Kepemimpinan
Pemuda: Antara Potensi, Sarana, dan Problematiknya*
Oleh : Untung Dwiharjo
Peran pemuda untuk memimpin masa depan sebuah bangsa
sudah tidak terelakan lagi. Pemuda telah membuktikan peran yang menonjol dalam
memimpin gerakan sosial dan revolusi.
Reformasi di Inggris dan Perancis, AS, Kuba, China serta berbagai bangsa lain,
semuanya telah ditandai oleh partisipasi kepemimpinan pemuda. Peranan
kepemimpinan pemuda demikian menonjol di Jerman sebelum perang dunia kedua (PD
II). Peran kepemimpinan pemuda juga terlihat dalam menggulirkan pemerintahan
otoriter seperti di Venezuela (1958), Jepang (1960), Vietnam Selatan (1963),
Bolivia (1964), dan pada tahun 1964 di Sudan dan Indonesia pada tahun 1966.
(Lauer, 1993:371-372).
Peran kepemimpinan pemuda dalam konteks Indonesia pun
sudah diakui dalam proses perjalanan Bangsa Indonesia, terutama dalam peta
percaturan politik nasional. Misalnya pada tahun 1908 pemuda Indonesia memimpin
bangkitnya nasionalisme masyarakat Indonesia. Lalu disusul dengan angkatan 1928
sebagai generasi “Sumpah Pemuda”. Angkatan ’45, yaitu angkatan Kemerdekaan.
Kemudian muncul angkatan 66 pasca
tragedi nasional tahun 1965 yang lalu melahirkan Orde Baru (Raillon.1989:3).
Paling baru adalah kepemimpinan pemuda Indonesia yang rata-rata mahasiswa dalam
menumbangkan Orde Baru setelah terjadi krisis multidimensional, yang terkenal dengan angkatan ‘98. Sehingga dalam khasanah kepemimpinan
pemuda Indonsia muncul pemimpin Bangsa seperti Sukarno, Moh.
Hatta, Natsir, Syahrir, Akbar Tanjung sebagai pioner dalam memunculkan kiprah pemuda dalam percaturan perpolitikan
Nasional.
Mengapa? Karena setidaknya
pemuda mempunyai karakteristik
khusus yang menunjang sosok pemuda
sebagai calon pemimpin masa depan sebuah bangsa. Pertama, Pemuda
merupakan generasi yang relatif bisa menjaga
sikap idealismenya, karena
relatif belum terkontaminasi oleh kepentingan (interest)
sesaat. Seperti tuntutan ekonomi dan
syahwat politik yang besar. Kedua,
Pemuda relatif mempunyai umur dan kesempatan yang lebih banyak untuk
mengembleng pengembangan dirinya. Baik melalui pelatihan dan kegiatan di
sekolah, organisasi kemasyarakatan dan sebagainya. Ketiga, Pemuda
merupakan kaum terdidik dalam kelompok
masyarakat yang memperoleh pendidikan terbaik sehingga memperoleh
horizon yang luas diantara lapisan masyarakatnya. Keempat, Pemuda adalah
kelompok yang akan menempati atau memasuki lapisan atas dari susunan kekuasaan, perekonomian dan prestise di
Masyarakat. Kelima, Pemuda adalah kelompok masyarakat yang mempunyai
sosialisasi politik yang cukup panjang. (Sanit.1995:79-80)
Tujuh Sarana Rekruitmen Kepemimpinan Pemuda
Untuk itulah melihat besarnya potensi pemuda sebagai
seorang calon pemimpin bangsa. Apalagi menurut data Warta Ketenagakerjaan terjadi
peningkatan jumlah usia pemuda dari tahun 1999-2003. Dimana tahun 1999 pemuda
yang berumur 15-24 tahun berjumlah 19,14 juta, kemudian meningkat menjadi 39,8
juta pada tahun 2003 (Titin Supenti, 2004) Maka diperlukan media atau sarana guna meretas
jalan bagi para pemuda untuk menjadi seorang pemimpin. Salah satu sarana yang dapat dipakai pemuda untuk bermetamorfosis
menjadi seorang pemimpin adalah Partai Politik. Karena di Partai politik
terjadi proses rekruitmen politik, dimana partai bisa menyeleksi calon peminpin
masa depan dari kaum pemuda yang potensial untuk didik menjadi anggota parpol.
Kemudian setelah pemilu dari perolehan suara nantinya pemuda yang terpilih bisa menjadi anggota legislatif atau bahkan menjadi pemimpin eksekutif untuk menentukan masa
depan bangsa. Fakta ini hampir terjadi di seluruh belahan dunia. Dalam lingkup
Indonesia bisa dicontohkan misalnya
naiknya Presiden Sukarno, dulu sebelum menjadi presiden RI adalah
pendiri Partai Indonesia (Indiche
Party) kemudian pada masa
pemerintahannya Sukarno
memimpin partai PNI. Demikian
juga Syarir dan Moh Hatta dengan partai
PSI serta M. Natsir dengan partai
Masyuminya.
Kedua,sarana selanjutnya
adalah Lembaga Pendidikan Tinggi (PT). Hal itu karena Perguruan tinggi menghasilkan pemuda dengan
kualifikasi dan intelektual yang memadai, karena di dalam PT terjadi proses
penggemblengan baik secara akademis maupun kepemimpinan. Seperti ada mata
kuliah kepemimpinan dan di PT ada organ yang melatih kepemimpinan pemuda,
misalnya Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dan Badan Legislatif Mahasiswa (BLM)
dan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM). Contoh yang secara gamblang menjelaskan
ini adalah proses Sukarno
menjadi pemimpin RI pertama, pada mulanya adalah pemuda yang telah
mengalami pendidikan terbaik yaitu
sebagai mahasiswa teknik di ITB.
Sehingga dari tempatnya kuliah dirinya memperoleh bekal dasar pengetahuan dan
kepemimpi nannya kelak menjadi presiden. Demikian juga M. Hatta, memperoleh
pendidikan di Belanda sebagai bekal menapaki
kepemimpinan bangsa Indonesia pada awal
kemerdekaan tahun 1945.
Ketiga, sarana penguasaan Teknologi Informasi (IT). Sarana
ini khususnya pada masa sekarang (Abad
21) dimana terjadi revolusi teknologi informasi, maka penguasaan teknologi informasi yang mumpuni oleh seorang
pemuda, bisa mengantarkannya menjadi pemimpin dunia. Hal itu telah dibuktikan
oleh Bill Gates (AS) yang berhasil menjadi pemimpin dunia teknologi informasi dengan
Microsofnya telah hampir menguasai dunia teknologi terutama dalam hal perangkat lunak (software)
komputer. Sehingga dalam usia muda dirinya tercatat sebagai pemuda yang
mempunyai kekayaan besar (salah satu orang terkaya di dunia) dibanding
kebanyakan pemuda seusianya.
Keempat,Sarana bidang
Pemerintahan. Sarana ini dipakai bagi
pemuda yang meretas jalan di jalur birokrasi, dimana ada penjenjangan secara
terstruktur sehingga pemuda yang berbakat
akan mempunyai kesempatan lebih banyak untuk naik ke jenjang yang lebih
tinggi.
Kelima, media lainnya
adalah Organisasi Kepemudaan. Sarana ini memberikan pembelajaran
kepemimpinan secara lebih dini kepada
kaum muda untuk menjadi pemimpin masa depan. Untuk konteks Indoensia misalnya
misalnya organisasi kelompok
Cipayung yang di dalamnya HMI,
PMII, GMNI, GMKI dan PMKRI. Demikian juga IMM dan KAMMI. Organiasi kepemudaan semacam
KNPI, AMPI dan lainnya menjadi juga “produsen” kepemimpinan pemuda di tanah air.
Tengok karir politik Akbar Tanjung
meroket setelah menjadi Ketua Umum PB HMI, sebuah organisasi
Islam terkemuka waktu itu. Demikian juga
pendahulunya cendekiawan mulsim
almarhum Nurcholis Majid, karirnya sebagai seorang pemikir terkemuka di Indoensia bermula ketika dirinya menjadi ketua
umum dua kali berturut di PB HMI.
Tokoh-tokoh terkemuka sekarang ini, juga dulunya merupakan seorang pemuda yang
bergabung dengan organisasi kepemudaan
tersebut.
Keenam, sarana LSM (NGO), LBH dan
organisasi non pemerintah lainnya
juga banyak melahirkan
kepemimpinan pemuda. Sebut saja misalnya
Adnan Buyung Nasution dan Todung
Mulya Lubis atau kasusnya sekarang lagi
ngetren alamrahum Munir adalah nama pemimpin
dalam bidangnya yang sejak muda memulai karir dari LBH atau YLBHI.
Terakhir, Sarana melalui
jalur pengusaha menjadi wiraswasta. Sarana
ini bisa menampung karir pemuda yang
memang berminat menjadi pengusaha. Hal ini didukung oleh iklim
bisnis didunia yang sedang berkembang. Sebagaimana
pernah dikatakan Anis Baswedan bahwa ke depan tampuk kepemimpinan akan dipegang oleh orang
yang mempunyai kapital. Untuk
saluran kepemimpinan pemuda melalui jalur pengusaha ini menurut hemat
penulis akan banyak berperan. Karena
secara ekonomis pengusaha kuat
dalam jaringan dan terutama modal (uang). Hal itu didukung oleh sebuah temuan survei Litbang Kompas (dimuat Kompas, 10 Juni
1997) yang menjaring 1.000 siswa kelas III SMU dari kota besar di Indonesia:
Medan, Jakarta, Bandung, Semarang, Jogyakarta, Surabaya, Denpasar dan
Ujungpandang. Ternyata ditemukan sebanyak 56, 3 % dari mereka ternyata ingin
menjadi pengusaha, sementara kurang dari 10 % ingin menjadi ilmuwan, peneliti,
pegawai, wartawan dan profesi lainnya. Bahkan tidak sampai 1% yang ingin
menjadi guru (Mulyana,1999:42).Hal ini sebagai mana kita lihat pada sosok Wapres
Jusuf Kalla dirinya sebelum
menjadi Wakil Presiden sebagaimana
sekarang terkenal sebagai seorang pengusaha yang sukses.
Tentu saja sarana-sarana yang saya sebutkan di atas bisa
saling bertumpang tindih dan saling berkolaborasi dalam menunjang karir
kepemimpinan pemuda. Misalnya hal ini terjadi pada beberapa kasus kepemimpinan
pemuda pada tahun 1966, ada sebagian pemuda yang memegang kepemimpinan nasional
adalah seorang pengusaha sekaligus
aktifis gerakan.
Problematik Kultural dan Struktural
Tetapi, ternyata sarana-sarana itu tidak serta merta
dapat mengantarkan seorang pemuda menjadi seorang pemimpin dibidangnya. Karena
ada problematik terhadap mekanisme rekruitmen kepemimpinan pemuda berupa hambatan
kultural dan struktural di masyarakat kita.
Hambatan kultural yang masih
dirasakan sampai saat ini adanya budaya patrimonial
(senioritas). Hambatan senioritas masih sangat kental sampai saat ini dimana seorang pemuda harus menunggu giliran untuk memangku suatu jabatan tertentu, sampai seniornya pensiun. Budaya
senioritas ini membuat mobilitas vertikal kepemimpina pemuda pemuda menjadi tersendat. Karena
pucuk-pucuk pimpinan dipegang oleh generasi tua yang biasanya
bersifat konservatif dan status
quo. Hambatan selanjutnya adalah budaya KKN yang masih melanda dalam rekruitmen kepemimpinan. Budaya ini walaupun selepas
reformasi 1998 lalu tidak sekental pada masa Orde Baru tapi budaya ini masih
menghinggapi proses rekruitmen
kepemimpinan di berbagai tingkat struktur masyarakat. Misalnya proses pergantian pejabat di berbagai daerah bahkan
nasional masih diwarnai oleh proses KKN. Dimana yang dipilih untuk menggantikan posisi
tertentu atau terpuilih adalah orang yang secara emosional dekat, atau teman sekolah,
atau masih saudara. Budaya ini memang tidak bis adisalahkan, karena ini
bertujuan untuk menjaga kekompakan kerja atau
mengetahui track record yang akan dipilih.
Tetapi apabila
mekanisme ini dipakai diseluruh sistem rekruitmen kepemimpinan, maka yang terjadi adalah
memeinjam bahasa Samuel Huntington (1991) dengan political decay (pembusukan
politik) dari dalam. Sebagaimana yang terjadi dengan pemerintahan Soeharto selama 32 tahun dikala menghadapi tekenan krisis
ekonomi dan dorongan reformasi dari mahasiswa. Kemudian adanya budaya like dan dislike yang
masih banyak dipakai pada kasus pemilihan
kepemimpinan. Sehingga misalnya ada seorang pemuda yang mempunyai
kemampuan tetapi tidak disukai oleh sang senior atau pemimpin amak karir pemuda tadi tidak akan mulus
karena akan dieliminasi atau menjadi stagnan karirnya. Demikian pula adanya arus budaya dari luar yang menggerus nilai
jatri diri pemuda, sebagai harapan bangsa serta calon-calon pemegang tampuk kepemimpinan.
Seperti budaya free sek (seks bebas),
tawuran pelajar, narkoba, yang mengkhawtirkan bagi proses regenerasi kepemimpinan pemuda di masa yang akan
datang.
Selain itu, faktor budaya lain yang cukup dominan adalah
adanya gap generasi (generation gap)
antara generasi muda (pemuda) dengan
generasi tua pendahulu. Dimana muncul
dalam bentuk perbedaan penafsiran
tentang cara pengaturan kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Kaum tua
selalu berusaha meyakinkan bahwa pengalaman hidup mereka selama ini adalah
pedoman paling tepat bagi kaum muda untuk menempuh bahtera kehidupan bermasyarakat
dan bernegara. Sebaliknya, kaum
muda bersikeras bahwa “sikon” yang berbeda memerlukan “aturan
main” dan perangkat yang berbeda pula. Begitulah, masalah besar yang
muncul adanya perbedaan tentang yang
“pas” atau setidaknya mekanisme yang diciptakan kaum tua bagi kehidupan kaum
muda di masa yang akan datang dan
tentang bagimana peranan kaum muda dalam masa tranasisi (baca: reformasi) menuju
masa depan (Mas’oed, 2003:195-196). Contoh
yang paling gamblang menjelaskan
fenomena ini menurut hemat saya adanya perbedaaan sudut pandang antara generasi
tua dan muda dalam menyikapi amandemen (perubahan)
UUD 1945 beberapa waktu yang lalu, yang juga sempat menjadi polemik di media
massa. Selanjutnya,
adanya segregasi kaum muda dari kenyataan hidup masyarakatnya dan
kegagalan sosialisasi politik mereka. Sebagaimana dikatakan oleh Mohtar Mas’oed
(2003:197-198) bahwa sekarang berkembang dikalangan sebagian besar kaum muda
perasaan diri tidak bermakna dalam politik, sangat berkurangnya “greget” uuntuk
ikut serta menyelesaikan masalah
masyarakatnya , berkembangnya alienasi,
sinisme, dan terutama dikalangan kaum
muda berada kecenderungan berperilaku hedonistik. Walaupun fenomena ini setelah pasca reformasi 1998 lalu, berkurang,
tapi apa yang dikemukakan Mohtar Mas’oed itu untuk beberapa bagian tidak
terbantahkan.
Sedangkan secara struktural, hambatan itu adalah adanya
sirkulasi elit yang agak macet di tingkat negara. Hal ini terjadi karena
rata-rata kepemimpinan nasional di huni tokoh tua yang bermur rata-rata diatas 60 tahun. Misalnya hal itu tercermin
dalam setiap pemilu tokoh yang maju dalam Pilpres adalah tokoh-tokoh lama tanpa ada alternatif tokoh lainnya yang relatif
masih muda secara usia. Sehingga apa
yang diungkapkan oleh presiden PKS
Tifatul Sembiring, dalam acara Temu Kader dan dan Simpatisan PKS di
Kabupaten Kutai Kertanegara-Kaltim untuk mengusung tokoh muda yang tidak lebih 50 tahun untuk maju
dalam pilpres 2009 (Kompas, 27/8/07)
patut di apresisi. Karena apabila hal itu benar dilakukan akan mendorong gerbong kepemimpinan pemuda ke tampuk pimpinan secara lebih cepat.
Walaupun pemuda telah banyak yang terjerumus ke dalam
persoalan sosial sebagai imbas modernisasi (baca: free seks, narkoba dsb). Tapi
beberapa prestasi pemuda dan pelajar
Indonesia juga telah menunjukan estafet kepemimpinan pemuda
terhadap masa depan bangsa Indonesia.
Sebut misalnya prestasi pelajar
Indoensia yang tergabung dalam tim Olimpiade Fisika dalam keikutsertaanya dalam
Olimpiade Fisika dengan merebut medali emas. Demikian juga
prestasi pemuda Indonbesia dalam
Olimpiade Biologi beberapa waktu yang
juga sangat membaggakan. Atau prestasi pecatur yunior pasca era Utut
Adianto, menunjukan proses regerasi kepeimpinan pemuda sebenaranya tetap terus
berjalan. Dari prestasi yang telah ditorehkan oleh pelajar Indoensia itu, sebenarnya
mereka (baca: prestasi pemuda) merupakan bibit-bibit unggul calon penerus kepemimpinan nasional oleh kaum muda
dimasa yang akan datang. Sekalipun mungkin kita tidak akan menghasilkan
tokoh kepemimpinan pemuda sekaliber
Soekarno yang jago dalam orasi, Hatta yang mempuni dalam ilmu pengetahuan tapi
rendah hati, atau Soeharto yang bertranformasi dari pemuda yang kurang
diperhitungkan menjadi seorang pemimpin negara
yang menjadi salah satu terlama di
dunia.
Oleh karena itu, pemuda
sebenarnya mempunyai potensi untuk menjadi aktor politik bukan hanya spectator
(penonton) publik saja terhadap kepemimpinan masa depan sebuah negara, meminjam
istilah Cak Nur dengan daya dobrak psikologis untuk menjadi
pemimpin masa depan.Sebagaimana dikatakan Arbi Sanit (1988:xv) pemuda
dengan potensinya sebagai agen perubahan dan selaku calon pemimpin serta pengelola
negara yang menjamin kehadiran mereka di tengah kehidupan politik. Maka pada abad 21 ini dengan menguasai IPTEK maka pemuda akan menjadi motor masa depan
bangsa Indonesia. Tapi kiranya pengalaman sejarah aktivis angkatan 66 pada
masa pengulingan rezim Soekarno yang terjerembab ke dalam sistem yang kemudian
banyak melunturkan idealisme
kepemimpinan pemuda kiranya menjadi bahan renungan dan pelajaran dari para pemuda Indonesia kini agar
gejela serupa tidak mendera kepeminan
pemuda dimasa yang akan datang. Sehingga ke depan benar-benar pemuda yang jujur
dan dilandasi nilai ketuhanan serta memiliki moral yang baik yang akan memegang
tampuk kepemimpinan nasional di masa datang. Semoga!!
Kepustakaan
Arbi Sanit. Sistem Politik Indonesia: Kestabilan, Peta Kekuatan
Politik dan Pembangunan. Jakarta: Rajawali Pers. 1995
Arbi Sanit. Politik Mahasiswa di Antara Ideologi dan Institusionalisasi
Politik atau Kekuasaan.Kata Pengantar dalam Philip.G Altbach. Politik dan
Mahasiswa:Perspektif dan Kecenderungan Masa Kini. Jakarta: Yayasan API &
PT. Gramedia. 1988.
Dedy Mulyana, Nuansa-Nuansa Komunikasi. Rosda. 1999.
Francois Raillon. Politik dan
Ideologi Mahasiswa Indonesia. Jakarta: LP3ES. 1989.
Mohtar Mas’oed. Negara, Kapital dan Demokrasi. Pustaka
Pelajar. 2003
Robert H. Lauer. Perspektif
Perubahan Ssosial. Jakarta: Rineka
Chipta. 1993
Titin Supenti, Kondisi Tenaga Kerja Pemuda. Dalam Warta
Ketenagakerjaan. November-Desember 2004
*Makalah ini pernah dikirimkan untuk lomba Karya Tulis Ilmiah untuk Lomba esai Kepemudaaan Kemenpora
Tidak ada komentar:
Posting Komentar