Selasa, 27 Oktober 2020

 

Mencermati  Kampanye  Simbolik Pilkada 2020


Oleh:

Untung Dwiharjo, Peneliti Pada  LAZNAS YDSF di Surabaya, Alumnus  Fisip Unair. Pemerhati   Masalah Politik   

 

Bak film pendek tilik yang lagi viral.  Pendaftaran Bakal Pasangan  Calon (bapaslon) kepala  Daerah  yang   mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum (KPU)  Kabupaten/Kota diberbagai daerah pun   menjadi hal yang  menarik.  Memang pada 4-6  September 2020  adalah agenda pendaftaran pasangan calon Bupati atau Walikota   di seluruh  Indonesia.  Seperti  tokoh  Bu Tejo  yang   memainkan peran  di atas  bak truk   yang  tak lazim. Para  bapaslon itu  juga ada yang mengunakan alat transportasi yang  kalau dalam kondisi  biasa  jarang mereka gunakan. Simak misalnya  ada bapaslon yang  mendaftar ke kantor KPU  mengunakan sepeda  yang terbilang “kuno”, ada yang mengunakan  sepeda  motor  yang  menurut  banyak orang “antik”. Bahkan  ada juga  yang menggunakan   mobil  yang terbilang “legendaris”.  Selain itu jenis  pakaian  dengan  warna tertentu  juga  digunakan  oleh  oleh  bapaslon untuk   mendaftar ke KPU.

Apa yang ditampilkan  oleh  para bapaslon itu seolah  ingin  menarik perhatian para pemilih. Dimana   mereka bak  pasangan  yang  harus berlenggak-lengok di  atas podium  menuju  kantor  KPU tempat mereka  mendaftar. Sehingga kostum-kostum yang unik dan menarik harus  mereka  tampilkan  guna   memulai  perhelatan kontetasi politik tersebut. Dimana  nantinya pada 20 Desember 2020 akan dilaksanakan pemungutan suara untuk Pilkada serempak 2020.  

Kampanye  Simbolik.

Kalau dicermati  pemakaian atribut  para bapaslon peserta pilkada 2020 dengan memakai  atribut seperti sepeda, sepeda motor atau mobil yang “antik” itu sebenarnya   merupakan kampanye simbolik.  Bahwa dengan memakai itu semua  mereka ingin dianggap  mempunyai  sifat kerakyatan, tidak hedonis. Tidak  menampilkan sepeda mewah yang nilainya  ratusan juta. Tidak juga  menngunakan sepeda motor yang harganya selangit, serta  mobil dengan  harga yang fantastis.    

 Pendek kata mereka semua ingin  menampilkan  citra yang ramah dan merakyat. Kita semua  disuguhi simulasi realitas  kampanye  dimana citra lebih dipercaya ketimbang  fakta. Apakah  kehidupan  bapaslon dalam keseharian  mereka  menunjukan  citra  seperti itu atau  malah sebaliknya. Tentunya  warga  dimana  bapaslon  berada  lebih  mengetahui.Karenanya kita  sebagai pemilih  harus  cermat  dan hati-hati  dalam   memilih  calon  pemimpin  kita.  Jangan sampai kita  tertipu  oleh citra dan polesan  kesan  yang keadaannya  sesungguhnya kadang sebaliknya. Boleh  jadi  pemimpin  yang kita angggap kerakyatan  malah  ketika  memimpin justru  bersifat  otoriter. Bukankah kita semua telah diperingatkan oleh Boudrilard dalam In The Shadow  of Silent  Mayorities (Jacky:2015)  bahwa kita sekarang hidup dalam  era hiperealitas (hyper reality)  dimana  perekayasaan dan distorsi   menciptakan satu kondisi, dimana orang digiring untuk  mempercayai citra  sebagai sebuah kebenaran  meskipun pada kenyataannya  yang ada hanyalah dramatisasi realitas.     

Nantinya  hanya waktulah  yang akan  membuktikan  apakah kesan ketika  mereka mendaftar ke kantor KPU untuk  megikuti  Pilkada dimana kesannya kerakyatan, akan dibuktikan  ketika  mereka  memimpin. Pengalaman  pilkada dan  pemilu di Indonesia  membuktikan  itu.  Banyak rekayasa citra dan  polesan  dimana  ternyata  semuanya  hanya  basa-basi  demi mendulang  suara  mereka rela  mencitrakan diri sebagai sosok yang merakyat tapi pada akhirnya  justru jauh  dengan rakyatnya  ketika jadi pemimpin.

Hindari  Kampanye  SARA

Baru-baru ini kita dikejutkan dengan  polemik  penyebutan  suatu daerah Pemilihan  Kepala daerah oleh  petinggi partai yang  disebut kurang pancasilais. Akibat dari perkataan  itu  menimbulkan  keresahan dan kemarahan  masyarakat  daerah tersebut. Sehingga pada akhirnya  rekomendasi partai  besar itu pun dikembalikan  oleh  bapaslon tersebut. Partai besar tersebutpun akhirnya   tidak bisa berpartisipasi dalam pilkada di daerah tersebut. Pendek kata dari  peristiwa  tersebut  janganlah petinggi  partai menggunakan  simbol Suku, Agama, RAS dan antar golongan (SARA). 

Sekarang pun isu  itu kian melebar  setelah  masalah tersebut  dibahas dalam  acara  dialog  di sebuah  TV  swasta yang  sangat  terkenal.  Gara-garanya salah seorang nara sumber  menyebut  nara sumber lain  punya hubungan  dengan sebuah partai  terlarang. Padahal  nara sumber  yang tersebut  menyebut  dalam  konteks kebudayaan.  Karena  yang dibahas  adalah   masalah  sensitif yaitu  masalah  partai  terlarang di Indonesia maka itupun sekarang  menjadi polemik di  masyarakat.

 

Butuh Pemimpin Otentik

Pada era sekarang  dimana seolah semua pemimpin  mendewakan  citra. Maka kita  sebenarnya  butuh pemimpin yang otentik. Dalam artian apadanya, selaras antara kata dan perbuatan serta dekat dengan rakyatnya. Sehingga rakyat yang  memlihnya  tidak merasa tertipu dengan pencitraan.  Kita butuh pemimpin  yang   memliki integritas , kemampunan (kapabilitas) dan diterima  masyarakat (akseptabilitas), yang memang  asli dari “arus bawah” tidak rekayasa dari atas atau polesan citra   melalui  media.

Pemimpin otentik selalu mendengarkan keluh kesah warga yang dipimpinya. Tidak hanya  mengunjungi untuk diliput  media. Tapi memperhatikan kebutuhan rakyatnya  secara seksama. Kisah pemimpin  otentik justru  berkunjung ke rakyatnya tatkala tidak banyak orang tau. Simak misalnya kisah pemimpin  Umar Bin Khatab  ketika suatu saat  berjalan  di tengah malam  untuk  meihat  rakyatnya. Ketika suatu ketika di sebuah rumah mendengar  suara rintihan seorang anak yang kelaparan. Ketika ternyata  setelah ditanyakan ke ibu anak tersebut  karena  tidak adanya  bahan  makanan.Maka singkat cerita  Umar  langsung  mengambil  bahan  makanan yang tersedia di gudang  dia pikul  sendiri  bahan makanan tersebut untuk  kebutuhan rakyatnya yang kelaparan  tersebut.  Cerita Kepemimpinan Umar Bin Khatab  yang demikian populer tersebut adalah cerita  seorang pemimpin  yang otentik.

Senyampang  masih banyak waktu untuk mencermati  jati diri bapaslon, maka rakyat  bisa  menilai mana kira-kira  pemimpin yang otentik. Jangan sampai kita  sebagai pemilih,  memilih pemimpin  seperti “membeli dalam karung”  tidak  tahu  mana pilihan  yang terbaik  menurut  hati nurani kita.  Jangan sampai kita memilih pemimpin  bak  melihat  bu Tejo dalam film Pendek “Tilik”  yang penuh  dengan nyiyiran, tapi pada kenyataan keseharian  pemerannya aslinya tidak demikian. Betulkan Bu Tejo? Mari kita “Tilik” jadi diri bakal pasangan calon (bapaslon) di daerah kita. Caranya tidak berkunjung  ke calon tersebut, tapi kita  perlu tilik  dengan melinat profil  dan riwayat hidup dari calon  lewat  berbagai sarana seperti di Internet  atau di website KPU misalnya.  Karena  kita  sekarang ini harus  mematuhi  protokol Kesehatan  agar  terhindar dari  virus Covid-19.  Dengan  cara  memakai  masker, cuci tangan dan  jaga jarak  setiap  saat.    

*Pernah dimuat  Harian Bhirawa  

Tidak ada komentar: