Rabu, 26 Agustus 2015

Kekerasan Anak dan langkah Pencegahannnya

 Oleh: Untung Dwiharjo

(Pemerhati  Pendidikan, Lulusan  Fisip Unair  & Staf Litbang  YDSF  Surabaya)

Fenomena kekerasan anak makin menyeruak akhir-akhir ini. Mulai dari kasus  penelantaran  lima (5) orang anak  oleh ibu kandungnya di Bekasi beberapa waktu yang lalu,  kekerasan dan pembunuhan Anggelin yang diduga  dilakukan oleh ibu angkatnya di Bali  yang masih ramai  di media  sekarang ini, sampai  kasus terbaru  adalah penyiksaan yang diduga di lakukan oleh  ibu kandungnya kepada seorang anak dengan cara melukainya dengan gergaji  yang terjadi di Jakarta.  Kasus lebih memiriskan hati lagi adalah tindak kekerasan anak yang  dilakukan oleh seorang ayah angkat hingga meninggal dunia. Sungguh nasib anak yang tak berdosa  yang membuat keprihatinan kita semua. Kasus-kasus tadi  menunjukan makin seriusnya  masalah kekerasan anak dewasa ini. Bahkan  kalau kita lihat statistik  kekerasan  anak menunjukan  gejala yang memprihatihkan  Pada tahun 2011  tercatat ada  2.637 kasus kekerasan anak  yang masuk ke  Komnas  perlindungan anak. Dari Jumlah itu  sebanyak  62 persen  diantanya  kekerasan  seksual .   Sedangkan tahun 2013    ada  sebanyak 3.329 kasus dengan 52 persen juga kejahatan seksual.  Sedang pada  2014, selama  Januari-September tercatat  2.626 kasus kekerasan anak yang di laporkan. Sedangkan pada  2015 di prediksi  kasus penelantaran atau kekersan terhadap anak  semakin naik (Suyanto, 2015).
Faktor  Penyebab
Kekerasan  anak di dalam rumah bisa diartikan sebagai wujud paksaaan dari yang berkuasa kepada yang di kuasasi. Dalam hal ini orang tua ( baca ayah atau Ibu)  terhadap anak. Dalam hal  adalah budaya patriarkhi  yang masih  ada dalam masyarakat  kita dewasa ini. Dalam budaya yang demikian maka yang tua dalam hal ini ayah atau ibu  sang anak bisa memaksakan kehendaknya  serta tindakannya kepada  sang anak. Kasus penelantaran  lima orang anak di Bekasi bisa sebagai  contoh  tentang faktor ini. Dimana dalam hal anak tidak dianggap sebagai manusia mandiri dan dewasa  serta dalam masa perkembangan diri.
Kemudian faktor lainnya adalah tekanan ekonomi. Faktor ini  berupa  faktor   tekanan ekonomi akibat  dari tiadanya penghasilan dari orang tua atau tidak mencukupinya  pendapatan  seorang kepala keluarga  untuk menghidupi sang anak.  Dalam hidup jaman sekarang ini  dimana semua kebutuhan hidup serba mahal  maka banyak orang mengalami depresi  dimana tekanan hidup semakin keras. Maka tidak dipungkuri  bisa menimbulkan  depresi  pada orang tua , yang kemudian  bisa melampiaskan tekanan hidup  dengan  melakukan kekerasan pada anak. Atau dalam bahasa ilmiah disebut  dengan  Spiral Kekerasan, dimana semakin kebawah akan semakin sering terjadi kekerasan. Contohnya seperti  kekerasan suami kepada istri,  selanjutnya istri kepada anak,  anak paling  tua kepada anak di bawahnya dan seterusnya. Faktor  selanjutnya  adalah  tingkat kepedulian  masyarakat yang  semakin menurun. Gaya hidup rasional yang semkin-hari semakin merajalela, membuat orang  atau antar tetangga  saling  cuek dan tidak saling mengenal. Sehingga  walaupun bertetangga seolah tidak  peduli dengan tetangga kanan-kiri.  Semuanya sibuk untuk memenuhi  kebutuhan hidup dengan bekerja  dari pagi sampai malam, sehingga waktu untuk saling  menyapa antar  tetangga  semakin berkurang Terutama untuk wilayah  kota besar. Sehingga rasa keterasingan  dan kehampaan  dalam keluarga ketika terjadi masalah tidak ada  saluran untuk  kanalisasi masalah sehingga imbasnya  anak sebagai yang paling lemah menjadi korban. Kasus pembunuhan  Angeline bisa di jadikan salah satu contoh dari  gejala ini.
Namun  demikian tidak dapat dipungkuri bahwa  faktor  penyebab tadi bisa saling  kait mengkait, tidak terpisah satu dengan yang lain.  Sehingga dapat dihopetesiskan bahwa faktor  kekerasan  pada anak terjadi   karena saling berkaitnya antar faktor yaitu ekonomi, budaya, dan sosial yang saling terkait satu dengan yang lain.
Jalan Keluar
Berkaca pada beberapa kasus kekerasan anak yang ramai belakangan ini maka penulis menawarkan jalan keluar agar kekerasan  pada anak  bisa di tekan  sekecil mungkin. Pertama, bagi orang tua anggaplah anak sebagai titipan tuhan (Allah) yang harus dijaga sehingga  memperlakukan anak seperti  manusia dewasa, yang diperlakukan secara manusiawi. Kedua,   Ditiap kota  didirikan  lembaga perlindungan anak, bahkan kalau perlu  sampai  ke tingkat desa dengan pemberdayaan lembaga setempat. Ketiga, Pemerataan hasil-hasil pembangunan guna memperkecil kesenjangan ekonomi. Di Indonesia ditengarai saat ini angka kesenjangan yang semakin lebar antara yang kaya dan yang miskin.
Sebagai  penutup marilah kita renungkan pepatah ini A happy family is but an earlier heaven(artinya, keluarga bahagia adalah surga yang diberikan lebih awal)”. Demikian kata filsuf bijak ketika mengingatkan pentingnya merawat dan menyukuri karunia Tuhan berupa keluarga.(Romdhoni, 2014).  Ungkapan ini mengandung pesan, keluarga sejatinya pertahanan paling inti dalam kehidupan seseorang di dunia ini. Keluarga adalah ruang terdalam yang menjanjikan kedamaian dan keamanan bagi kita umat manusia. Bila demikian, keluarga adalah awal dari adanya kehidupan terutama kehidupan anak, Maka janganlah kita kotori kehidupan anak dengan melakukan kekerasan  terhadapnya. WalLâh a’lam bi ash-shawâb.
* Artikel ini  di muat  pada www.qolam.net pada agustus  2015 


Tidak ada komentar: