Jumat, 23 Oktober 2020

 

Mengantisipasi    New Normal  yang  Abnormal*

 


 

Oleh  Untung  Dwiharjo

Peneliti pada  LAZNAS  YDSF Surabaya, Alumnus  Fisip Unair

 

New Normal itulah  sebuah  istilah  yang  akhir-akhir ini banyak menghiasi wacana publik. Mulai  dari kelas  bawah sampai  atas, orang awam hingga cendiakawan, politisi hingga pejabat   banyak  membicarakan istilah  yang begitu “keren” setelah  adanya  pendemi Covid-19. Menurut juru bicara  Pemerintah  untuk  penanganan Covid -19  Achmad  Yurianto  istilah  New Normal  lebih menitik beratkan perubahan budaya masyarakat  untuk terbiasa hidup sehat. Kebiasaan  seperti rajin  mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir, menggunakan masker saat  bepergian,      menghindari  kerumunan massa, dan juga  menjaga jarak fisik saat berinteraksi dengan orang lain  (physical distancing). 

Bentuk  benih-benih New  Normal sebenarnya telah bersemai  di Indonesia  semenjak adanya himbauan  Work From Home  (WFH) oleh pemerintah. Semenjak itu orang  berbondong-bondong  memulai  aktifitas  kerjanya dari rumah.Pergi ke kantor hanya kalau diperlukan atau ada keperluan  mendesak. Sehingga fungsi rumah seperti kantor yang dipakai untuk keperluan  kerja  bukan sekadar untuk istirahat melepas lelah dan  pertemuan  anggota keluarga. Sehingga seolah kantor  hilang fungsinya  karena digantikan oleh rumah.  Pertanyaannya  adalah apakah memang New Normal ini adalah  gaya hidup masa depan kita?  Apakah semua kalangan akan  menjalankan hidup New Normal ini?  Itulah segelintir   pertanyaan  yang mungkin  muncul  di  benak publik menyikapi   fenomena  New Normal ini. 

 

 

New  Normal  Yang  Abnormal

New Normal  adalah  gaya hidup  baru yang  suka tidak suka  harus  kita  hadapi  setelah mewabahnya  Covid-19 di dunia ini. Tak tekcuali  Indonesia. Pendemi  ini telah merubah  hampir semua sendi  kehidupan  masyarakat   mulai cara bekerja, belajar,  cara berinteraksi  antar sesama manusia,  sampai  tata cara  beribadah umat  beragama  pun  berubah. Sedemikian  dasyatnya  efek  kejut  dari Covid 19  yang manusia seluruh  dunia  dipaksa untuk menyesuaikan  diri  untuk bisa terhindar dari Covid19 ini. Sebenarnya  kalau  kita  mau jujur  bukan kehidupan   New Normal  yang kita  harapkan  dari  covid-19. Tapi langkah  yang tepat  dari pemerintah untuk   mengusir Covid-19  dari Indonesia. Sehingga penulis sependapat  dengan  pernyataan  Dahlan  Iskan , mantan  Menteri  BUMN  dan  Bos   Jawa Pos  dalam suatu   kajian online   baru- baru ini bahwa  New normal  bukanlah sebuah kenormalan tapi  sebuah abnormal. Karena  New Normal ini  hadir  dalam situasi  yang  serba  abnormal dari  kebiasaan  lama kehidupan manusia.

New Normal  yang keberadaanya  akan kita songsong ini  sebenarnya  banyak  menguntungkan  kelas  ekonomi menengah  dan atas  yang secara ekonomi telah mapan. Bagaimana tidak  mereka bisa  melakukan Work From Home (WFH) atau  tinggal di rumah (Stay at Home)  tapi tetap berpenghasilan untuk  memenuhi kebutuhan  makan, pakaian atau perumahan mereka. Dengan kata lain,   walaupun   tidak dikantor tapi mereka tetap di gaji, atau  sebagian kalangan  atas   tetap  menerima  pasive  Income  dari  investasi  mereka.  Atau sebagian  yang lain tinggal  menikmati  jerih payah  karena  tinggal  mantab (baca: mangan tabungan)  saja dari investasi tabungan  yang  mereka lakukan.  Golongan merekalah yang kelak  siap  menjalankan  kehidupan   New  Normal.  Mulai  dari protokol  Kesehatan Covid -19  seperti cuci tangan,  pakai masker,  tetap di rumah (stay at home), serta  WFH sampai  digitalisasi  aspek kehidupan mereka.  Sedangkan   bagi  mereka  yang tergolong kelas ekonomi  rendah  akan  banyak  hal yang  yang harus  mereka perhitungkan.  Misalnya  memakai masker  tiap  hari.  Bagi mereka  untuk  makan  saja susah apalagi untuk  membeli  masker. Untuk sekedar  cuci tangan  dengan pembersih kuman  pun   mereka  akan berpikir  seribu kali  karena uangnya  dipakai  untuk  membeli beras  untuk makan.  Himbauan  pemerintah  untuk  tetap di rumah pun  mereka  terpaksa langgar agar dapat makan. Demikian  juga  untuk pembelajaran daring ( online)  misalnya  untuk  yang orang tuanya kelas bawah  tentu memberatkan   karena  pembelian  kuota internet  yang  melonjak  drastis. Demikianlah  fenomena  New Normal ini seolah-olah  arena  seleksi alam  (darwinisme sosial) akibat dari munculnya  Covid-19 dimana mereka yang   mampu secara ekonomi,  berpendidikan tinggi, melek  teknologi  akan  mempunyai kemampuan beradaptasi yang  lebih tinggi   dibanding  dengan kelas  ekonomi kelas  bawah.        

Libatkan  Pakar Virus     

Karena  itu  New Normal yang digaungkan  oleh pemerintah ini  sebenarnya   kurang terpat apabila  digaungkan  pada  masa abnormal sekarang ini dimana pendemi ini belum  selesai. Makanya   tokoh  seperti Amin Rais    mengeluarkan penyataan keras  meminta  New Normal  tidak dipakai lagi karena bisa  mengelabui  diri sendiri (CNN Indonesia, 25 Mei 2020). Sehingga menurut hemat  penulis  New Normal  ini   bagai sisi  mata  uang. Dimana di satu  sisi mungkin  menjadi  cara  untuk  sebagian  kalangan  untuk  bisa bertahan  secara ekonomi ( memutar  roda ekonomi)  tapi disisi lain akan  memunculkan  korban bagi mereka  yang  tidak bisa  mengikuti  New normal ini. Oleh sebab  itu  penulis   mengusulkan dilibatkannya pakar Virus secara lebih intensif  guna  menghadapi era New Normal yang tidak  Normal  ini. Pakar  seperti Profesor  M Nidom  dari  universitas Airlangga  yang  begitu sukses meneliti tentang virus flu Burung harus ikut dilibatkan  secara  intens guna  menemukan sesegera mungkin   solusi dari virus  Covid 19 ini.

Sebagai penutup  situasi  pendemi   covid-19 ini   dimana kita  menghadapi situasi  ketidakpastian  yang tinggi maka  diperlukan kepasrahan  kita kepada  Allah  SWT. Maka  New Normal  yang abnormal  ini  menjadi  tantangan kita bersama  apakah  kita  siap  menjadi   manusia  normal  baru  atau tidak.  Bagaiaman pendapat  Anda?

 *Artikel Ini pernah dimuat  Harian Bhirawa Online pada Senin, 5 Oktober 2020 

Tidak ada komentar: