Rabu, 26 Agustus 2015

Kepemimpinan Pemuda: Antara Potensi, Sarana, dan Problematiknya

Kepemimpinan Pemuda: Antara Potensi, Sarana, dan Problematiknya*
 Oleh : Untung Dwiharjo 
Peran pemuda untuk memimpin masa depan sebuah bangsa sudah tidak terelakan lagi. Pemuda telah membuktikan peran yang menonjol dalam memimpin gerakan  sosial dan revolusi. Reformasi di Inggris dan Perancis, AS, Kuba, China serta berbagai bangsa lain, semuanya telah ditandai oleh partisipasi kepemimpinan pemuda. Peranan kepemimpinan pemuda demikian menonjol di Jerman sebelum perang dunia kedua (PD II). Peran kepemimpinan pemuda juga terlihat dalam menggulirkan pemerintahan otoriter seperti di Venezuela (1958), Jepang (1960), Vietnam Selatan (1963), Bolivia (1964), dan pada tahun 1964 di Sudan dan Indonesia pada tahun 1966. (Lauer, 1993:371-372).
Peran kepemimpinan pemuda dalam konteks Indonesia pun sudah diakui dalam proses perjalanan Bangsa Indonesia, terutama dalam peta percaturan politik nasional. Misalnya pada tahun 1908 pemuda Indonesia memimpin bangkitnya nasionalisme masyarakat Indonesia. Lalu disusul dengan angkatan 1928 sebagai generasi “Sumpah Pemuda”. Angkatan ’45, yaitu angkatan Kemerdekaan. Kemudian  muncul angkatan 66 pasca tragedi nasional tahun 1965 yang lalu melahirkan Orde Baru (Raillon.1989:3). Paling baru adalah kepemimpinan pemuda Indonesia yang rata-rata mahasiswa dalam menumbangkan Orde Baru setelah terjadi krisis multidimensional, yang  terkenal dengan angkatan ‘98.  Sehingga dalam khasanah kepemimpinan pemuda  Indonsia  muncul pemimpin Bangsa seperti Sukarno, Moh. Hatta, Natsir, Syahrir, Akbar Tanjung sebagai pioner dalam memunculkan kiprah  pemuda dalam percaturan perpolitikan Nasional.      

Mengapa?  Karena setidaknya pemuda  mempunyai karakteristik khusus  yang menunjang sosok pemuda sebagai calon pemimpin masa depan sebuah bangsa. Pertama, Pemuda merupakan generasi yang relatif bisa menjaga  sikap idealismenya, karena  relatif belum terkontaminasi oleh kepentingan (interest) sesaat.  Seperti tuntutan ekonomi dan syahwat politik yang  besar. Kedua, Pemuda relatif mempunyai umur dan kesempatan yang lebih banyak untuk mengembleng pengembangan dirinya. Baik melalui pelatihan dan kegiatan di sekolah, organisasi kemasyarakatan dan sebagainya. Ketiga, Pemuda merupakan kaum terdidik dalam kelompok  masyarakat yang memperoleh pendidikan terbaik sehingga memperoleh horizon yang luas diantara lapisan masyarakatnya. Keempat, Pemuda adalah kelompok yang akan menempati atau memasuki lapisan atas dari susunan  kekuasaan, perekonomian dan prestise di Masyarakat. Kelima, Pemuda adalah kelompok masyarakat yang mempunyai sosialisasi politik yang cukup panjang. (Sanit.1995:79-80)

Tujuh Sarana Rekruitmen Kepemimpinan Pemuda
Untuk itulah melihat besarnya potensi pemuda sebagai seorang calon pemimpin bangsa. Apalagi menurut data Warta Ketenagakerjaan terjadi peningkatan jumlah usia pemuda dari tahun 1999-2003. Dimana tahun 1999 pemuda yang berumur 15-24 tahun berjumlah 19,14 juta, kemudian meningkat menjadi 39,8 juta pada tahun 2003 (Titin Supenti, 2004)  Maka diperlukan media atau sarana guna meretas jalan bagi para pemuda untuk menjadi seorang pemimpin. Salah satu sarana  yang dapat dipakai pemuda untuk bermetamorfosis menjadi seorang pemimpin adalah Partai Politik. Karena di Partai politik terjadi proses rekruitmen politik, dimana partai bisa menyeleksi calon peminpin masa depan dari kaum pemuda yang potensial untuk didik menjadi anggota parpol. Kemudian setelah pemilu dari perolehan suara nantinya pemuda yang terpilih  bisa menjadi anggota legislatif  atau bahkan menjadi  pemimpin eksekutif untuk menentukan masa depan bangsa. Fakta ini hampir terjadi di seluruh belahan dunia. Dalam lingkup Indonesia bisa dicontohkan  misalnya naiknya Presiden Sukarno, dulu sebelum menjadi presiden  RI adalah  pendiri Partai  Indonesia (Indiche Party) kemudian pada masa  pemerintahannya Sukarno  memimpin  partai PNI. Demikian juga  Syarir dan Moh Hatta dengan partai PSI serta  M. Natsir dengan  partai  Masyuminya.
Kedua,sarana selanjutnya adalah Lembaga Pendidikan Tinggi (PT). Hal itu karena  Perguruan tinggi menghasilkan pemuda dengan kualifikasi dan intelektual yang memadai, karena di dalam PT terjadi proses penggemblengan baik secara akademis maupun kepemimpinan. Seperti ada mata kuliah  kepemimpinan dan di PT  ada organ yang melatih kepemimpinan pemuda, misalnya Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dan Badan Legislatif Mahasiswa (BLM) dan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM). Contoh yang secara gamblang  menjelaskan  ini adalah  proses   Sukarno  menjadi pemimpin RI pertama, pada mulanya adalah pemuda yang telah mengalami pendidikan terbaik yaitu  sebagai mahasiswa  teknik di ITB. Sehingga dari tempatnya kuliah dirinya memperoleh bekal dasar pengetahuan dan kepemimpi nannya kelak menjadi presiden. Demikian juga M. Hatta, memperoleh pendidikan di Belanda  sebagai bekal menapaki kepemimpinan  bangsa Indonesia pada awal kemerdekaan tahun  1945.
Ketiga, sarana  penguasaan Teknologi Informasi (IT). Sarana ini  khususnya pada masa sekarang (Abad 21) dimana  terjadi revolusi  teknologi informasi, maka penguasaan  teknologi informasi yang mumpuni oleh seorang pemuda, bisa mengantarkannya menjadi pemimpin dunia. Hal itu telah dibuktikan oleh Bill Gates (AS) yang berhasil menjadi pemimpin dunia teknologi informasi dengan Microsofnya telah hampir menguasai dunia teknologi  terutama dalam hal perangkat lunak (software) komputer. Sehingga dalam usia muda dirinya tercatat sebagai pemuda yang mempunyai kekayaan besar (salah satu orang terkaya di dunia) dibanding kebanyakan pemuda seusianya.
Keempat,Sarana bidang Pemerintahan.  Sarana ini dipakai bagi pemuda yang meretas jalan di jalur birokrasi, dimana ada penjenjangan secara terstruktur sehingga pemuda yang berbakat  akan mempunyai kesempatan lebih banyak untuk naik ke jenjang yang lebih tinggi.
Kelima, media lainnya adalah Organisasi Kepemudaan. Sarana ini memberikan pembelajaran kepemimpinan  secara lebih dini kepada kaum muda untuk  menjadi pemimpin  masa depan. Untuk konteks Indoensia  misalnya  misalnya organisasi kelompok  Cipayung  yang di dalamnya HMI, PMII, GMNI, GMKI dan PMKRI. Demikian juga   IMM dan KAMMI. Organiasi kepemudaan semacam KNPI, AMPI  dan lainnya  menjadi juga  “produsen” kepemimpinan pemuda di tanah air. Tengok karir politik Akbar Tanjung  meroket  setelah  menjadi Ketua Umum PB HMI, sebuah organisasi Islam terkemuka waktu itu. Demikian juga  pendahulunya  cendekiawan mulsim almarhum Nurcholis Majid, karirnya sebagai seorang pemikir  terkemuka di Indoensia  bermula ketika dirinya menjadi ketua umum  dua kali berturut di PB HMI. Tokoh-tokoh terkemuka sekarang ini, juga dulunya merupakan seorang pemuda yang bergabung  dengan organisasi kepemudaan tersebut. 
Keenam, sarana  LSM (NGO), LBH   dan  organisasi non pemerintah lainnya  juga banyak melahirkan  kepemimpinan pemuda. Sebut saja misalnya  Adnan Buyung Nasution dan  Todung Mulya Lubis  atau kasusnya sekarang lagi ngetren alamrahum Munir  adalah  nama pemimpin  dalam bidangnya yang sejak muda memulai karir dari LBH atau YLBHI.  
Terakhir, Sarana melalui jalur  pengusaha menjadi wiraswasta. Sarana ini bisa menampung karir pemuda yang  memang berminat menjadi pengusaha. Hal ini didukung oleh iklim bisnis  didunia  yang sedang berkembang. Sebagaimana pernah  dikatakan Anis Baswedan  bahwa ke depan tampuk kepemimpinan  akan dipegang oleh  orang  yang mempunyai  kapital. Untuk saluran kepemimpinan pemuda melalui jalur pengusaha ini menurut hemat penulis  akan banyak berperan.  Karena  secara ekonomis pengusaha  kuat dalam jaringan dan terutama modal (uang). Hal itu didukung  oleh sebuah temuan  survei Litbang Kompas (dimuat Kompas, 10 Juni 1997) yang menjaring 1.000 siswa kelas III SMU dari kota besar di Indonesia: Medan, Jakarta, Bandung, Semarang, Jogyakarta, Surabaya, Denpasar dan Ujungpandang. Ternyata ditemukan sebanyak 56, 3 % dari mereka ternyata ingin menjadi pengusaha, sementara kurang dari 10 % ingin menjadi ilmuwan, peneliti, pegawai, wartawan dan profesi lainnya. Bahkan tidak sampai 1% yang ingin menjadi guru (Mulyana,1999:42).Hal ini sebagai mana kita lihat pada sosok  Wapres  Jusuf  Kalla dirinya sebelum menjadi  Wakil Presiden sebagaimana sekarang terkenal sebagai seorang pengusaha yang sukses.                           
Tentu saja sarana-sarana yang saya sebutkan di atas bisa saling bertumpang tindih dan saling berkolaborasi dalam menunjang karir kepemimpinan pemuda.  Misalnya  hal ini terjadi pada beberapa kasus kepemimpinan pemuda pada tahun 1966, ada sebagian pemuda yang memegang kepemimpinan nasional adalah  seorang pengusaha sekaligus aktifis gerakan.




Problematik Kultural dan Struktural
Tetapi, ternyata sarana-sarana itu tidak serta merta dapat mengantarkan seorang pemuda menjadi seorang pemimpin dibidangnya. Karena ada problematik terhadap mekanisme rekruitmen kepemimpinan pemuda berupa hambatan kultural dan struktural di masyarakat kita.  Hambatan kultural yang  masih dirasakan sampai saat ini  adanya budaya patrimonial (senioritas). Hambatan  senioritas  masih sangat kental sampai saat ini  dimana seorang pemuda  harus menunggu giliran  untuk memangku suatu jabatan  tertentu, sampai seniornya pensiun. Budaya senioritas ini membuat mobilitas vertikal kepemimpina pemuda  pemuda menjadi tersendat.  Karena  pucuk-pucuk pimpinan dipegang oleh generasi tua yang  biasanya  bersifat konservatif  dan status quo. Hambatan selanjutnya  adalah budaya  KKN yang masih melanda dalam rekruitmen  kepemimpinan. Budaya ini walaupun selepas reformasi 1998 lalu tidak sekental pada masa Orde Baru tapi budaya ini masih menghinggapi  proses rekruitmen kepemimpinan di berbagai tingkat struktur masyarakat. Misalnya proses  pergantian pejabat di berbagai daerah bahkan nasional masih diwarnai oleh proses KKN. Dimana yang dipilih untuk menggantikan   posisi  tertentu atau terpuilih adalah orang yang  secara emosional dekat, atau teman sekolah, atau masih saudara. Budaya ini memang tidak bis adisalahkan, karena ini bertujuan untuk menjaga kekompakan kerja atau  mengetahui track record   yang akan dipilih.
 Tetapi apabila mekanisme ini dipakai diseluruh sistem rekruitmen  kepemimpinan, maka yang terjadi adalah memeinjam bahasa Samuel Huntington (1991) dengan political decay (pembusukan politik) dari dalam. Sebagaimana yang terjadi dengan  pemerintahan Soeharto  selama 32 tahun dikala menghadapi tekenan krisis ekonomi dan dorongan reformasi dari mahasiswa.  Kemudian adanya  budaya like dan dislike yang masih banyak dipakai pada kasus pemilihan  kepemimpinan. Sehingga misalnya ada seorang pemuda yang mempunyai kemampuan tetapi tidak disukai oleh sang senior atau pemimpin  amak karir pemuda tadi tidak akan mulus karena akan dieliminasi atau menjadi stagnan karirnya. Demikian pula adanya  arus budaya dari luar yang menggerus nilai jatri diri pemuda,  sebagai  harapan bangsa  serta calon-calon pemegang tampuk kepemimpinan. Seperti budaya  free sek (seks bebas), tawuran pelajar, narkoba,  yang  mengkhawtirkan bagi proses  regenerasi kepemimpinan pemuda di masa yang akan datang.
Selain itu, faktor budaya lain yang cukup dominan adalah adanya  gap generasi (generation gap) antara  generasi muda (pemuda) dengan generasi tua pendahulu. Dimana muncul  dalam bentuk perbedaan penafsiran  tentang cara pengaturan kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Kaum tua selalu berusaha meyakinkan bahwa pengalaman hidup mereka selama ini adalah pedoman paling tepat bagi kaum muda untuk menempuh bahtera kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Sebaliknya,  kaum muda  bersikeras  bahwa “sikon” yang berbeda memerlukan “aturan main” dan perangkat yang berbeda pula. Begitulah, masalah besar yang muncul  adanya perbedaan tentang yang “pas” atau setidaknya mekanisme yang diciptakan kaum tua bagi kehidupan kaum muda di masa yang akan datang  dan tentang bagimana  peranan kaum muda  dalam masa tranasisi (baca: reformasi) menuju masa depan (Mas’oed, 2003:195-196). Contoh  yang  paling gamblang menjelaskan fenomena ini menurut hemat saya adanya perbedaaan sudut pandang antara generasi tua dan muda dalam menyikapi  amandemen (perubahan) UUD 1945 beberapa waktu yang lalu, yang juga sempat menjadi polemik di media massa.   Selanjutnya,  adanya segregasi kaum muda dari kenyataan hidup masyarakatnya dan kegagalan sosialisasi politik mereka. Sebagaimana dikatakan oleh Mohtar Mas’oed (2003:197-198) bahwa sekarang berkembang dikalangan sebagian besar kaum muda perasaan diri tidak bermakna dalam politik, sangat berkurangnya “greget” uuntuk ikut serta  menyelesaikan masalah masyarakatnya , berkembangnya  alienasi, sinisme, dan terutama dikalangan  kaum muda berada kecenderungan berperilaku hedonistik. Walaupun fenomena ini  setelah pasca reformasi 1998 lalu, berkurang, tapi apa yang dikemukakan Mohtar Mas’oed itu untuk beberapa bagian tidak terbantahkan.
Sedangkan secara struktural, hambatan itu adalah adanya sirkulasi elit yang agak macet di tingkat negara. Hal ini terjadi karena rata-rata kepemimpinan nasional di huni tokoh tua yang bermur rata-rata  diatas 60 tahun. Misalnya hal itu tercermin dalam setiap pemilu  tokoh yang maju  dalam Pilpres adalah tokoh-tokoh lama  tanpa ada alternatif tokoh lainnya yang relatif masih muda secara usia. Sehingga  apa yang diungkapkan oleh presiden PKS  Tifatul Sembiring, dalam acara Temu Kader dan dan Simpatisan PKS di Kabupaten Kutai Kertanegara-Kaltim untuk mengusung tokoh   muda yang tidak lebih 50 tahun untuk maju dalam pilpres 2009 (Kompas, 27/8/07)  patut di apresisi. Karena apabila hal itu  benar dilakukan akan  mendorong gerbong kepemimpinan pemuda  ke tampuk pimpinan secara lebih cepat.
Walaupun pemuda telah banyak yang terjerumus ke dalam persoalan sosial sebagai imbas modernisasi (baca: free seks, narkoba dsb). Tapi beberapa prestasi pemuda dan pelajar  Indonesia juga telah menunjukan estafet kepemimpinan pemuda terhadap  masa depan bangsa Indonesia. Sebut  misalnya prestasi pelajar Indoensia yang tergabung dalam tim Olimpiade Fisika dalam keikutsertaanya dalam Olimpiade Fisika dengan merebut medali emas. Demikian  juga  prestasi pemuda  Indonbesia dalam Olimpiade  Biologi beberapa waktu yang juga sangat  membaggakan.  Atau prestasi pecatur yunior pasca era Utut Adianto, menunjukan proses regerasi kepeimpinan pemuda sebenaranya tetap terus berjalan. Dari prestasi yang telah ditorehkan oleh pelajar Indoensia itu, sebenarnya mereka (baca: prestasi pemuda) merupakan bibit-bibit unggul calon  penerus kepemimpinan nasional oleh kaum muda dimasa yang akan datang. Sekalipun mungkin kita tidak akan menghasilkan tokoh  kepemimpinan pemuda sekaliber Soekarno yang jago dalam orasi, Hatta yang mempuni dalam ilmu pengetahuan tapi rendah hati, atau Soeharto yang bertranformasi dari pemuda yang kurang diperhitungkan  menjadi seorang pemimpin negara yang menjadi salah satu terlama  di dunia.
Oleh karena itu, pemuda  sebenarnya mempunyai potensi untuk menjadi aktor politik bukan hanya spectator (penonton) publik saja terhadap kepemimpinan masa depan sebuah negara, meminjam istilah Cak Nur dengan daya dobrak psikologis  untuk menjadi  pemimpin masa depan.Sebagaimana dikatakan Arbi Sanit (1988:xv) pemuda dengan potensinya sebagai agen perubahan dan selaku calon pemimpin serta pengelola negara yang menjamin kehadiran mereka di tengah kehidupan politik.  Maka pada abad 21 ini  dengan menguasai IPTEK  maka pemuda akan menjadi motor masa depan bangsa Indonesia.  Tapi kiranya  pengalaman sejarah aktivis angkatan 66 pada masa pengulingan rezim Soekarno yang terjerembab ke dalam sistem yang kemudian banyak melunturkan idealisme  kepemimpinan pemuda  kiranya  menjadi bahan renungan dan  pelajaran dari para pemuda Indonesia kini agar gejela serupa tidak  mendera kepeminan pemuda dimasa yang akan datang. Sehingga ke depan benar-benar pemuda yang jujur dan dilandasi nilai ketuhanan serta memiliki moral yang baik yang akan memegang tampuk kepemimpinan nasional di masa datang. Semoga!!       






Kepustakaan
Arbi Sanit. Sistem Politik Indonesia: Kestabilan, Peta Kekuatan Politik dan Pembangunan. Jakarta: Rajawali Pers. 1995
Arbi Sanit. Politik Mahasiswa di Antara Ideologi dan Institusionalisasi Politik atau Kekuasaan.Kata Pengantar dalam Philip.G Altbach. Politik dan Mahasiswa:Perspektif dan Kecenderungan Masa Kini. Jakarta: Yayasan API & PT. Gramedia. 1988.
Dedy Mulyana, Nuansa-Nuansa Komunikasi. Rosda. 1999.       
Francois Raillon. Politik dan  Ideologi Mahasiswa Indonesia. Jakarta: LP3ES. 1989.
Mohtar Mas’oed. Negara, Kapital dan Demokrasi. Pustaka Pelajar. 2003
 Robert H. Lauer. Perspektif Perubahan Ssosial.  Jakarta: Rineka Chipta. 1993
Titin Supenti, Kondisi Tenaga Kerja Pemuda. Dalam Warta Ketenagakerjaan.  November-Desember 2004 

*Makalah ini pernah dikirimkan  untuk  lomba Karya Tulis Ilmiah  untuk Lomba  esai Kepemudaaan Kemenpora 

Tidak ada komentar: