000 perliter, berarti dana yang terkumpul dalam sekali momentum zakat fitrah adalah  20, 61 juta  jiwa X Rp 12,500 atau sebesar Rp. 257, 63 miliar. Nominal itu belum termasuk dengan zakat maal maupun dana-ibadah  sosial lainnya yang tentunya semakin berlipat ganda  (Kholid, dalam Kompas 21/9/07).
Apa Yang dikemukakan oleh Muh. Kholid A S  yang penulis sebutkan diatas  nampaknya relevan  dengan temuan sebuah penelitian yang dilakukan oleh  Bagong Suyanto dkk  tentang Model Pengentasan  Kemiskinan: Melalui Peran Serta Masyarakat Mampu di Pronvinsi Jawa Timur ( Karnaji & Sudarso, ed. 2005: 69), dengan mengambil sampel 200 masyarakat mampu di tiga kota di Jatim (Tuban, Nganjuk, serta Jember) menemukan bahwa bentuk amal  yang biasa dilakukan oleh masyarakat mampu  adalah  selalu  membayar zakat (81 %), infaq (42 %), serta sedekah (28 persen). Sedangkan waktu memberikan amal kepada  masyarakat miskin  adalah   selalu pada bulan puasa (60 persen), Idul qurban (18, 5 persen), serta hari raya keagamaan (37, 5 persen). Oleh karena melihat besarnya potensi ZIS di Jatim  yang sangat besar tersebut maka  tinggal  bagaimana bisa mengoptimalkan  penghimpunan dana ZIS dimasyarakat dan menemukan model penyaluran dana dengan program-program yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat miskin di Jawa Timur  sehingga masyarakat miskin di Jatim ini semakin berdaya.

Sasaran Model Pemberdayaan Masyarakat Miskin
Apabila Dana zakat yang  terkumpul baik oleh lembaga pengelola zakat, harus segera di salurkan kepada mustahiq sesuai dengtan skala prioritas yang telah disusun  dalam program Kerja. Zakat tersebut harus disalurkan kepada mustahiq  sebagaimana tergambar dalam surah At-Taubah: 60, sebagai berikut:
Pertama, Fakir miskin. Meskipun kedua kelompok ini  memiliki perbedaan yang cukup signifikan, akan tetapi dalam teknis operasional sering dipersamakan, yaitu mereka yang tidak memiliki penghasilan sama sekali, atau memilikinya akan tetapi tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan pokok dirinya dan keluarga yang menjadi tanggungjawabnya. Zakat yang disalurkan pada kelompok ini dapat bersifat konsumtif, yaitu untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya dan dapat pula bersifat produktif, yaitu untuk menambah modal usahanya. Kedua, Kelompok Amil atau petugas Zakat . Ketiga, Kelompok Muallaf. Yaitu kelompok orang yang dianggap masih lemah imannya, karena baru masuk Islam. Keempat, dalam memerdekakan budak belian. Artinya bahwa zakat itu antara lain harus digunakan untuk membebaskan budak belian dan menghilangkan segala bentuk perbudakan. Kelima, kelompok Gharimin, atau kelompok orang yang berutang, yang sama sekali tidak bisa melunasinya. Keenam, Orang yang berjuang menegakan agama Allah (fi sabililah). Ketujuh,  Ibnu Sabil, yaitu orang yang terputus bekalnya dalam perjalanan (Hafidhudin,2002:133-138). Dalam  penyaluran zakat  memang kaku (rigid ) dalam penyalurannya karena sudah ditetapkan ke dalam 8 asnaf tersebut. Namun demikian ada potensi dana lain yaitu Infaq, Shodaqoh dan wakaf , kalau  penyalurannya tepat sasaran dan ditunjang dengan program  yang berkesinambungan, dana ZIS akan dapat mengangkat  rakyat dari jurang kemiskinan. Sebagaimana dikatakan oleh DR. Yusuf   Al-Qardhawi, dalam  bukunya yang berjudul Norma dan Etika Ekonomi Islam ( 1997) bahwa zakat dapat memberikan solusi dalam masalah kemiskinan, pengangguran dan pemerataan ekonomi apabila dilakukan secara optimal. Dana penghimpunan zakat harus dilakukan secara efektif, dengan dukungan regulasi aparat  yang profesional. Serta  dalam pendayagunaan dilakukan paradigma ‘kemanfaatan’ dan ‘skala prioritas‘ harus menjadi pertimbangan  tersendiri bagi lembaga amil zakat  (Aflah & Tajang, 2006: 134).   

Model-Model Pemberdayaan Masyarakat Miskin di Jatim.
Melihat problem kemiskinan, potensi daerah serta memperhatikan apa yang dikatakan oleh ulama kontemporer Dr. Yusuf Al-Qardhawi  tentang perlunya azaz kemanfaatan dan skala prioritas  maka  menurut  penulis, untuk pemberdayaan  masyarakat miskin di Jawa Timur, dapat dilakukan dengan mengikuti model- model  berikut ini:

  1. Bantuan  Kredit fasilitas Modal Usaha serta Pembinaan bagi Nelayan
Banyak kajian telah membuktikan bahwa nelayan pada umumnya merupakan kelompok masyarakat yang tergolong paling miskin (Mubyarto,1984;Kusnadi, 2002). Dibandingkan  dengan petani sekali pun, nelayan umumnya tergolong lapisan paling miskin-meski tidak dapat dikatakan semua nelayan  pasti miskin. Sebagaimana diketahui sebagaian besar wailayah Jatim adalah pantai seperti di pesisir Selatan Jatim (Misalnya: Malang, Trenggalek, Pacitan) serta Pesisir Utara Jatim (misal: Gresik, Lamongan dan Tuban) serta daerah Madura, dimana sebagaian besar masyarakatnya bergantung kepada mata pencaharian sebagai nelayan dengan menangkap ikan. Sebagaimana tergambar  dalam data berikut ini tentang Jumlah nelayan dan Petani Ikan di Jatim (Jawa Timur dalam Angka 2001):  Perikanan  laut  ( 210.181), Anadon (9.934), Perairan Umum (40.383), Tambak (38.089) serta Sawah Tambak (47.182). Secara  Garis besar  Kemiskinan yang diderita masyarakat desa pantai bersumber  dari dua hal (Kusnadi: 2002: 4: Suyanto & Ariadi 2003:23): pertama, faktor alamiah, yakni berkaitan dengan fluktuasi musim-musim penangkapan dan struktur alamiah sumber daya ekonomi desa. Kedua, faktor non alamiah, yakni berhubungan  dengan keterbatasan daya jangkau teknologi  penangkapan, ketimpangan  dalam sistem bagi hasil dan tidak adanya jaminan sosial tenaga kerja yang pasti, lemahnya penguasaan jaringan pemasaran serta belum berfungsinya koperasi nelayan  yang ada, serta dampak negatif kebijakan  modernisasi perikanan yang telah berlangsung sejak seperempat abad terakhir ini. Sehingga  karena  kemiskinan itu terjadi penurunan jumlah nelayan dan petani ikan di Jawa Timur pada tahun 2001 menurun 1, 26 persen dibandingkan  pada tahun 2000 sebesar 445. 905 petani ( Suyanto & Ariadi 2003:48).Karena banyak diantara mereka beralih mata pencaharian atau merantau ke kota bagi yang masih muda. Oleh karena itu  dana  ZIS di Jatim sebaiknya salah satunya untuk menolong petani nelayan dengan program yang memberdayakan ekonomi mereka. Modal Pemberdayaan ekonomi nelayan setidaknya mencakup dua aspek: Pertama, berkaitan dengan dengan upaya peningkatan posisi tawar  (bargaining position) pelaku ekonomi rakyat melawan kekakuan  (rigidity) dan sifat eksploitatif  yang membelenggu mereka. Kedua, berkaitan dengan dengan upaya mengurangi kadar kerentanan dan sekaligus bagaimana memperkuat penyangga sosial-ekonomi keluarga pelaku ekonomi rakyat di desa pantai. Untuk itu perlu dilakukan beberapa langkah strategis berupa: (1) Perlunya mengubah paradigma pemberdayaan masyarakat pesisir yang semula lebih condong berorientasi pada peningkatan hasil produksi ke pola baru yang berorintasi pada propses produksi dan upaya deversifikasi usaha. (2) Perlunya mengembangakn program pemberdayaan yang bertumpu pada pranata-parata lokal yang bersumber dan memiliki akar kultural di masyarakat desa pantai itu sendiri. (3) Perlunnya penguatan dan pengembangan jaringan dan kelembagaan sosial ekonomi lokal. (4) Perluasan akses pelaku ekonomi rakyat terhadap sumber permodalan yang terjangkau, (5) Perlunya program asuransi sosial bagi pelaku ekonomi rakyat. Bentuk kegiatan model pemberdayaan  berupa: ( a) Pelatihan ketrampilan alternatif bagi komunitas desa pantai (b) pelibatan dan intensifikasi tenaga kerja keluarga untuk efisiensi  proses produksi  (c) Pembentukan pokmas  dan sentra produksi di lingkungan komunitas desa pantai.  (d) Peningkatan efektifitas dan pengguliran paket-paket bantuan modal usaha yang terjangkau oleh mereka. (e) Pemberdayaan forum pengajian  dan isntitusi local  lain untuk mengurangi kadar kerentanan kemunitas desa pantai  (Suyanto & Ariadi 2003:98-105).
  1. Bantuan Asuransi Sosial  dan Perlindungan Sosial Pada Masyarakat Lanjut Usia, Cacat dan Tuna Sosial.
Di provinsi Jawa Timur, kelompok PMKS (Penyandang masalah Kesejahteraan Sosial)  yang membutuhkan perhatian khusus  adalah para lansia  (lanjut Usia), penyandang cacat   dan tuna sosial  lainnya, khsusnya mereka yang secara  sosial terlantar  dan berasal dari keluarga miskin. Di Provinsi Jawa Timur lansia  tercatat sebanyak 6, 49 % dari total  jumlah penduduk dimana pada tahun  2003 berjumlah 188.759 jiwa serta pada tahun 2004 berjumlah 159.600 jiwa. Untuk penyandang cacat sebanyak 99.581 jiwa, dan  eks penyandang penyakit kronis 20.932 jiwa (Bappeprov Jatim 2006).  Lansia, Penyandang cacat acapkali menghadapi probelma kesehatan yang cukup menggangu-, bukan saja dihadapkan pada kenyataan hidup yang makin berat karena berkurangnya kemampuan dan tiadanya peluang untuk melakukan kegiatan yang sifatnya produktif. Tetapi, juga sering kali harus siap secara sosial-psikologis untuk mengalami diskriminasi, kehilangan atau paling tidak berkurangnya peran mereka karena kecatatan atau karena memasuki hari tua  dan tergantikan posisi mereka dengan generasi berikutnya.Oleh karena itu penulis melihat mereka cukup layak sebagai sasaran dalam model pemberdayaan  masyarakat  miskin di Jatim dengan menggunakan dana ZIS. Berikut ini ada beberapa program yang bisa dilaksanakan (Bappeprov Jatim 2006:84-85): (1)  Sosialiasasi program persiapan hidup sehat bagi kelompok Pra-Lansia. Hal ini dilakukan guna meningkatkan kemampuan adaptasi penduduk pra-lansia untuk menyangsong hari tua. (2) pelatihan dan pengembangan kesempatan kerja khusunya bagi lansia dan penyandang  cacat  (misalnya dengan memanfaatkan dana Comdev). Program ini memberikan kesempatan bagi lansia  dan penyandang cacat untuk bekerja. (3).Program jaminan sosial bagi lansia dan peyandang cacat miskin.hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan lansia dan penyandang cacat. (4) Program bantuan modal usaha lunak bagi lansia dan penyandang cacat miskin yang masih produktif. (5) Pengembangan program asuransi sosial bagi keluarga lansia dan penyandang cacat miskin. Sehingga bisa meningkatkan kemampuan penyangga ekonomi keluarga lansia dan penyandang cacat msikin (6) Subsidi kesehatan bagi lansia. Bertujuan untuk mengurangi beban  pengeluaran keluarga  lansia untuk perawatan kesehatan dan pengobatan.
  1. Beasiswa Pendididkan bagi  Anak sekolah untuk  keluarga Miskin
Pendidikan adalah sarana penting untuk meningkatkan kualitas suatu bangsa. Oleh karena itu perlu dipikirkan bagaimana pemerataan pendidikan dimasyarakat. Di Provinsi Jawa Timur masih banyak penduduk yang tidak bersekolah. Berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang dikeluarkan BPS Jawa Timur tahun 2005, jumlah penduduk Jatim usia 15 tahun  ke atas yang tidak atau belum sekolah mencapai 3,8 juta anak. Rata-rata mereka berasal dari daerah yang belum maju secara ekonomi seperti Jember, Sampang, Sumenep serta Banyuwangi. Selain itu, banyak pula penduduk yang meskipun bersekolah mengenyam sekolah dasar (SD) tetapi tidak menamatkannya. Jumlahnya mencapai 4, 3 juta anak. Mereka mayoritas  berasal dari daerah yang relatif belum maju secara ekonomi seperti Jember, Pasuruan, Banyuwangi, Probolinggo
(Kompas, 2/5/ 06). Lebih lengkap lihat Tabel berikut ini:

Tabel 2: Penduduk Usia 15 tahun ke Atas Yang tidak Pernah Sekolah
dan Yang Tidak Tamat Sekolah
Tahun
2001
2002
2003
2004
2005
Tidak Tamat SD
4.471.482
4.371.975
4.468.252
4.498.585
4.335.423
Tidak Pernah Sekolah
4.190.413
4.052.711
4.131.158
3.847.417
3.838.462
.Sumber: BPS Jatim, dalam  Kompas, 2/5/ 06.

Mengikuti angka-angka tersebut, penulis melihat bahwa pada daerah kantong-kantong kemiskinan banyak para anak-anak di Jawa Timur yang tidak bisa mengenyam pendidikan atau  putus di jalan ketika sekolah karena berbagai alasan. Oleh karena  Pada masa datang pendidikan mutlak di perlukan mereka guna tetap bisa survival di masa yang akan datang. Oleh karena itu  menurut hemat penulis dana ZIS  perlu disalurkan kepada  anak-anak dari keluarga kurang mampu  di kantong-kantong  masyarakat miskin.  Hal itu dilakukan berupa: (1) program beasiswa  prestasi bagi anak-anak kurang mampu, namun mempunyai prestasi di sekolah atau di bidang tertentu. Diharapkan dengan program ini akan menolong mereka yang berprestasi namun kurang secara ekonomi untuk mendapatkan masa depan yang lebih cerah. (2) Memberikan bantuan subsidi pendidikan, dalam artian bagi anak-anak yang tidak mampu tetapi prestasinya biasa saja diberikan  subsidi pendidikan. Misalnya berupa pembayaran SPP sebesar 50 persen yang dibayarkan. (3) Beasiswa berupa bantuan sarana pendidikan seperti bantuan seragam sekolah dan perlengkapan sekolah menjelang tahun ajaran baru sehingga orang tua yang tidak mampu tidak diambil pusing untuk memikirkan pendidikan anaknya ketika tahun ajaran baru.




  1. Pemberian Layanan Kesehatan Murah/Gratis kepada Masyarakat Miskin.
Persoalan paling pelik untuk  masyarakat miskin (dhuafa) salah satunya  adalah akses terhadap fasilitas pelayanan kesehatan yang relatif murah dan terjangkau. Menurut Agus Dwiyanto (dalam Baswir, 2003:96) Pelayanan kesehatan kasar dapat dibedakan menjadi dua yaitu: Pelayanan kesehatan preventif dan pelayanan kesehatan kuratif. Pelayanan kesehatan preventif seperti tingkat pelayanan imunasi, disamping usaha-usaha peningkatan kualitas kesehatan lingkungan dan penyuluhan kepada masyarakat mengenai arti penting kesehatan. Sedangkan jenis pelayanan  kuratif  meliputi pelayanan untuk pengobatan, seperti rumah sakit, puskesmas , puskesmas pembantu , klinik-klinik swasta , apotik serta took obat dan lainnya. Baik yang  diselenggarakan oleh pemerintah mapun swasta.
Namun demikian ternyata anggaran yang disediakan oleh pemerintah  sampai pada tahun 1990, besarnya yang dialokasikan hanya 2,5 persen saja dari PDB, sebuah angka yang kecil dibandingkan dengan standar WHO, ataupun jika dibandingkan dengan  dengan Negara Negara tetangga yang rata-rata  diatas 10 persen. Disamping itu hal melatarbelakangi diperlukan  sarana kesehatan yang murah bagi kaum miskin  adalah adanya mislokasi. Mislokasi ini dapat dilihat dari perbedaan aksessibilitas terhadap pelayanan kesehatan antara kelompok kaya dan kelompok miskin.. Perbedaan tersebut berimplikasi terhadap terjadinya ketimpangan serta pencapian pemerataan pembangunan kesehatan anatar kelompok dan wilayah. Juga berimplikasi pada terjadinya ketimpangan subsidi pemerintah. Padahal selama ini pembiayaan kesehatan sebagian berasal dari subsidi pemerintah (Agus Dwiyanto 1992, dalam Baswir,dkk: 2003:100). Menurut Agus Dwiyanto (1992) ketimpangan subsidi tersebut melahirkan bias dalam pembiayaan pelayanan kesehatan. Subsidi seharusnya dinikmati oleh kelokmpok masyarakat miskin atau wilayah daerah miskin. Kenyataanya subsidi itu justru lebih banyak dinikmati oleh kalangan menengah ke atas dan wilayah yang sudah relative makmur. Data  Susenas tahun 1978 sebagai contoh menunjukan bahwa  dari subsidi yang diberikan oleh Negara terhadap pasien puskesmas dan Rumah sakit, penduduk miskin hanya menikmati  19 persen dari total subsidi. Sisanya 81 persen dari subsidi pemerintah dinikmati oleh penduduk yang status sosial ekonominya telah mapan.
Keadaan ini diperparah dengan terjadinya bias anggaran yang bersumber dari masyarakat dan swasta. Iini ditunjukan dengan besarnya anggaran dari masyarakat dan swasta yang digunakan untuk pelayanan kuratif masyarakat  sebesar 92 persen. Berarti sebagian besar dana kesehatan yang bersumber dari masyarakat  dan swasta digunakan untuk mensubsidi kalangan menengah (Baswir,dkk: 2003:100-102).
Untuk kasus Jawa Timur Alhamdulilah anggaran kesehatan mencapai 11 persen  dari total APBDnya untuk tahun 2007 ini ( www.depkes.go.id) . Namun demikian  dana  sebesar itu belumlah ideal karena berapa  yang dialokasikan untuk kesehatan masyarakat miskin kita juga belum mengetahui secara pasti, karena itu merupakan baru  prosentase secara global. Oleh karena itu diperlukan program layanan murah bagi  masyarakat miskin agar mereka tetap sehat  dan tetap bisa bekerja untuk menghidupi keluarga. Sebagaimana dikatakan oleh Chambers (1983) bahwa salah satu persoalan yang paling rawan dengan kaum papa adalah biaya untuk kesehatan, karena penghasilan mereka banyak terserap untuk kebutuhan sehari-hari. Berikut ini program  yang dapat dilaksanakan : Pertama, mendirikan klinik kesehatan sosial  yang murah  dikantong kantong daerah miskin. Hal ini diperlukan agar masyarakat miskin mudah mengaksesnya. Kedua, Memberikan subsidi obat  kepada kaum  miskin, dengan demikian  harga obat relatif terjangkau bagi mereka.Sehingga dengan langkah itu menjadikan kaum miskin dapat menikmati sarana kesehatan secara lebih baik  dana dana  ZIS pun tepat sasaran.

  1. Pemberian Modal Kerja dan Pembinaan Rohani  kepada komunitas PKL
Pedagang Kaki Lima (PKL)  selama ini menempati posisi dilematis, di satu sisi para pedagang PKL sukses meningkatkan kemandirian  perekonomian  rakyat miskin serta mampu menyerap tenaga kerja sangat banyak karena mampu menciptakan lapangan kerja yang tak terbatas jumlahnya. Serta mampu mendukung industri secara makro dan mampu meningkatkan pendapatan asli daerah. Tapi disisi lain Mereka para PKL sering dipandang sebagai ‘penyakit kota’ (mengganggu kebersihan, keindahan, ketertiban  dan kelancaran lalu lintas) dan kegiatannya sering kali menggunakan wilayah-wilayah yang secara hukum dilarang, seperti  taman kota, halaman  toko orang lain dll. Oleh karena Badan Amil Zakat (BAZ) ataupun Lembaga Amil Zakat (LAZ)  yang ada di Jawa Timur  mempunyai tanggung Jawab untuk membina mereka. Setahu kami baru lembaga seperti Yayasan Nurul Hayat yang membina tukang becak  yang ada disekitarnya, yang sudah dilaksanakan atau seperti perkampungan pemulung seperti yang dilakukan YDSF. Sedangkan untuk membina pedagang PKL  belum tersentuh. Padahal Potensinya sangat besar karena hampir di setiap kota  besar ada pedagang PKL. Misalnya, di Surabaya  terdapat  lebih dari 15 ribu  pedagang kaki lima, bahkan mereka telah membentuk paguyuban  PKL : yang tercatat di PKL Embong Blimbing, Rukun Mulyo, Kepanjen, Setail , dan Karah serta PKL Indrapura. Dimana 60 % dari mereka bukan penduduk asli Surabaya tapi berasal dari Madura, Mojokerto, Bojonegoro, Padang, Kalimantan, Jawa Tengah serta daerah lainnya di Indonesia (Alisyahbana, 2003:125). Oleh karena itu diperlukan  program pembinaan sebagai berikut: (1) program peningkatan manejerial kepada para pedagang PKL. (2) memberikan bantuan modal bagi para pedagang PKL yang prospektif. (3) Membantu dalam hal pemasaran  dengan menjembatani mereka dengan pemkot dan pedagang sektor formal maupun koperasi. (3) memberikan pelatihan kewirausahaan serta  keterampilan usaha di sektor formal. (4) melibatkan mereka dalam  forum keagamaan sehingga mereka tetap bisa menjaga akidahnya di bawah tekanan arus perkotaan. Sehingga dengan demikian mereka lebih berkembang lagi di masa akan datang dan dapat survival dalam sektor formal.

  1. Penyediaan dana Siap Pakai  dan Tanggap Bencana
Penyediaan dana siapa pakai dan Tanggap bencana ini penting dilakukan karena di Jawa Timur dalam tiga tahun terakhir banyak mengalami bencana (Statistik Potensi Desa Jatim 2005;88): Tanah longsor (556 kali), Banjir (1138 kali), Banjir Bandang (165 kali), Gempa bumi ( 96 kali). Sedangkan Menurut Statistik Potensi Desa Jatim 2005 di Jawa Timur ada banyak daerah yang rawan bencana (1417 desa rawan bencana), meliputi tanah longsor (478 daerah), Banjir (894 daerah), Banjir Bandang (111 daerah), Gempa bumi (35 daerah) serta abrasi pantai (47 daerah). Oleh karena mutlak diperlukan dana siap pakai dan tanggap bencana agar para korban bencana langsung dapat mendapatkan pertolongan. Hal itu dimungkinkan dengan mengambil dari dana infaq dan shodaqoh masyarakat yang  penggunaannnya lebih fleksibel (lentur dibandingkan zakat).  Potensi untuk  menyediakan dana inipun besar  karena dimana setiap  ada bencana, infaq dan bantuan masyarakat   mengalir deras. Sebagai bukti misalnya  saat terjadi banjir beberapa media langsung kebanjiran donasi masyarakat. Misalnya program dana kemanusian Kompas, memperoleh dana tidak kurang dari Rp. 1,13 Miliar hanya dalam tempo 10 hari. Sementara perolehan dana pundi amal SCTV  melonjak sampai Rp. 3 miliar (Saidi & Abidin. 2004: 27). Program ini  dapat dilakukan dengan: Pertama, menyisihkan  dana  infaq dan shodaqoh masyarakat  kedalam rekening khusus dana  siap pakai dan  tanggap bencana. Kedua, menyosialisasikan program tersebut lewat penggalangan dana lewat adanya program khusus penggalangan dana bencana. Sehingga diharapkan begitu ada bencana LAZ dan BAZ tidak usah menunggu menggalang dana masyarakat untuk membantu mereka yang terkena bencana sehingga jadi ‘OMB’ (orang miskin baru) dengan terlebih dahulu  harus menggalang dana  dimasyarakat.

Penutup
Apa yang diuraikan secara panjang lebar di atas tentang model pemberdayaan masyarakat miskin di Jawa Timur, mengacu kepada apa  yang oleh Robert Chambers  (1983)  disebut dengan konsep kemiskinan terpadu (integrated poverty). Dimana kaum miskin mengalami lima “ketidakberuntungan”  sebagaimana yang dikenal perangkap kemiskinan (Soetrisno,1997:18). Sehingga apa yang penulis ungkapkan tentang model pemberdayaan masyarakat miskin Jawa Timur juga mengacu kepada bagaimana memberdayakan masyarakat miskin secara terpadu baik itu dari segi pemberdayaan dan karitas.Dimana model pemberdayaan mulai 1-5 mewakili model pemberdayaan masyarakat Jawa Timur yang mengandung aspek kesinambungan serta no 6 mewakili aspek pemberdayaan masyarakat dari aspek karitas yaitu modal pemberdayaan kepada masyarakat miskin yang harus segera diberikan pertolongan dan ketika terjadi bencana.
Disamping itu apa yang dijelaskan tentang  model pemberdayaan masyarakat miskin Jawa Timur juga memperhatikan  budaya lokal yang ada di masyarakat lokal sehingga apa yang ditawarkan menjadi sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat. Wallahu a’lam bis-shawab.     





Daftar Pustaka
Alisyahbana. Urban Hidden Economy: Krisis Tersembunyi Sektor Informal Perkotaan. Surabaya.ITS. 2003 
Bagong Suyanto & Septi Ariadi, (ed). Kajian Model Pemberdayaan Ekonomi Rakyat. Surabaya:Balitbangda Jatim. 2003
Bappeprov Jatim.  Penyusunan Program Perlindungan Sosial Pada Mansyarakat Lanjut Usia, Cacat dan Tuna Sosial di Jawa Timur. Surabaya. 2006
Didin Hafidhudin, Zakat dalam Perekonomian Modern. Jakarta: Gema Insani Pres. 2002
BPS Jawa Timur. Statistik Potensi Desa Provinsi Jawa Timur. Surabaya. 2005
Karnaji & Sudarso, (ed). Analisis Prioritas Program-Program Pengentasan Kemiskinan di Jawa Timur. LPKM UNAIR dan Bappeprov Jatim. Surabaya.2006
Kuntarno Noor Aflah & Mohd. Nasir Tajang, (ed) Zakat & Peran Negara. Jakarta: Penerbit FOZ. 2006
Karnaji &Sudarso, (ed). Penelitian Pengentasan Kemiskinan: Melalui Peran Serta Masyarakat Mampu di Jatim. Surabaya: Lemlit UNAIR dan Balibangda Jatim. 2005
Loekman Soetrisno, Kemiskinan, Perempuan, dan Pemberdayaan. Yogyakarta. Kanisius. 1997
Muh. Kholid AS. Fungsionalisasi Religiusitas Filantrofis. Kompas, 21 September 2007
Revrisond Baswir, dkk. Pembangunan Tanpa Perasaan. Jakarta:Penerbit ELSAM. 2003
Rofi’ Munawar, Mengevaluasi Program Mengatasi Kemiskinan Jawa Timur. Kompas, 7 September 2007
Zaim Saidi &Hamid Abidin, Menjadi Bangsa Pemurah. Jakarta: PIRAC & Ford  Foundation. 2004


***
*Makalah ini  pernah dipresentasikan  di Lomba  LKTI  tentang Zakat dan Pengentasan Kemiskinan di BAZ  Jatim dan memeproleh juara  II.  

Tidak ada komentar: