Peranan TNI Dalam
Era Globalisasi*
( Refleksi HUT
ke-75 TNI 5 Oktober 2020)
Oleh Untung Dwiharjo
Peneliti pada LAZNAS YDSF, Alumnus
Fisip Unair
Pada Setiap tanggal 5 Oktober Tentara
Nasional Indonesia (TNI)
mempunyai gawe Besar. Berupa Peringatan ulang tahun kelahiran dirinya. Dimulai
dari tahun 1945 dimana TNI banyak berpearan dalam
membela eksistensi Negara Republik Indoensia dari Penjajahan negara
asing sampai era sekarang ini. Perjalanan yang
berliku dan penuh onak dan duri
untuk mempertahankan negara ini
dari rongorongan bangsa asing serta gejolak
dalam negeri yang
memuncak pada meletusnya peristiwa G 30 Sepetember 1965/PKI yang mengakibatkan gugurnya pucuk pimpinan TNI
Angkatan Darat.
TNI pun bersama-sama
rakyat turut memberantas bahaya
dari dalam negeri tersebut
sehingga negera kembali aman dan
terkendali. Sampai kemudian pada masa Orde
Baru TNI menjalankan fungsi sebagai “dwifungsi ABRI” dengan menjalankan
fungsi hamkam dan politik. Sampai pada
era reformasi TNI diposisikan
“Kembali ke Barak” yang hanya mengurusi pertahanan negara.
Dinamika Peran
TNI
Dalam Setiap
refleksi Hari ulang tahun TNI. Maka tidak dapat dilepaskan dari peran
TNI dari masa-ke masa. Untuk
itulah kita harus mengingat
Pidato Jenderal Abdul Haris Nasution
sebagai KSAD pada HUT I Akademi
Militer Magelang tahun 1958 yang menyampaikan pidato “jalan
tengah” yang sangat monumental, saat itu
ia membedakan secara tegas antara TNI
dengan tentara bayaran yang
apolitik di Barat maupun tentara yang “ haus kekuasaan” seperti di Amerika Latin (Haryadi, 1990).
Pidato Jalan Tengah Nsution itu
kemudian diadopsi oleh pemerintahan
Orde Baru dengan “dwifungsi ABRI” dimana tentara disamping sebagai kekuatan pertahanan ( tempur) sekaligus juga kekuatan politik dengan memiliki wakil di lembaga legistlatif (MPR).
Sehingga banyak perwira-perwira
TNI waktu itu yang dikaryakan di luar
wilayah kemiliteran.
Selanjutnya pada masa reformasi setelah
yang ditandai dengan tumbangnya pemerintahan Suharto
maka atas amanat reformasi TNI
mengalami perubahan peran.
Yaitu setelah TNI berpisah
dengan POLRI, dimana TNI
harus “Kembali ke Barak. Dalam Hal ini
TNI tidak lagi berpolitik tetapi hanya
menangani masalah keamanan saja.
Hal tersebut karena tuntutan reformasi yang menginginkan TNI tidak dijadikan alat
oleh negera untuk
mempertahankan kekuasaan sebagaimana dipraktekan Pak
Harto di masa Orde Baru .
Hindari Jadi Alat Kekuasaan
TNI harusnya tidak menjadi alat kekuasaan. Untuk dibenturkan dengan rakyat. Sebagaimana terjadi pada kasus
sengketa lahan, dibenturkan dengan
kalangan mahasiswa dan kekuatan
civil society. Seperti pada
penangkapan mahasiswa pada masa reformasi yang berujung pada
gugurnya beberapa mahasiswa. Yang sampai sekarang belum ditemukan jasadnya.
Untuk itulah harusnya
TNI tidak menjadi alat
kekuasaan negara untuk mempertahankan
kekuaasaan politik pihak-pihak tertentu di republik ini. TNI harus lepas dari kekuatan politik manapun, terlebih lagi dari
para cukong yang ada di negara ini.
Sehingga TNI bekerja
dengan hati nuraninya. Bukan kepada pemilik modal yang berkantong tebal.
Terlebih jangan
sampai TNI di dikte oleh kekuatan tertentu untuk selalu melayani kepentingan golongan tertentu yang mungkin itu bertentangan dengan
sumpah prajurit dan Sapta Margaserta
Pancasila & UUD 1945. Jangan sampai
TNI bertindak represif kepada pihak
tertentu yang dipandang sebagai lawan
sebagaimana terjadi di masa lalu. Jangan
sampai TNI menjadi perangkat negara yang
ideologis (Ideological State Apparatus/RSA)
sebagaimana dikatakan Louis Althuser (1971). Dimana sifat RSA bersifat sentralistis
dan sistematis yang berfungsi sebagai penyanggga kekuasaan yang sah dan
eksplisit.(Cahyadi, 1993).
Peran Di tengah
Globalisasi.
Kini diarus perubahan
zaman yang sangat cepat, dimana peran
teknologi informasi (IT) dan perkembangan internet dan digitalisasi kehidupan manusia dengan adanya pandemi
Covid-19. Memaksa TNI pun harusnya melakukan reorintasi peran
di masa yang akan datang. Pelibatan
perwira militer misalnya dalam
penanganan Covid-19 tentunya bisa dilihat sebagai sinyal perubahan peran TNI dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Tapi gejala ini perlu dilihat apakah temporer saja atau untuk seterusnya.
Kemudian ditengah
zaman serba canggih ini TNI
perlu perubahan pendekatan
dalam memecahkan persoalan bangsa, karena bagaimanapun
juga TNI masih dipandang sebagai kekuatan pengintegrasi
sekaligus pembangun bangsa. Dimana
sebagai militer profesional memusatkan
diri pada fungsi pertahanan dan keamanan, menjauhkan diri dari politik serta
lebih peduli pada pembinaan secara ketat profesionalisme kemiliteran ( Fatah,
1998).
Kini ditengah globliasi
TNI butuh reorientasi peran dimana dibutuhkan perubahan-perubahan dalam bahasa politik
militer : dari represi ke persuasi, dari monolog ke dialog dan dari defensif ke
responsif. Sehingga di era kontemporer ini
peran TNI menjadi lebih humanis, peka dengan kondisi negara dan rakyatnya sehingga jiwa sapta
Marga TNI untuk memihak
rakyat sebagaimana awal berdirinya di
tahun 1945 tetap menjadi pedoman.
Apalagi sekarang di era
perang semesta dengan adanya
perang teknologi maka TNI dituntut lebih responsif dengan persoalan rakyat. Kini
waktunya TNI berperan sebagaimana digambarkan
Peter Britton ( 1996) dari “jago”
menjadi “ Satria”. Selamat Ulang Tahun TNI.
*Pernah dimuat di Harian Bhirawa Online pada Senin, 5 Oktober 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar