Mengantisipasi New
Normal yang Abnormal*
Oleh Untung Dwiharjo
Peneliti pada LAZNAS YDSF Surabaya, Alumnus Fisip Unair
New Normal itulah sebuah
istilah yang akhir-akhir ini banyak menghiasi wacana
publik. Mulai dari kelas bawah sampai
atas, orang awam hingga cendiakawan, politisi hingga pejabat banyak
membicarakan istilah yang begitu “keren”
setelah adanya pendemi Covid-19. Menurut juru bicara Pemerintah
untuk penanganan Covid -19 Achmad
Yurianto istilah New Normal
lebih menitik beratkan perubahan budaya masyarakat untuk terbiasa hidup sehat. Kebiasaan seperti rajin
mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir, menggunakan masker
saat bepergian, menghindari kerumunan massa, dan juga menjaga jarak fisik saat berinteraksi dengan
orang lain (physical distancing).
Bentuk benih-benih New Normal sebenarnya telah bersemai di Indonesia
semenjak adanya himbauan Work
From Home (WFH) oleh pemerintah.
Semenjak itu orang
berbondong-bondong memulai aktifitas
kerjanya dari rumah.Pergi ke kantor hanya kalau diperlukan atau ada
keperluan mendesak. Sehingga fungsi
rumah seperti kantor yang dipakai untuk keperluan kerja
bukan sekadar untuk istirahat melepas lelah dan pertemuan
anggota keluarga. Sehingga seolah kantor
hilang fungsinya karena
digantikan oleh rumah. Pertanyaannya adalah apakah memang New Normal ini
adalah gaya hidup masa depan kita? Apakah semua kalangan akan menjalankan hidup New Normal ini? Itulah segelintir pertanyaan
yang mungkin muncul di
benak publik menyikapi fenomena New Normal ini.
New Normal Yang
Abnormal
New Normal adalah
gaya hidup baru yang suka tidak suka harus
kita hadapi setelah mewabahnya Covid-19 di dunia ini. Tak tekcuali Indonesia. Pendemi ini telah merubah hampir semua sendi kehidupan
masyarakat mulai cara bekerja,
belajar, cara berinteraksi antar sesama manusia, sampai
tata cara beribadah umat beragama
pun berubah. Sedemikian dasyatnya
efek kejut dari Covid 19
yang manusia seluruh dunia dipaksa untuk menyesuaikan diri
untuk bisa terhindar dari Covid19 ini. Sebenarnya kalau
kita mau jujur bukan kehidupan New Normal
yang kita harapkan dari
covid-19. Tapi langkah yang
tepat dari pemerintah untuk mengusir Covid-19 dari Indonesia. Sehingga penulis sependapat dengan
pernyataan Dahlan Iskan , mantan Menteri
BUMN dan Bos
Jawa Pos dalam suatu kajian online baru- baru ini bahwa New normal
bukanlah sebuah kenormalan tapi
sebuah abnormal. Karena New
Normal ini hadir dalam situasi
yang serba abnormal dari
kebiasaan lama kehidupan manusia.
New Normal yang keberadaanya akan kita songsong ini sebenarnya
banyak menguntungkan kelas
ekonomi menengah dan atas yang secara ekonomi telah mapan. Bagaimana
tidak mereka bisa melakukan Work From Home (WFH) atau tinggal di rumah (Stay at Home) tapi tetap berpenghasilan untuk memenuhi kebutuhan makan, pakaian atau perumahan mereka. Dengan
kata lain, walaupun tidak dikantor tapi mereka tetap di gaji,
atau sebagian kalangan atas
tetap menerima pasive
Income dari investasi
mereka. Atau sebagian yang lain tinggal menikmati
jerih payah karena tinggal
mantab (baca: mangan tabungan)
saja dari investasi tabungan yang
mereka lakukan. Golongan
merekalah yang kelak siap menjalankan
kehidupan New Normal.
Mulai dari protokol Kesehatan Covid -19 seperti cuci tangan, pakai masker,
tetap di rumah (stay at home), serta
WFH sampai digitalisasi aspek kehidupan mereka. Sedangkan
bagi mereka yang tergolong kelas ekonomi rendah
akan banyak hal yang
yang harus mereka
perhitungkan. Misalnya memakai masker tiap
hari. Bagi mereka untuk
makan saja susah apalagi
untuk membeli masker. Untuk sekedar cuci tangan
dengan pembersih kuman pun mereka
akan berpikir seribu kali karena uangnya dipakai
untuk membeli beras untuk makan.
Himbauan pemerintah untuk
tetap di rumah pun mereka terpaksa langgar agar dapat makan. Demikian juga
untuk pembelajaran daring ( online)
misalnya untuk yang orang tuanya kelas bawah tentu memberatkan karena
pembelian kuota internet yang
melonjak drastis. Demikianlah fenomena
New Normal ini seolah-olah
arena seleksi alam (darwinisme
sosial) akibat dari munculnya
Covid-19 dimana mereka yang
mampu secara ekonomi,
berpendidikan tinggi, melek
teknologi akan mempunyai kemampuan beradaptasi yang lebih tinggi
dibanding dengan kelas ekonomi kelas
bawah.
Libatkan Pakar Virus
Karena itu New Normal yang digaungkan oleh pemerintah ini sebenarnya
kurang terpat apabila digaungkan pada
masa abnormal sekarang ini dimana pendemi ini belum selesai. Makanya tokoh
seperti Amin Rais mengeluarkan
penyataan keras meminta New Normal
tidak dipakai lagi karena bisa
mengelabui diri sendiri (CNN
Indonesia, 25 Mei 2020). Sehingga menurut hemat
penulis New Normal ini
bagai sisi mata uang. Dimana di satu sisi mungkin
menjadi cara untuk
sebagian kalangan untuk
bisa bertahan secara ekonomi (
memutar roda ekonomi) tapi disisi lain akan memunculkan
korban bagi mereka yang tidak bisa
mengikuti New normal ini. Oleh sebab itu
penulis mengusulkan dilibatkannya
pakar Virus secara lebih intensif guna menghadapi era New Normal yang tidak Normal
ini. Pakar seperti Profesor M Nidom
dari universitas Airlangga yang
begitu sukses meneliti tentang virus flu Burung harus ikut
dilibatkan secara intens guna
menemukan sesegera mungkin
solusi dari virus Covid 19 ini.
Sebagai penutup situasi
pendemi covid-19 ini dimana kita
menghadapi situasi
ketidakpastian yang tinggi
maka diperlukan kepasrahan kita kepada Allah
SWT. Maka New Normal yang abnormal
ini menjadi tantangan kita bersama apakah
kita siap menjadi
manusia normal baru
atau tidak. Bagaiaman
pendapat Anda?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar