Mencermati Kampanye
Simbolik Pilkada 2020
Oleh:
Untung Dwiharjo,
Peneliti Pada LAZNAS YDSF di Surabaya,
Alumnus Fisip Unair. Pemerhati Masalah Politik
Bak film pendek tilik yang lagi viral. Pendaftaran Bakal Pasangan Calon (bapaslon) kepala Daerah
yang mendaftar ke Komisi
Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten/Kota
diberbagai daerah pun menjadi hal
yang menarik. Memang pada 4-6 September 2020 adalah agenda pendaftaran pasangan calon
Bupati atau Walikota di seluruh Indonesia.
Seperti tokoh Bu Tejo
yang memainkan peran di atas
bak truk yang tak lazim. Para bapaslon itu
juga ada yang mengunakan alat transportasi yang kalau dalam kondisi biasa
jarang mereka gunakan. Simak misalnya
ada bapaslon yang mendaftar ke kantor
KPU mengunakan sepeda yang terbilang “kuno”, ada yang
mengunakan sepeda motor
yang menurut banyak orang “antik”. Bahkan ada juga
yang menggunakan mobil yang terbilang “legendaris”. Selain itu jenis pakaian
dengan warna tertentu juga
digunakan oleh oleh
bapaslon untuk mendaftar ke KPU.
Apa yang ditampilkan
oleh para bapaslon itu
seolah ingin menarik perhatian para pemilih. Dimana mereka bak
pasangan yang harus berlenggak-lengok di atas podium
menuju kantor KPU tempat mereka mendaftar. Sehingga kostum-kostum yang unik
dan menarik harus mereka tampilkan
guna memulai perhelatan kontetasi politik tersebut.
Dimana nantinya pada 20 Desember 2020
akan dilaksanakan pemungutan suara untuk Pilkada serempak 2020.
Kampanye Simbolik.
Kalau dicermati
pemakaian atribut para bapaslon
peserta pilkada 2020 dengan memakai
atribut seperti sepeda, sepeda motor atau mobil yang “antik” itu
sebenarnya merupakan kampanye
simbolik. Bahwa dengan memakai itu semua
mereka ingin dianggap mempunyai
sifat kerakyatan, tidak hedonis. Tidak
menampilkan sepeda mewah yang nilainya
ratusan juta. Tidak juga menngunakan
sepeda motor yang harganya selangit, serta
mobil dengan harga yang
fantastis.
Pendek kata mereka
semua ingin menampilkan citra yang ramah dan merakyat. Kita
semua disuguhi simulasi realitas kampanye
dimana citra lebih dipercaya ketimbang
fakta. Apakah kehidupan bapaslon dalam keseharian mereka
menunjukan citra seperti itu atau malah sebaliknya. Tentunya warga
dimana bapaslon berada
lebih mengetahui.Karenanya
kita sebagai pemilih harus
cermat dan hati-hati dalam
memilih calon pemimpin
kita. Jangan sampai kita tertipu
oleh citra dan polesan kesan yang keadaannya sesungguhnya kadang sebaliknya. Boleh jadi
pemimpin yang kita angggap
kerakyatan malah ketika
memimpin justru bersifat otoriter. Bukankah kita semua telah
diperingatkan oleh Boudrilard dalam In
The Shadow of Silent Mayorities (Jacky:2015) bahwa kita sekarang hidup dalam era hiperealitas (hyper reality) dimana
perekayasaan dan distorsi
menciptakan satu kondisi, dimana orang digiring untuk mempercayai citra sebagai sebuah kebenaran meskipun pada kenyataannya yang ada hanyalah dramatisasi realitas.
Nantinya hanya
waktulah yang akan membuktikan
apakah kesan ketika mereka
mendaftar ke kantor KPU untuk
megikuti Pilkada dimana kesannya
kerakyatan, akan dibuktikan ketika mereka
memimpin. Pengalaman pilkada
dan pemilu di Indonesia membuktikan
itu. Banyak rekayasa citra
dan polesan dimana
ternyata semuanya hanya
basa-basi demi mendulang suara
mereka rela mencitrakan diri
sebagai sosok yang merakyat tapi pada akhirnya
justru jauh dengan rakyatnya ketika jadi pemimpin.
Hindari Kampanye
SARA
Baru-baru ini kita dikejutkan dengan polemik
penyebutan suatu daerah Pemilihan Kepala daerah oleh petinggi partai yang disebut kurang pancasilais. Akibat dari
perkataan itu menimbulkan
keresahan dan kemarahan
masyarakat daerah tersebut.
Sehingga pada akhirnya rekomendasi
partai besar itu pun dikembalikan oleh bapaslon
tersebut. Partai besar tersebutpun akhirnya
tidak bisa berpartisipasi dalam pilkada di daerah tersebut. Pendek kata
dari peristiwa tersebut
janganlah petinggi partai
menggunakan simbol Suku, Agama, RAS dan
antar golongan (SARA).
Sekarang pun isu itu
kian melebar setelah masalah tersebut dibahas dalam
acara dialog di sebuah
TV swasta yang sangat
terkenal. Gara-garanya salah
seorang nara sumber menyebut nara sumber lain punya hubungan dengan sebuah partai terlarang. Padahal nara sumber
yang tersebut menyebut dalam
konteks kebudayaan. Karena yang dibahas
adalah masalah sensitif yaitu masalah
partai terlarang di Indonesia
maka itupun sekarang menjadi polemik
di masyarakat.
Butuh Pemimpin
Otentik
Pada era sekarang
dimana seolah semua pemimpin
mendewakan citra. Maka kita sebenarnya
butuh pemimpin yang otentik. Dalam artian apadanya, selaras antara kata
dan perbuatan serta dekat dengan rakyatnya. Sehingga rakyat yang memlihnya
tidak merasa tertipu dengan pencitraan.
Kita butuh pemimpin yang memliki integritas , kemampunan
(kapabilitas) dan diterima masyarakat
(akseptabilitas), yang memang asli dari
“arus bawah” tidak rekayasa dari atas atau polesan citra melalui
media.
Pemimpin otentik selalu mendengarkan keluh kesah warga yang
dipimpinya. Tidak hanya mengunjungi
untuk diliput media. Tapi memperhatikan
kebutuhan rakyatnya secara seksama.
Kisah pemimpin otentik justru berkunjung ke rakyatnya tatkala tidak banyak
orang tau. Simak misalnya kisah pemimpin Umar Bin Khatab ketika suatu saat berjalan
di tengah malam untuk meihat
rakyatnya. Ketika suatu ketika di sebuah rumah mendengar suara rintihan seorang anak yang kelaparan.
Ketika ternyata setelah ditanyakan ke
ibu anak tersebut karena tidak adanya
bahan makanan.Maka singkat
cerita Umar langsung
mengambil bahan makanan yang tersedia di gudang dia pikul
sendiri bahan makanan tersebut
untuk kebutuhan rakyatnya yang
kelaparan tersebut. Cerita Kepemimpinan Umar Bin Khatab yang demikian populer tersebut adalah cerita seorang pemimpin yang otentik.
Senyampang masih
banyak waktu untuk mencermati jati diri
bapaslon, maka rakyat bisa menilai mana kira-kira pemimpin yang otentik. Jangan sampai
kita sebagai pemilih, memilih pemimpin seperti “membeli dalam karung” tidak
tahu mana pilihan yang terbaik
menurut hati nurani kita. Jangan sampai kita memilih pemimpin bak
melihat bu Tejo dalam film Pendek
“Tilik” yang penuh dengan nyiyiran, tapi pada kenyataan
keseharian pemerannya aslinya tidak demikian.
Betulkan Bu Tejo? Mari kita “Tilik” jadi diri bakal pasangan calon (bapaslon)
di daerah kita. Caranya tidak berkunjung
ke calon tersebut, tapi kita
perlu tilik dengan melinat
profil dan riwayat hidup dari calon lewat
berbagai sarana seperti di Internet
atau di website KPU misalnya.
Karena kita sekarang ini harus mematuhi
protokol Kesehatan agar terhindar dari virus Covid-19. Dengan
cara memakai masker, cuci tangan dan jaga jarak
setiap saat.
*Pernah dimuat Harian Bhirawa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar