Kamis, 29 Oktober 2020

 


Judul Buku : Zakatku, Syukurku (kumpulan Kisah-Kisah Inspiratif Penggugah Jiwa Para Pembayar Zakat)
Penulis : Untung Dwiharjo & Lumiyati
Penerbit : CV. Khadijah
Cetakan : September, 2019
Tebal : xii + 94 halaman
ISBN : 978-623-91377-2-4


“Buku Zakatku, Syukurku adalah kumpulan tulisan yang lahir dari rahim pemikiran dan pengalaman pada muzakki yang sangat inspiratif. Buku ini mengugah kesadaran setiap muslim  tentang makna nikmat syukur. Janji Allah jika kita pandai bersyukur, maka akan terus bertambah. Dan jika kufur, sesungguhnya adzab Allah sangat pedih. Menjadi pribadi muslim yang syukur nikmat adalah salah satunya dengan selalu mengeluarkan sebagian harta kita yang memang bukan hak kita, tetapi hak mustahiq. Zakat juga saran bagi hamba untuk bertaqarrub kepada Allah dan menambah keimanan. Zakat dapat dijadikan sarana untuk mensucikan diri kita dan membantu antar sesama, serta amalan yang akan kekal selama untuk membantu kita sampai di akherat. Semoga kita menjadi Hamba Allah yang selalu bersyukur “Abdan Syakuro”

Umar Sholahuddin, S. Sos. M. Sosio. 

Penulis  Buku  dan Artikel  Opini di berbagai Media Massa, Nasional maupun Lokal serta  Dosen  Universitas  Wijaya  Kusuma Surabaya (UWKS)

 

 

    Buku ini hadir dalam rangka menggalakkan dan menghidup-hidupkan ‘Syiar Islam’ dengan menyajikan koleksi kisah-kisah inspiratif faktual. Dari koleksi kisah inspiratif ini memberikan sebuah “penyadaran reflektif” yang membukakan mata hati bagi umat Islam pada umumnya, khususnya bagi pembaca dan penikmat buku ini. Menyimak persoalan umat yang tak kunjung usai, khususnya persoalan sosial ekonomi kiranya akan menemui jalan keluar, jika selama ini ‘tertidur pulas’ dan di ‘nina bobok kan’ dengan zona nyaman, kelebihan harta yang dimiliki, InsyaAllah kejutan-kejutan hidup sebagai potret perniagaan Sang Khalik dengan hambanya yang mendermakan sebagaian hartanya di jalan Allah (Zakat) dapat disimak dari kisah-kisah inspiratif dalam buku ini.Wallahu’alam bisshawab 

Agus Wahyudi, S.Sos., M.Pd.

Pusat Pengkajian Masyarakat dan Peradaban Islam (PPMPI) Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya (UNUSA)

Masih banyak yang kurang yakin (atau pelit) bahwa dengan berzakat/bersedekah itu malah rizki itu datang sendiri. Ada rizki yang disebut nikmat, hidup berkeluarga makin enjoy (ketenangan), banyak kemudahan, pertolongan yang tak terduga, jalan keluar dari kesulitan, berbagai kesempatan serta masih banyak lagi.
Buku di atas, yang ditulis oleh Pak Untung Dwiharjo dan Bu Lumiyati dari YDSF (Yayasan Dana Sosial al Falah) dan Yayasan Pendidikan Anak Usia Dini, An Naja, ini menuliskan pengalaman orang-oarang yang berzakat. Mari kita yakini, bahwa dengan memikirkan yang lain (orang yang lebih memerlukan), Allah swt akan semakin memikirkan kita.

 Prof. Tjiptohadi Sawarjuwono, M.Ec, Ph.D.,Ak.,CPA.,CA   (Guru Besar FEB Unair) 



 Mari  Di Order
Bagi  Yang  berminat  dengan buku di atasHubungi:  Lumiyati  Hp/ WA   081332016108 
Pulau Jawa: Rp. 100 Ribu (Sudah Termasuk Ongkir) Luar  Pulau: Tambah Ongkos Kirim (ongkir)
Anda  membeli buku tersebut juga turut Mendukung pendidikan  untuk mendukung  Keberlangsungan Pendidikan PAUD  An Naja  Surabaya- Jawa Timur.   



 Pandemi Covid1-19 dan Arus Balik Warga Kota


Oleh :

Untung Dwiharjo

Peneliti pada LAZNAS YDSF, Alumnus Fisip Unair

Dunia kini dalan kondisi jungkir balik akibat Pandemi Covid-19.Salah satunya adalah arus balik warga kota ke desa. Tidak sepertibiasanya warga desa banyak yang menuju kota untuk mencari rezeki(migrasi), kini yang terjadi adalah orang orang kota justru kembali kedesa untuk bisa bertahan hidup. Hal itu seperti diungkapkan PresidenJoko Widodo yang mengatakan bahwa Pandemi Covid-19 ini telahmengakibatkan perpindahan dari penduduk kota ke desa. Hal Ituterjadi karena dampak ekonomi yang cukup terasa di perkotaanakibat Pandemi Covid-19. Presiden menyebut dengan istilah“ruralisasi” sebagai kebalikan dari urbanisasi. (kumparan.com,24/9/20).

Memang Pandemi Covid-19 serta adanya kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar ( PSBB)guna menekan persebaran virus gersebut di masyarakat. Akibatnya terjadi tekanan ekonomi yang dalam ke wargamasyarakat di perkotaan. Dimana warga pedesaan yang mencoba peruntungan di kota banyak bergantung padasektor informal seperti bekerja menjadi pedagang kaki lima (PKL), membuka warung kopi (warkop), pekerjaserabutan dan lain sebagainya. Kini mereka terdampak karena adanya pembatasan sosial dimana interaksi antarorang dibatasi sehingga “omset” mereka turun sehingga berdampak pada pendapatan mereka untuk memenuhikebutuhan hidup. Sebagai salah satu jalan keluar akhirnya mereka kembali ke desa, dimana mereka masihmempunyai jaringan sosial untuk bisa menyambung hidup.

Fenomena “Ruralisasi”

Resesi melanda dunia akibat Pandemi Covid-19. Sebagaimana diungkapkan Bank Dunia menyatakan bahwa 92persen negara di dunia akan jatuh ke jurang resesi. Salah satunya Indonesia (JawaPos, 25/9/20). Hal ituterkonfirmasi oleh keterangan dari Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (SMI) bahwa Indonesia mengalamiresesi ekonomi di kuartal III 2020. (Jawa Pos, 25/9/20). Gejala resesi itu terasa dimana ekononomi mengalamiminus 5, 32 persen pada kuartal II 2020. Sektor usaha di perkotaan terutama resto, hotel, travel dan pendidikanmengalami pukulan hebat.

Sehingga pemutusan Hubungan kerja (PHK) pun dilakukan dunia usaha dalam rangka efisiensi untuk bisabertahan. Akibatnya banyak karyawan atau pekerja yang berasal dari desa terkena PHK. Imbasnya mereka punmenjadi pengangguran. Karena adanya pembatasan interaksi sosial yang diperlakukan oleh pemerintah (misalnyaPSBB di DKI Jakarta), maka para pekerja yang terkena PHK pun tidak banyak pilihan untuk memulai usaha baru.Kalau dalam krisis 1998 dimana banyak pekerja yang terkena PHK bisa memulai usaha baru dengan membukausaha di sektor informal, misalnya bisnis kuliner atau PKL untuk menyambung roda ekonomi rumah tangga. TapiTidak dengan krisis yang diakibatkan oleh Pandemi Covid-19 saat ini. Justru interaksi pertemuan antar orangdibatasi sehingga pilihan usaha hanya lewat jualan online yang sesunguhnya membutuhkan waktu.

Karena keterdesakan ekonomi maka banyak pekerja di kota kembali ke desa. Wilayah Kota-kota besar sepertiDKI Jakarta dan kota besar lainya misalnya dengan adanya Pandemi Covid-19 ini “patut diduga” sebagai kotapenyumbang warga kota yang kembali ke kampung halaman (desa) untuk memulai hidup baru. Menurut penulisada empat faktor mereka kembali ke kota. Pertama, masih tingginya angka orang terkena Covid-19 yangepicentrumnya berada di kota besar. Terutama kota besar seperti DKI Jakarta. Sehingga demi keamanan diri dankeluarga maka mereka merasa lebih nyaman kembali ke desa. Kedua, Menunggu redanya Pandemi Covid-19 didesa, sambil wait and see keadaan kota besar untuk melihat kemungkinan kembali ke kota besar apabila di desatidak ada pekerjaan tetap. Ketiga, Adanya jaringan sosial (kerabat, sanak famili) di desa yang kemungkinanmasih bisa dijadikan tempat untuk mencari bantuan kehidupan baik modal maupun pekerjaan. Keempat,Banyaknya bantuan pemerintah yang digelontorkan ke desa untuk menangulangi pandemi Covid-19 seperti DanaBansos Tunai, BLT Desa, Program Keluarga Harapan (PKH) dan serta dana Desa serta lain sebagainya.

Sehingga fenomena kembali ke desa (ruralisasi) sebenarnya semacam mekanisme alamiah untuk bertahan hidupwarga kota yang berasal dari desa, karena keterdesakan ekonomi akibat Pandemi Covid-19. Fenomena ini secara teroritis bisa dijelaskan dengan apa yang disebut oleh Patrick Mc Auslan (1984) dengan “efek lompat katak”dimana banyak warga kota yang “bedol kota” untuk kembali ke desa karena situasi kota yang tidak terkedaliakibat pandemi Covid-19. Sehingga terjadi apa yang disebut proses invasi dan suksesi warga kota ke desa.

Waktunya Membangun Desa

Dengan momentum banyaknya orang kota yang “mudik” ke desa karena Pandemi Covid-19 ini maka sebenarnyabisa menjadikan desa untuk menata diri lebih baik. Sehingga apa yang terjadi dengan desa “Miliader” di daerahKabupaten Gresik bisa dijadikan contoh. Dimana kepala desa dan warganya bergotong royong untuk memajukandesa secara bersama-sama memajukan desa dengan usaha dan kerja keras akhirnya membuat desa bisa mandiridan bisa memenuhi kebutuhan ekonomi warganya secara baik. Sehingga tidak membuat warga desanyaberkeinginan untuk ke kota. Apabila fenomena desa miliader bisa “dicloning” di desa yang menjadi tujuan wargakota maka hampir pasti warga kota yang kembali ke desa tidak akan kembali ke kota.

Oleh karena itu diperlukan langkah-langkah dalam membangun desa. Berikut ini usulan penulis: Pertama, di desatempat orang kota kembali desa (desa asal) perlu dipetakan potensi yang bisa dikembangkan untuk memutar rodaekonomi warga desa. Seperti desa Sekapuk yang kini menjadi desa Miliader tersebut memetakan potensi desanyadengan wisata alam Setigi. Jadi potensi alam apa yang bisa dikembangkan di desa tujuan orang kota yang bisadikembangkan. Kedua, memetakan produk UKM yang bisa dikembangkan untuk membuka lapangan kerja bagiwarga pendatang dari kota. Sebagaimana desa Miliader memproduki setiap kampung membuat snack-snack (makanan ringan ) yang dijual di sekitar komplek wisata Setigi. Ketiga, mematakan potensi dari pribadi wargayang kembali dari kota ke desa. Seperti pengalaman teman penulis yang kembali dari ibukota DKI Jakarta karenaada Pandemi Covid-19. Maka dirinya kembali ke desa dengan membuka usaha berjualan ayam Goreng Khas kotaasalnya di bilangan daerah di Jawa Tengah. Usahanya itu dirintisnya berdasarkan pengalaman dirinya berjualanmakanan di Ibu Kota Jakarta. Sekarang usahanya itu laris manis terutama dengan memanfatkan jaringan alumnisekolah dan warga sekitar. Keempat, Membangun semangat kebersamaan antar sesama penduduk yang barukembali dari kota dan penduduk asli desa yang telah lama menetap. Hal ini diperlukan untuk mengikis rasa curigadan membangun kebersamaan warga. Kelima, memfungsikan dana desa sebagai dana yang padat karya untukmemutar roda ekonomi desa. Ketujuh, Menyalurkan bantuan Bansos tunai, BLT desa dan PKH tepat sasaran didesa sehingga menjadi ” bantalan sosial” bagi warga kota yang kembali ke desa, selagi mereka belum bekerja.

Demikian krusial desa sekarang ini karena Pandemi Covid-19, sehingga orang kota pun harus kembali ke desauntuk mencari kehidupan ekonomi. Sungguh Keadaan ini menunjukan bahwa saatnya kita berdamai dengan alamterutama desa. Selamat Membangun desa kawan.

————– *** —————–

*Artkel ini pernah dimuat  di harian Bhirawa  

 Mewaspadai Depresi Sosial Akibat Pandemi Covid-19

Oleh :

Untung Dwiharjo

Peneliti Pada LAZNAS YDSF di Surabaya

Pandemi Covid-19 yang entah kapan akan berakhir ini berpotensimenciptakan depresi sosial. Buktinya akhir-akhir ini berita bunuh dirikerap kita jumpai baik itu lewat media cetak atau media online.Mulai dari bunuh diri yang dilakukan dengan cara meloncat dariapartemen, ,lompat dari jembatan ke sungai ataupun lompat darigedung Rumah sakit ketika dalam masa perawatan Covid-19.Peristiwa yang bikin kita kaget adalah adanya dugaan kuat bunuh diriyang dilakukan seoang wartawan televisi swasta nasional dengandisertai mengkomsumsi obat-obatan tertentu sebagaimana keteranganPolda Metro Jakarta beberapa waktu yang lalu. Berbagaiperistiwabunuh diri tadi memunculkan fenomena demikian miris dimana pelaku dengan mudahnya mengambillangkah untuk mengakhiri hidupnya. Seolah tidak jalan lain selain bunuh diri untuk menyelesaikan persoalan yang mereka hadapi. Seakan mereka mengalami tekanan hidup yang demikian hebat sehingga mengalami depresiyang dalam sehingga harus mengakhiri hidupnya dengan cara yang sebenarnya dilarang oleh agama tersebut.

Depresi Sosial Yang Dalam

Harus diakui semenjak adanya Pandemi Covid-19 ini beban hidup masyarakat terutama masyarakat kelas bawahsemakin berat. Karyawan banyak yang kena PHK, usaha lesu dimana omset terjun bebas, mencari pekerjaansusah. Serangkaian persoalan tadi terjadi di tengah bencana pandemi Covid-19 yang efeknya demikian hebathampir seluruh sendi kehidupan manusia ikut terimbas. Sehingga seolah langit akan runtuh menerpa yangmengalami persoalan tersebut. Tengoklah misalnya pasien Covid-19 yang dirawat di sebuah rumah sakit disebuah kota di Jawa Timur yang diberitakan bunuh diri loncat dari Rumah sakit. Mungkin saja dia mengalamitekanan hidup yang dalam atau mengalami depresi sosial yang akut dimana dia merasa terstigma atau mengalamidalam kesendirian karena adanya isolasi selama perawatan Covid-19 tersebut. Sehingga hampir semua bebanpsikologis dirinya yang harus menanggung.

Sehingga tanpa orang lain di sampingnya yang mau mendengarkan atau peduli orang yang mengalami tekananhidup (depresi) yang dalam bisa mengambil langkah yang salah yaitu dengan bunuh diri. Seolah denganmelakukan bunuh semua persoalan di dunia selesai. Untuk menjelaskan ini kita bisa meminjam penjelasan EmileDhurheim (Siahaan, 1986) apabila seseorang indivividu tidak dapat memenuhi peranan yang diharapkan (roleexpectation) di dalam menjalankan peranan yang dijalankan kehidupannya (role performance) maka individutersebut akan mengalami frustasi. Misalnya pasien Covid-19 yang di rawat tadi mempersepsi dengan dia menjadipasien Covid maka peran dia sebagai suami akan terganggu, sebagai angota masyarakat terganggu misalnyakarena adanya pengucilan dari masyarakat atau perlakuan perlakuan lain yang buruk dari masayarakat. Makasang pasien tadi megalami depresi yang hebat seolah dunia ini sudah berakhir dengan menderita Covid -19.Sehingga si pasien tadi nekad melakukan perbuatan bunuh diri agar terbebas dari tekanan hidup (Frsutasi/depresi).

Perlu Solidaritas Masyarakat

Depresi Sosial yang dialami masyarakat sekarang ini terutama dengan adanya pandemi Covid-19 ini makadibutuhkan peran masyarakat secara aktif. Karena tanpa solidaritas masyarakat , orang-orang yang mengalamidepresi akibat tekanan hidup yang dalam akan mudah mengambil jalan pintas yang mereka pikir bisamenyeleaiakan semua persoalan yang mereka hadapi. Solidaritas masyarakat ini bisa diwujudkan misalnyadengan memberikan dukungan moril dengan memberikan semangat dan motivasi untuk tetap semangat terutamadengan orang-orang yang mengalami depresi yang sangat dasyat seperti misalnya terpapar Covid-19 ataukehilangan pekerjaan / kena PHK. Kedua berupa bantuan material seperti memberikan bantuan berupa makananatau sembako bagi orang yang menjalankan isolasi diri, atau memberikan bantuan quota internet bagi anak -anakdari keluarga yang kurang mampu.

Bentu-bentuk solidaritas seperti itulah yang diperlukan oleh orang yang terkena depresi sosial akibat PandemiCovid-19 ini. Apabila masyarakat memperlakukan mereka sebaliknya misalnya dengan mengucilkan, memberi stigma bahkan acuh tak acuh atau menjauhi mereka maka mereka yang terkena danpak dari pandemi Covid-19 iniakan semakin mersa terasing dan tertekan kehidupannya.

Sebagai penutup marilah kita memberikan dukungan kepada masyarakat yang terkena dampak adanya Covid–19ini sperti dari individu yang terpapar Covid-19, terkena PHK, murid yang tidak bisa belajar karena tidak gawaiatau tidak ada quota internet. Sehingga mereka dapat melalui ujian ini dengan lancar sampai ditemukannya virusuntuk mencegah pandemi Covid 19 ini. Akhirnya diharapkan dimasyarakat tidak ada lagi yang melakukan bunuhdiri akibat depresi yang demikian dalam dan hebat akibat Pandemi Covid 19 ini. Semoga!

———– *** ———–

*Artkel Ini pernah dimuat di  harian Bhirawa 

,

Rabu, 28 Oktober 2020

 Mendamba Aksi Demonstrasi Damai


Oleh :

Untung Dwiharjo

Peneliti pada LAZNAS YDSF, Alumnus Fisip Unair

Demonstrasi adalah sarana untuk menyalurkan aspirasi. SebagaimanaDemontrasi menolak UU Cipta Kerja atau Omnibus Law pada 8Oktober 2020. Tapi demontrasi yang melibatkan mahasiswa dan paraburuh itu berakhir ricuh. Massa pendemo membakar fasilitas umumseprti halte, bioskop, mobil aparat dan lain sebagainya. Benarkahyang merusak itu adalah masa asli masa pendemo atau penyusupyang memang sengaja untuk merusak citra mahasiswa?

Demonstrasi menolak UU Cipta Kerja yang merupakan wujudkeprihatinan mahasiswa terhadap ketidakpekaan pemerintah dananggota dewan terhadap nasib rakyat yang menderita karena pandemi Covid-19. Rakyat yang dipaksamengencangkan ikat pinggang dengan adanya Pandemi Covid-19 seakan harus menerima pil pahit dengan adanyaUU Cipta Kerja.

Demonstrasi sebagai Gerakan Moral

Demonstrasi galibnya muncul ketika sebuah negara mengalami situasi yang tidak menentu atau terjadi krisis,sejarah telah memberi kabar tersebut. Demonstrasi mahasiswa 1965 misalnya turun ke jalan mengutukpembunuhan jenderal oleh apa yang dinamakan G 30 S/PKI yang selanjutnya melahirkan Tritura dimana salahsatunya menuntut pembubaran Partai Komunis Indoensia (PKI). Selanjutnya Demonstrasi mahasiswa 1974 yangterkenal dengan peristiwa Malari 1974. Menurut mantan aktifitis mahasiswa 1974 Hariman Siregar bahwaPeristiwa Malari 1974 sebagai “gerakan intelektual” menggugat strategi pembangunan Orde Baru beserta ekses-eksesnya seperti kesenjangan ekonomi-sosial dan dominasi modal asing (Fatah, 1999).

Kemudian demontrasi mahasiswa 1998 sebagai kepedulian mahasiswa terhadap krisis ekonomi 1998 yang padaakhirnya berhasil menumbangkan pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Suharto. Selain itu secarasporadis gerakan mahasiswa juga melancarkan demontrasi turun ke jalan seperti pada penolakan UU KPK yangbaru dan lain sebagainya.

Untuk Konteks Indonesia, Kemunculan peranan keompok ini dalam kehidupan sosial politik Indonesia adalahfenomena khas abad 20. Kemunculan gerakan mahasiswa ini disebabkan memang mahasiswa memilikikarakteristik khusus dalam kehidupan politik angkatan muda. Pertama, mahasiswa sebagai kelompok masyarakatyang memperoleh pendidikan terbaik sehingga mempunyai horison yang luas diantara keseluruhan untuk lebihmampu bergerak di antara pelapisan masyarakat. Kedua, Mahasiswa telah mengalami proses sosialiasi politikyang terpanjang. Ketiga, Kehidupan kampus membuat gaya hidup yang unik di kalangan mahasiswa. KeempatMahasiswa sebagai kelompok yang akan memasuki lapisan atas dari susunan kekuasaan, struktur perekonomiandan prestise di masyarakat. Kelima, Meningkatnya Kepemimpinan mahasiswa dikalangan angkatan muda (Sanit,1995).

Dari karakteristik mahasiswa yang dikemukan seperti di atas maka sejatinya setiap demonstrasi turun ke jalanmahasiswa adalah gerakan moral. Ketika ada peristiswa anarkis seperti perusakan fasilitas umum sepetikendaraan, pembakaran fasilitas umum berdasarkan pengalaman selama ini biasanya adalah preman atau orangluar yang memang ingin demonstrasi mahasiswa dan umum menjadi chaos dan tidak terkendali yang ujung-ujungnya mahasiswa jadi tertuduh (kambing hitam) yang selanjutnya menjadi legitimasi penangakapanmahasiswa. Peristiwa Malari 1974 menunjukan fakta tersebut. Jadi peristiwa perusakan fasilitas umum yangterjadi pada demo 8 Oktober 2020 yang bertujuan menolak UU Cipta Kerja menurut hemat penulis dilakukanoleh massa liar bisa jadi preman atau massa bayaran yang bertujuan merusak nama baik mahasiswa dalamdemonstrasi tersebut.

Lihat Substansi Tuntutan Demonstrasi

Sebenarnya mahasiswa terjun ke arena politik misalnya dengan melakukan aksi turun ke jalan melakukandemonstrasi jika terdapat “situasi anomi yang kuat” di dalam masyarakat (Sanit, 1995). Dalam hal ini adanya UU Omnibus Cipta Kerja yang dipandang akan membawa banyak masalah bagi masyarakat. Pandangan itu munculkarena UU ini dipercepat pengesahannya dan waktunya pada tengah malam sehingga minim partisipasi publik.Bahkan kabarnya anggota dewan yang menghadiri sidang tersebut tidak mendapatkan fotokopi draf UU tersebut.Sehingga terkesan banyak rekayasa. Berkaca pada masalah tersebut maka mahasiswa dan elemen masyarakatturun ke jalan untuk menyuarakan aspirasi untuk menolak UU Cipta Kerja kepada pemerintah dan anggota dewan(DPRD/DPR) agar mencabut UU yang dipandang bisa membuat masyarakat cilaka.

Jadi sebenarnya dalam hal ini pemerintah harusnya memperhatikan substansi tuntutan peserta demontrasi untukdijadikan masukan untuk keputusan politik selanjutnya. Bukan mencari kambing hitam dengan menangkapimahasiswa sebagai aktor yang dipandang melakukan perusakan fasilitas umum sehingga subsatansi tuntutan parademontrasn seolah-seolah tertutupi oleh tindakan mereka yang dipandang negatif. Padahal belum tentu merekamelakukan itu, karena mereka sebagai insan intelektual, gerakan meraka adalah dari hati nurani yang tulus inginmembela kepentingan rakyat. Tidak untuk untuk berbuat onar dan anarkis sebagaimana biasanya para premanatau orang jalanan lakukan.

Perlu Pendekatan Humanis

Sebenarnya dalam menangani para demonstran aparat harusnya mengunakan pendekatan humanis kepada paramahasiswa dan elemen masyarakat yang lain ( misalnya buruh). Dalam hal ini aparat yang bertugas sebagaidalmas (pengendali massa) paradigmanya harus berubah yaitu: dari represif ke persuasi, dari monolog ke dialog,dari defensif ke responsif.

Hal tersebut bisa dilakukan dengan ketika melakukan tugas sebisa mungkin menggunakan tidak peralatan bakperang sipil. Seperti pentungan, tameng, gas airmata, sampai barakuda, yang semuanya seperti melihat parademosntran sebagai musuh, yang harus dihalau kalau perlu dengan cara kekerasan agar bisa membuat jera.

Sebaiknya menurut penulis aparat di lapangan lebih banyak mengunakan pendekatan dialogis dan persuasifdengan peserta demonstrasi. Sehingga mengurangi resiko terjadinya anarkisme yang dilakukan oleh massa yangtidak bertanggung jawab. Sehingga kita berharap dalam setiap demontrrasi kita mendambakan demontrasi yangdamai. Apalagi sekarang masa pandemi Covid-19 maka selayaknya pemerintah dan DPR membuat regulasi yangberpusat untuk bagaimana agar pandemi ini cepat berakhir, bukan malah membuat regulasi semacam UUOmnibus Law Cipta Kerja yang kontroversial dan membuat resah masyarakat. Masyarakat butuh kedamaian jugademontrasi yang damai.

——— *** ———

*Artikel ini pernah dimuat Harian Bhirawa  

Selasa, 27 Oktober 2020

 

Mencermati  Kampanye  Simbolik Pilkada 2020


Oleh:

Untung Dwiharjo, Peneliti Pada  LAZNAS YDSF di Surabaya, Alumnus  Fisip Unair. Pemerhati   Masalah Politik   

 

Bak film pendek tilik yang lagi viral.  Pendaftaran Bakal Pasangan  Calon (bapaslon) kepala  Daerah  yang   mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum (KPU)  Kabupaten/Kota diberbagai daerah pun   menjadi hal yang  menarik.  Memang pada 4-6  September 2020  adalah agenda pendaftaran pasangan calon Bupati atau Walikota   di seluruh  Indonesia.  Seperti  tokoh  Bu Tejo  yang   memainkan peran  di atas  bak truk   yang  tak lazim. Para  bapaslon itu  juga ada yang mengunakan alat transportasi yang  kalau dalam kondisi  biasa  jarang mereka gunakan. Simak misalnya  ada bapaslon yang  mendaftar ke kantor KPU  mengunakan sepeda  yang terbilang “kuno”, ada yang mengunakan  sepeda  motor  yang  menurut  banyak orang “antik”. Bahkan  ada juga  yang menggunakan   mobil  yang terbilang “legendaris”.  Selain itu jenis  pakaian  dengan  warna tertentu  juga  digunakan  oleh  oleh  bapaslon untuk   mendaftar ke KPU.

Apa yang ditampilkan  oleh  para bapaslon itu seolah  ingin  menarik perhatian para pemilih. Dimana   mereka bak  pasangan  yang  harus berlenggak-lengok di  atas podium  menuju  kantor  KPU tempat mereka  mendaftar. Sehingga kostum-kostum yang unik dan menarik harus  mereka  tampilkan  guna   memulai  perhelatan kontetasi politik tersebut. Dimana  nantinya pada 20 Desember 2020 akan dilaksanakan pemungutan suara untuk Pilkada serempak 2020.  

Kampanye  Simbolik.

Kalau dicermati  pemakaian atribut  para bapaslon peserta pilkada 2020 dengan memakai  atribut seperti sepeda, sepeda motor atau mobil yang “antik” itu sebenarnya   merupakan kampanye simbolik.  Bahwa dengan memakai itu semua  mereka ingin dianggap  mempunyai  sifat kerakyatan, tidak hedonis. Tidak  menampilkan sepeda mewah yang nilainya  ratusan juta. Tidak juga  menngunakan sepeda motor yang harganya selangit, serta  mobil dengan  harga yang fantastis.    

 Pendek kata mereka semua ingin  menampilkan  citra yang ramah dan merakyat. Kita semua  disuguhi simulasi realitas  kampanye  dimana citra lebih dipercaya ketimbang  fakta. Apakah  kehidupan  bapaslon dalam keseharian  mereka  menunjukan  citra  seperti itu atau  malah sebaliknya. Tentunya  warga  dimana  bapaslon  berada  lebih  mengetahui.Karenanya kita  sebagai pemilih  harus  cermat  dan hati-hati  dalam   memilih  calon  pemimpin  kita.  Jangan sampai kita  tertipu  oleh citra dan polesan  kesan  yang keadaannya  sesungguhnya kadang sebaliknya. Boleh  jadi  pemimpin  yang kita angggap kerakyatan  malah  ketika  memimpin justru  bersifat  otoriter. Bukankah kita semua telah diperingatkan oleh Boudrilard dalam In The Shadow  of Silent  Mayorities (Jacky:2015)  bahwa kita sekarang hidup dalam  era hiperealitas (hyper reality)  dimana  perekayasaan dan distorsi   menciptakan satu kondisi, dimana orang digiring untuk  mempercayai citra  sebagai sebuah kebenaran  meskipun pada kenyataannya  yang ada hanyalah dramatisasi realitas.     

Nantinya  hanya waktulah  yang akan  membuktikan  apakah kesan ketika  mereka mendaftar ke kantor KPU untuk  megikuti  Pilkada dimana kesannya kerakyatan, akan dibuktikan  ketika  mereka  memimpin. Pengalaman  pilkada dan  pemilu di Indonesia  membuktikan  itu.  Banyak rekayasa citra dan  polesan  dimana  ternyata  semuanya  hanya  basa-basi  demi mendulang  suara  mereka rela  mencitrakan diri sebagai sosok yang merakyat tapi pada akhirnya  justru jauh  dengan rakyatnya  ketika jadi pemimpin.

Hindari  Kampanye  SARA

Baru-baru ini kita dikejutkan dengan  polemik  penyebutan  suatu daerah Pemilihan  Kepala daerah oleh  petinggi partai yang  disebut kurang pancasilais. Akibat dari perkataan  itu  menimbulkan  keresahan dan kemarahan  masyarakat  daerah tersebut. Sehingga pada akhirnya  rekomendasi partai  besar itu pun dikembalikan  oleh  bapaslon tersebut. Partai besar tersebutpun akhirnya   tidak bisa berpartisipasi dalam pilkada di daerah tersebut. Pendek kata dari  peristiwa  tersebut  janganlah petinggi  partai menggunakan  simbol Suku, Agama, RAS dan antar golongan (SARA). 

Sekarang pun isu  itu kian melebar  setelah  masalah tersebut  dibahas dalam  acara  dialog  di sebuah  TV  swasta yang  sangat  terkenal.  Gara-garanya salah seorang nara sumber  menyebut  nara sumber lain  punya hubungan  dengan sebuah partai  terlarang. Padahal  nara sumber  yang tersebut  menyebut  dalam  konteks kebudayaan.  Karena  yang dibahas  adalah   masalah  sensitif yaitu  masalah  partai  terlarang di Indonesia maka itupun sekarang  menjadi polemik di  masyarakat.

 

Butuh Pemimpin Otentik

Pada era sekarang  dimana seolah semua pemimpin  mendewakan  citra. Maka kita  sebenarnya  butuh pemimpin yang otentik. Dalam artian apadanya, selaras antara kata dan perbuatan serta dekat dengan rakyatnya. Sehingga rakyat yang  memlihnya  tidak merasa tertipu dengan pencitraan.  Kita butuh pemimpin  yang   memliki integritas , kemampunan (kapabilitas) dan diterima  masyarakat (akseptabilitas), yang memang  asli dari “arus bawah” tidak rekayasa dari atas atau polesan citra   melalui  media.

Pemimpin otentik selalu mendengarkan keluh kesah warga yang dipimpinya. Tidak hanya  mengunjungi untuk diliput  media. Tapi memperhatikan kebutuhan rakyatnya  secara seksama. Kisah pemimpin  otentik justru  berkunjung ke rakyatnya tatkala tidak banyak orang tau. Simak misalnya kisah pemimpin  Umar Bin Khatab  ketika suatu saat  berjalan  di tengah malam  untuk  meihat  rakyatnya. Ketika suatu ketika di sebuah rumah mendengar  suara rintihan seorang anak yang kelaparan. Ketika ternyata  setelah ditanyakan ke ibu anak tersebut  karena  tidak adanya  bahan  makanan.Maka singkat cerita  Umar  langsung  mengambil  bahan  makanan yang tersedia di gudang  dia pikul  sendiri  bahan makanan tersebut untuk  kebutuhan rakyatnya yang kelaparan  tersebut.  Cerita Kepemimpinan Umar Bin Khatab  yang demikian populer tersebut adalah cerita  seorang pemimpin  yang otentik.

Senyampang  masih banyak waktu untuk mencermati  jati diri bapaslon, maka rakyat  bisa  menilai mana kira-kira  pemimpin yang otentik. Jangan sampai kita  sebagai pemilih,  memilih pemimpin  seperti “membeli dalam karung”  tidak  tahu  mana pilihan  yang terbaik  menurut  hati nurani kita.  Jangan sampai kita memilih pemimpin  bak  melihat  bu Tejo dalam film Pendek “Tilik”  yang penuh  dengan nyiyiran, tapi pada kenyataan keseharian  pemerannya aslinya tidak demikian. Betulkan Bu Tejo? Mari kita “Tilik” jadi diri bakal pasangan calon (bapaslon) di daerah kita. Caranya tidak berkunjung  ke calon tersebut, tapi kita  perlu tilik  dengan melinat profil  dan riwayat hidup dari calon  lewat  berbagai sarana seperti di Internet  atau di website KPU misalnya.  Karena  kita  sekarang ini harus  mematuhi  protokol Kesehatan  agar  terhindar dari  virus Covid-19.  Dengan  cara  memakai  masker, cuci tangan dan  jaga jarak  setiap  saat.    

*Pernah dimuat  Harian Bhirawa  

 Covid-19 dan Resistensi Sosial


Oleh:

Untung Dwiharjo

Peneliti Pada Lembaga Filantropi di Surabaya, Alumnus Fisip Unair

Wabah pendemi Covid-19 telah melanda hampir seluruh negara di didunia ini. Virus ini tidak memandang negara kaya atau negara miskinsemua ikut terimbas. Korban jutaan manusia pun ikut terpapar virusmematikan tersebut. Tidak terkecuali negara kita Indonesia. Korbandari masyarakat bawah sampai atas, dari masyarakat biasa sampaipejabat. Tidak terkecuali tenaga medis pun i ikut tumbang dalamusaha mereka untuk menyelamatkan pasien yang terpapar covid-19ini.

Kini dampaknya tidak hanya aspek korban jiwa dari yang terpaparvirus Covid-19 ini. Tapi juga sektor ekonomi dan keuanganmasyarakat juga ikut terpuruk seiring pendemi Covid-19. Para pekerja harian seperti ojek online ( ojol), pedagangasongan, Pedagang kaki lima (PKL), dan pedagang di pasar tradisional. Demikian juga sektor ritel perdagangan modern pun ikut lumpuh. Mal-mal di kota besar sepi dari pembeli atau banyak yang sudah ditutup. Karenaadanya anjuran untuk tinggal di rumah dan jaga jarak sosial (social distancing). Omset para pedagang terjunbebas sampai hampir nihil pemasukan. Dengarlah keluh kesah pedagang di sentra kuliner di salah salah satubilangan di Surabaya bahwa dari tadinya yang sebelum Covid-19 setiap hari ada 1500-2000 pembeli sekaranghanya satu orang dan hampir tiada pembeli yang datang. Sehingga dengan kesadaran sendiri mereka menutuplapak warung mereka.

Tidak hanya dampak ekonomi saja yang dirasakan masyarakat akibat covid19 ini, dampak sosial juga miris kalaukita mendengar dan membaca berita di berbagai media baik cetak mapun elektronik. Dampak sosial yang palingnyata adalah penolakan masyarakat terhadap para korban Covid -19 untuk dimakamkan di daerah mereka. Mu laidaerah Sidoarjo (Jawa Timur), Ciamis (Jawa Barat), dan beberapa daerah di Luar Jawa. Penolakan terhadapKorban Covid-19 yang membuat kita sangat terkejut adalah penolakan seorang perawat yang meninggal karenamerawat corban Covid-19 yang telah meninggal dunia di Semarang – Jawa Tengah oleh warga sekitar tempatpemakaman. Sehingga almarhum perawat tersebut pemakamannya di pindah. Padahal perawat tersebut telahmengorbankan segalanya untuk merawat pasien Covid-19 termasuk nyawa mereka. Sungguh suatu tragedi yangsangat memilukan.

Resistensi Sosial

Gejala penolakan (Resistensi) sosial terhadap pemakaman para korban Covid-19 ini sungguh sangatmencemaskan kita semua. Para korban Covid-19 harusnya diperlakukan secara wajar atau tidak ditolak ketikamereka di makamkan di pemakaman sekitar mereka tinggal, karena jenazah mereka telah melalui prosedurpenanganan jenasah sesuai Protokol Covid-19. Sehingga sebenarnya tidak akan menularkan virus tersebut kelingkungan sekitarnya. Jauh-jauh hari sebenarnya penolakan sosial terhadap orang yang dianggap bisamenyebarkan virus mematikan ini sudah terjadi. Misalnya penolakan masyarakat terahadap perawat yang bekerjadi rumah Sakit rujukan Covid -19, sehingga mereka terpaksa pindah kos atau kontrakan. Penolakan terhadapanak-anak tenaga medis yang menangani Covid-19 untuk ber main ke rumah tetangga. Karena mereka dianggapberbahaya sebagai pembawa Covid-19. Para korban Covid-19, paramedis yang menangani mereka dan keluargamereka telah memperoleh label sebagai “orang haram” yang harus dijauhi dan dihindari. Sungguh suatu kondisiyang membuat kita prihatin dan terkejut dengan perlakuan masyarakat terhadap mereka semua. Meminjambahasa Bang Haji Roma Irama dengan istilah “Terlalu”.

Jalan Keluar

Melihat Kondisi tersebut maka kiranya perlu pemerintah melalui gugus tugas Penanganan Covid-19 memberikanedukasi ke masyarakat bahwa pasien Covid – 19 yang meninggal tidak beresiko menularkan virus kepadalingkungan di sekitar makam karena ditangani sesuai dengan protokol Covid -19. Kampaye ini perlu dilakukansecara masif dan terus menerus sehingga bisa merubah pola pikir dan perilaku masyarakat terhadap pasien yangmeninggal karena paparan virus Covid-19. Diharapkan dengan kampanye ini masyarakat tidak perlu takut dandapat menerima apabila jenasah pasien Covid-19 akan dimakamkan di lingkungan mereka. Kampanye ini jugaberlaku bagi pasien yang sembuh sehingga mereka tidak diperlakukan sebagai pembawa virus sehingga diisolasidari pergaulan masyarakat. Kedua, Perlunya pihak pemerintah (provinsi/ kabupaten/ Kota) menyediakanpemakaman khusus bagi pasien Covid-19. Sehingga memberikan kepastian tempat kepada jenasah pasien

*Pernah  dimuat di Harian  Bhirawa  

Jumat, 23 Oktober 2020

“Revolusi Senyap” itu Bernama  Pandemi  Covid -19*

 


Oleh  Untung  Dwiharjo

Peneliti pada  LAZNAS  YDSF, Alumnus  Fisip Unair

 

 

Revolusi  adalah salah satu cara untuk merubah peradaban.Tengoklah revolusi Perancis (1787). Demikian pula revolusi Rusia  yang terjadi pada pertengahan  pertama tahun 1917. Tidak ketinggalan revolusi China (Tiongkok) pada tahun 1911-1916 yang  demikian luar biasa  bagi perubahan tata kehidupan  negara tirai bambu tersebut. Revolusi di ketiga  negara  tersebut ada kesamaan yaitu perubahan  sosial radikal yang  berlangsung  dalam jangka waktu yang relatif  pendek dan hampir selalu  disertai  kekerasan  dan pertumpahan darah.

Namun demikian  ada revolusi yang tidak disertai kekerasan atau percepatan-percepatan  yang relatif  mendadak dalam proses perkembangan yang berlangsung lama. Itulah  yang terjadi  dengan perkembangan ekonomi Inggris dimana  terjadi perkembangan industri dan  perdagangan  yang sangat cepat dan hampir eksplosif yang berlangsung  pada akhir abad ke-18  dimana itu yang sekarang dikenal  sebagai Revolusi Industri (RIN). Setelah  sekian lama  berlalu kita belum  pernah  lagi  mengalami revolusi lagi yang demikian hebat  hingga  merubah tatanan  dunia secara keseluruhan.Mungkin perang dunia 1 dan 2  serta krisis ekonomi 1998 yang bisa dikatakan  setingkat  dengan ketiga revolusi yang menguncang  dunia tersebut.

Maka pada awal 2020 ini  menurut penulis munculah tipologi  revolusi ketiga yaitu  “revolusi senyap” (Sillent Revolusion) berupa pandemi Covid-19. Dimana revolusi ini berjalan tanpa kekerasan fisik yang dilakukan manusia, tanpa pertumpahan darah,  tetapi korban manusia  hampir seluruh  dunia mengalaminya.

     

Revolusi Senyap  Pandemi  Covid-19

Dunia kini sedang  memasuki  babak  transisi  menuju  masyarakat  digital  akibat  dari   Pandemi Covid-19 ini. Setelah  sebelumnya sejarah  revolusi  dunia  mulai dari era  pertanian (agraris), menuju era Industri disusul era teknologi dengan diketemukannya  komputer. Kemudian  era  digital  dengan  ditemukannya internet.Maka “revolusi  senyap” yang terjadi sekarang ini adalah mendorong  orang seluruh  dunia untuk  masuk ke arah ciber  space (dunia maya/ digital)  secara lebih masif dan intens akibat Pandemi-Covid-19 ini. Mengapa ini dikatakan revolusi senyap? Karena  revolusi  akibat pandemi Covid-19 ini tidak disengaja atau tidak dirancang  secara  natural  karena wujud virusnya  tidak  tampak oleh mata. Sehingga muncul  istilah  dengan sebutan orang tanpa  gejala (OTG) bagi orang  yang tanpa sadar menyebarkan virus Covid-19 ini. Padahal menurut  pandangan awam  dinilai   sehat. Sehingga Covid-19 ini melakukan serangan tanpa bentuk kepada manusia yang sehat. Sehingga bisa  mengancam keselamatan manusia yang terkena virus tersebut tanpa calon korban menyadari.

Oleh  karena itu  diperlukan  kesadaran  bagi   setiap individu  bahwa  hidupnya harus berubah untuk  menanggkal setiap serangan Covid 19 ini.Dengan cara mematuhi protokol kesehatan Covid-19 yang selama ini digencarkan pemerintah.Karena adanya “revolusi senyap” dari pandemi Covid-19 ini nyawa setiap  manusia di dunia  menjadi terancam oleh gerakan tanpa bentuk dari virus ini.  

Melahirkan  New Normal

Setiap orang di seluruh dunia sekarang  dipaksa untuk  menyesuaikan diri untuk adaptif dengan  covid-19. Dimana mereka harus  mengubah kebiasaan yang selama ini ada sebelum Covid-19 menjadi  kebiasaan  baru seperti  bekerja  dari rumah (work form home), tinggal di rumah (Stay at Home), memakai masker, melakukan jarak sosial (social distancing) serta kebiasan cuci tangan  dan melakukan kegiatan atau pertemuan secara virtual (online).Semuanya dilakukan agar tidak terkena virus  Covid1-19 yang sangat mematikan ini. Kebiasaan lama seperti berkerumun, pertemuan organisasi atau profesi yang mengandalkan permuan fisik (tatap muka) sekarang  dikurangi  atau sebisa mungkin dihindari, bahkan kalau bisa ditiadakan. Sehingga  revolusi  Senyap Pandemi  Covid-19 melahirkan “anak kandung” berupa  tatanan dunia baru  dan masyarakat yang  berubah drastis. Perubahan inilah yang sekarang dikenal sebagai “New  Normal.”

Menurut juru bicara Pemerintah untuk penanganan Covid -19  Achmad  Yurianto istilah  New Normal  lebih menitik beratkan perubahan budaya masyarakat  untuk terbiasa hidup sehat. Kebiasaan  seperti rajin  mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir, menggunakan masker saat  bepergian,      menghindari  kerumunan massa, dan juga menjaga jarak fisik saat berinteraksi dengan orang lain (physical distancing). Mau tidak mau, suka tidak suka, suka rela atau terpaksa setiap manusia  harus  menyesuaikan dengan  “new normal” ini. Ia merubah  kebiasaan lama ke kebiasaan baru  yang  mungkin  berbeda 180 derajat dengan kebiasaan sebelum pandemi covid-19 ini mewabah. Semuanya di lakukan  untuk bisa terhindar atau setidaknya meminimalisir resiko untuk  terinfeksi   virus-19 ini.     

Beralih ke  Cyber Space

Perubahan pola hidup manusia di dunia akibat revolusi  senyap Pandemi covid-19 ini  terutama   beralihnya  saluran   pertemuan  manusia  dari sarana fisik (kontak fisik) berubah ke  kontak  pertemuan virtual (online) sehingga ruang sosial manusia bermigrasi ke dunia maya (online). Sehingga  aplikasi sperti Zoom Meeting, Skype,Google Hangouts, Google Meet,  dan belasan apliksi lainnya  begitu  populer untuk  memenuhi kebutuhan  interaksi sosial masyarakat. Sehinga walaupun  tidak ada pertemuan fisik  tapi tetap bertemu dalam dunia online untuk keperluan bisnis atau rapat  dan interaksi sosial lainnya. Demikian juga perilaku masyarakat dalam berbelanja pun berubah dengan lebih banyak  melakukan belanja online lewat  situs  belanja online. Hampir  semuanya  berpindah ke Cyber Space (ruang virtual/maya).

Demkianlah ternyata revolusi senyap Pandemi Covid-19 ini telah melahirkan  era “New Normal”  masyarakat  dunia. Kini kita bisa mengucapkan selamat datang ekonomi virtual dan  masyarakat cyber  di era  “New  Normal”   akibat “revolusi Senyap” pandemi  Covid-19 ini. Anda setuju?

*Tulisan ini pernah di muat di Harian Bhirawa Online